Bab 10

1.3K 68 0
                                    


Setibanya di rumah, Juni yang masih keadaan setengah ngambek kepada sang Kakak, ia tetap mengunci mulutnya. Sang Kakak yang melihat tingkah laku Adiknya yang masih mendiamkannya, ia bingung harus mulai darimana membujuk Adiknya. Cara yang sudah - sudah ia pernah lakukan, kini tidak berfungsi lagi untuk membujuk dirinya. Kalau Adiknya sudah seperti ini, ia tidak bisa membantahnya ataupun menegurnya terlebih dahulu. Ia juga merasa takut tatkala sang Adik sudah seperti ini kepadanya. Pasalnya, Papah dan Mamahnya tidak mau membantunya untuk mencairkan hati sang Juniatha itu. Papah serta Mamahnya juga sudah angkat tangan bila anak perempuannya sudah mendiamkan putra pertamanya. Sifat Juni memang seperti itu kepada orang - orang sekitarnya terutama orang terdekatnya. Arkan yang sedari tadi mengusap wajahnya secara kasar, ia benar - benar sudah dibuat penat oleh Adiknya.

Arkan menoleh sebentar kepada Adiknya, Juniatha. Menoleh sedikit, ia masih melihat Adiknya menampilkan wajah  datarnya, ia pasrah. Menghembuskan nafasnya, melepas seat belt dan membuka pintu mobilnya. Ia berlari kecil mengitari mobilnya, ia pun membukakan pintu untuk Juni. Dengan Juni yang masih diam, ia mengambil alih melepaskan seat belt nya yang masih terpasang ditubuh Juni. Sesudah itu ia menepi sedikit, Juni pun turun. Tanpa embel - embel apapun, Juni mendahului sang Kakak dengan wajah datarnya. Menutup pintu mobil dan berlari mengejar sang Adik.

Arkan meraih tangan Juni, "Jun, kenapa marah sama Abang sih? Abang kan udah minta maaf sama kamu Jun." Ucapnya resah

"Bukain pintu." Dua kata, Juni menjawab Abangnya dengan dua kata itu, tidak menoleh ke arah Arkan

"Ck, tapi Jun."

"Cepet bukain." Pintanya lagi dengan memotong ucapan Arkan

Melepaskan genggamannya, ia berjalan mendahului Juni dan membukakan pintu masuk rumahnya. Sesudah pintu itu terbuka, Juni langsung asal masuk begitu saja. Mungkin rasa kecewa terhadap sang Kakak masih mendiam dihatinya dan membuat dirinya sakit hati. Arkan benar - benar pasrah, ia harus memberi Adiknya waktu untuk menerima dirinya bekerja disalah satu tempat yang sudah meacc lamaran data dirinya.

Juni hanya takut sang Kakak lupa kepada dirinya dan jarang pulang ataupun jarang ada waktu untuknya. Waktu Arkan masih menyandang status Mahasiswi disalah satu Universitas ternama di Jakarta, Arkan jarang sekali pulang ke rumahnya. Jarang ada waktu untuk dirinya lantaran sibuk dengan tugas Kuliahnya. Maka dari itu, waktu - waktu yang paling berharga bagi Juni inilah yang Juni tidak senang bila sang Kakak sudah diterima bekerja. Ia hanya ingin menghabisakan masa - masanya dengan sang Kakak. Bila nanti sudah memasuki sekolah, ia juga akan disibuki dengan tugas - tugasnya yang menginjak kelas XII.

"Juni maafin Abang Juni!." Teriaknya. Ia sengaja berteriak dari bawah

Menghempaskan tubuhnya ke sofa, "Bibi, tolong Arkan Bi." Panggilnya kepada Asisten Rumah Tangganya

Dari arah dapur, Bi Surti berlari kecil menghampiri Arkan "Iya Den, minta tolong apa?."

"Arkan pusing nih Bi, bingung juga sama si Juni, ngambek terus." Kata Arkan sambil mengadu kepada Bibi Surti

Bi Surti membuang nafasnya, "Oalah toh Den, Bibi kira mau minta tolong apa. Mau Bibi pijitin dulu biar Aden agak enakan badannya."

"Bibi repot nggak di dapur, kalau masih ada kerjaan nggak usah Bi. Arkan takut, Bibi nanti yang pegel - pegel tangannya karena pijit Arkan." Balas Arkan ramah, sangat mengerti dengan kondisi Bi Surti

"Kan Bibi kerja Den disini, kalau Aden minta ya harus Bibi turutin dong. Hayu sini Bibi pijitin, nanti kerjaan dapur dilanjut lagi."

Arkan melambaikan tangan untuk menolak tawaran Bi Surti, "Nggak Bi, udah Bibi kerjain yang didapur aja. Nanti Arkan bisa minta Mamah pijitin Arkan ko Bi."

CERITA JUNI & JULI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang