Satu minggu kemudian...
Kepergian bukanlah suatu kebencian, melainkan perasaan yang ingin diselesaikan dengan cara baik-baik, namun dengan penjabaran besar 'itu adalah sebuah tingkah laku seperti kanak - kanak. Sekarang yang hanya ia tau ialah satu, bagaimana caranya bisa mengembalikan keharmonisan dua keluarga, yang sampai saat ini, belum juga berteman lagi dengan baik. Rasa kesalahan yang semakin menumpuk, menjadikannya ingin ikut pergi juga, dan tak ingin kembali ke rumah ini lagi.
Bagaimana bisa, hanya dengan satu kali rencana, semuanya langsung musnah, dan tidak kembali dengan satu kali tepukan tangan pun. Apa yang ia harap, hanyalah sebuah keinginan keluarganya kembali harmonis lagi. Bukannya perasaan, melainkan lubuk hati yang paling dalam, ia mampu menahan masalah besar 'yang terjadi pada hidupnya.
Harus dengan cara apa, agar semuanya kembali normal, dan kehidupannya berjalan dengan benar?. Ingin menghitung hari saja, rasanya ia begitu tak mampu, untuk melingkari sebuah kalender yang tengah berduduk manis di meja belajar sana.
"Hubungan sama Kenzo gimana, masih berjalan mulus?." Seseorang datang dari arah pintu masuk, Juni yang tengah meratapi sebuah figura besar, tiba - tiba pandangannya beralih ke arah sosok yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya
Hanya satu gelengan saja, Juni membalas gerakan singkat dan merubah pandangannya ke arah balkon kamarnya.
"Saya boleh masuk?." Tanyanya yang terdengar sangat ambigu bagi Juni sendiri
Satu anggukan kembali tercipta dari kepala Juni, seseorang yang mendapatkan jawaban telepati seperti ini pun, akhirnya menginjakan kakinya ke dalam kamar Juni lagi.
"Kalo saya tanya, kamu cuma angguk-geleng gitu aja, berarti lagi nggak mulus dong ya?." Lagi lagi bertanya, laki - laki itu mendudukan tubuhnya tepat di hadapan Juni
"Lagi kenapa sih, hm?."
"Saya nggak papa." Sebuah kalimat singkat, namun menyimpan puluhan makna, Juni berucap bohong pada dirinya sendiri
Mengerutkan keningnya, "Serius nggak papa, saya liat, kamu lagi nahan air mata gitu lho." Mengubah duduknya menjadi lebih dekat dengan Juni, "Saya tau kamu mau nangis, sini, nangis di saya. Dulu kamu kalo nangis juga, tiba - tiba udah basahin baju sayaaa 'aja."
Benar, perkataan laki - laki di hadapannya ini, memang benar. Pelupuk yang sudah tidak bisa menampung lebih banyak air mata lagi, kini menyambar sebuah tubuh kekar itu 'dengan kedua tangan langsung melingkar di leher laki - laki tersebut.
"Salah saya apaaa, kenapa nggak ada yang serius mencintai saya..." Tak kuasa lagi menahan beban dalam dirinya, Juni menyerukan perasaannya yang telah membusuk didalam hatinya
Laki - laki yang tengah mengelus punggung Juni, seketika gerakan tangannya terhenti begitu saja. Menyerna sebuah kalimat yang keluar dari mulut Juni, mendadak hatinya begitu tercekat dengan apa yang ia dengar barusan.
"...Berusaha keras saya mencintai Kenzo, tapi kenapa dia lebih milih pergi ninggalin saya, dan nggak pamit lebih dulu..."
Semakin gencar Juni membuka semua unek - unek dalam hatinya, semakin terlihat pula laki - laki ini merasa bersalah.
Juni mengeratkan kedua tangannya, "Salah saya apaaa, kenapa satu persatu orang yang saya cintai, mereka lebih pilih ninggalin saya 'daripada denger penjelasan dari saya dulu..."
Perlahan - lahan, tangan besar yang semula mengelus punggung Juni, kini beralih membalas pelukan Juni, "Saya salah pernah ninggalin kamu, demi perempuan yang hanya main - main dengan saya. Maafin saya Ni, maafin saya."
"Kenapa Tuhan memberikan saya kesempatan untuk tetap hidup Li, kenapa nggak sekalian saya nggak usah hidup lagi di dunia ini. Kenapa Li, kenapaaa!..." Seketika nada kekesalan Juni mulai keluar. Ia benar - benar tak bisa lagi menahan ini semua

KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA JUNI & JULI [END]
Teen Fiction(mohon maaf jika penulisan nama JUNI / JULI, masih suka ketuker ya)... Semua telah usai. Dari awal hingga akhir, perjalan kisah cinta ini memang tidak untuk disatukan. Bila kalian ingin mengingat, jangan dipersamakan dengan pembuka kata, untuk peman...