Bab 5

1.4K 91 0
                                    


Hari ini,

Hari yang menurutnya sangat melelahkan, benar - benar melelahkan. Ia mengurung dirinya didalam kamar sendirian. Meratapi kepedihan yang terjadi pada dirinya sendiri. Mengapa hal yang ingin ia tidak inginkan justru membalikannya ke dalam jurang?. Mengapa Papahnya sungguh tega terhadapnya. Mereka jarang bertemu, tetapi sekalinya bertemu ia malah dijadikan samsak pukulan Papahnya.

Jam dinakas menunjukan pukul 7:30 PM, ia terus merutuki benda yang tak bernyawa ini. Ia terus melirik seisi kamar yang menurutnya tempat ternyaman. Seluruh air matanya ia tumpahkan dibantal besar ini. Ia sangat terisak kali ini, benar - benar sangat terisak. Perlakuan Papahnya barusan, membuat dirinya terus terpikir dibenaknya. Tamparan itu, ia terus mengingatnya.

Ia memegang pipinya yang sedikit membengkak, "Shhh." Ia meringis kesakitan

Kembali menjatuhkan air matanya, "Juli, kenapa ini sakit." Gumamnya pada diri sendiri

Terbelesit pikiran Juli, ia lupa bahwa Juli telah membelikan ketoprak kesukaannya. Ia baru ingat sekarang, ia kembali melihat jam dinakas, dan lagi - lagi jam itu masih menunjukan jam yang sama dengan menit yang sudah berganti. Ia menepuk keningnya, mengapa ia tega membiarkan makanan yang sudah dibelikan oleh Juli tadi.

Krukkk

Ia memegang perutnya, sedikit menimbulkan suara. Suara yang biasa sering didengar oleh seorang yang sedang lapar. Ingin sekali ia keluar dari kamar ini untuk meminta makanan dibawah kepada Bi Surti. Tapi niatnya ia urungkan, ia lebih baik menahan laparnya daripada ia harus bertatap muka dengan Papahnya. Ia sangat tahu bagaimana sifat Papahnya ketika sudah marah, maka dari itu ia memutuskan niatnya untuk mengambil makanan dibawah.

Ia memejamkan matanya, tapi tidak bisa. Ia melakukannya lagi, tetap saja tidak bisa. Padahal ia jarang tidur melebihi jam 9 malam, tapi kali ini menurutnya ia akan tidur lewat dari jam 9 malam. Ia terus memegangi perutnya, perutnya juga tidak bisa diajak kompromi sama sekali. Ia mempunyai kebiasaan buruk terhadap perutnya, bila mana ia telat makan, ia akan mendapatkan sakit yang menurutnya luar biasa.

"Biarkan, biarkan kali ini mereka mengeluarkan rasanya." Ia terus bergumam

Keringat disekujur tubuhnya mulai bermunculan, mulai dari ujung kepala sampai kaki ia bisa merasakannya. Ia mengambil remote AC yang berada dinakas, menekan tombol ON dan mulai mencari suhu yang bisa membuat dirinya segar. Akhirnya ia putuskan dengan suhu 16 derajat, ia tidak perduli dengan dingin atau tidaknya. Sekiranya dingin sudah menjalari tubuhnya, ia mendadak gelisah. Padahal suhu yang ia tentukan benar - benar terbilang cukup dingin, tapi mengapa ia gelisah seperti ini?.

Ia memegangi perutnya, tiba - tiba rasa melilit sudah bisa ia rasakan. Sakit, benar - benar sakit. Menurutnya, Maagh ini bisa membunuhnya secara tiba - tiba. Tapi dugaanya salah, ia tidak sampai kronis dan memang jangan sampai terjadi.

"Arghhh." Ia meringis kesakitan

"SAKIT!." Teriaknya

Ia beranjak dari ranjangnya, melangkahkan kakinya secara paksa menuju balkon kamarnya. Merentangkan gordyn, lalu membuka pintu balkon ini. Memang balkonnya tidak begitu luas, hanya disediakan dua bangku kecil dan ayunan rotan yang dibelikan oleh Papahnya. Satu tangan kirinya memegang perutnya, dan satu tangannya memegang pagar pembatas untuk menopang tubuhnya agar tidak tumbang.

Angin kencang menusuk tubuhnya, awan yang semula baik tiba - tiba berubah menjadi sangat gelap. Warna bibi yang semula merah karena liptint yang ia pakai, kini berubah menjadi pucat. Keringat terus membasahi tubuhnya, tubuhnya bergemetar. Kepalanya terasa ada yang memukulnya dari belakang, terasa begitu berat. Sebelum ia tumbang, ia mengumpulkan tenaganya agar bisa memanggil Juli dari sini. Ia tak perduli Juli mendengarnya atau tidak, tapi ia tetap ingin memanggilnya.

CERITA JUNI & JULI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang