Bab 62

690 38 2
                                    

Tak apa hari begitu kejam, menghitung waktu bersama dengan jarak yang telah mengutuk semua ini. Rasanya begitu asing, perempuan yang tengah menunggu hasil nilai ujian sekolah ditengah - tengah banyaknya siswa/i ini, menjadikan dirinya bukan sebagai dirinya sendiri. Senyum palsu yang ia lontarkan pun terlihat seperti angin dimasa lalu, yang pergi begitu cepat entah dengan tujuan apa. Hari ini, waktu yang telah menghukumnya untuk break dengan laki - laki yang sudah lama tidak pergi berdua lagi, kini ia sudah bisa menjalankan sebagaimana ucapan takdir menyentuh hatinya. Sebelumnya ia pasrah, tidak bisa berbuat apa - apa selain hanya bercerita kepada teman - teman terdekatnya dan mengeluarkan rasa sesak didalam dadanya. Boros, satu kata yang membuat dirinya dimakan oleh waktu ketika ia hanya mengurung diri beberapa hari di dalam kamarnya dan mogok makan. Tetapi ia juga tidak bisa untuk berlama - lama seperti itu, takdir baik menyadarkannya lewat dengan sebuah mimpi yang meminta dirinya untuk menjadi lebih baik dari masalalu.

Satu langkah lagi ia akan terbebas dari jeratan perempuan ular yang terus mengancamnya. Perbuatan Zeline yang terus mengintimidasi dirinya, ia tidak terlalu diambil pusing. Ada saatnya dimana ia akan bisa menyerahkan sebuah bukti formal bahwa Zeline sering kali menyelakainya dengan alasan hanya seorang laki - laki saja. Ia sudah bercerita ke Kenzo maupun Galen, kedua laki - laki itupun ingin membongkar rencana licik yang diperbuat Zeline dan teman - temannya, tetapi ia tidak bisa membiarkan seorang foxy girl bisa dikeluarkan begitu saja dari SMA Cendrawasih ini. Hatinya tidak meminta untuk membalas dendam sebagaimana Zeline perbuat kepadanya. Ia selalu mengingat dimana laki - laki yang pernah ada didalam hatinya selalu berpesan untuk tidak 'asal main tangkap seorang maling'. Dan ia pun percaya, percaya bahwa pesan 'masalalu' itu bisa membawa dirinya untuk memperbaiki diri seorang perempuan yang begitu obsesi dengan satu laki - laki.

Hasil dari ujian sekolah pun terpampang jelas di depan mata, melihat dengan seksama dan tersenyum singkat. Namanya diurutan kedua setelah nama laki - laki yang 'dulu' pernah singgah di hatinya. Tak apa ia sedikit mengingat adegan singkat waktu lampau, rasa sesak pun kembali menyerang dadanya. Memegang rasa yang kembali ada, terlihat pahit ketika ia hanya berpura - pura bahagia saat ini. Mengapa waktu mengulang memori yang ia sudah kubur dalam - dalam?, apakah hari ini akan menjadi hari dimana dirinya akan mengulang kejadian sama kembali, tetapi itu tidak boleh terulang lagi dan lagi. Ia harus bisa menghilangkan rasa pahit, dimana satu buah moment menjadikan dirinya sebagai perempuan yang terlahir amat sangat buruk.

"Hai Ni, apa kabar?." Seseorang menepuk pundaknya, lantas ia menoleh ke belakang dan melihat siapa yang menanyai kabar dirinya

Juni tampak biasa, tak ada raut wajah yang terlihat tegang maupun penuh kekhawatiran, "Gue baik, ada apa?."

Perempuan ini maju satu langkah, melihat beberapa kertas bertinta hitam print di depannya, "Selalu hebat ya, selalu menjadi deretan kedua setelah Juli." Sambungnya dengan membawa nama yang terpaksa ia dengar

"Kenapa, lo iri?." Juni mencetus ucapannya yang membuat dirinya terasa skakmat

Perempuan ini menaikan satu alisnya, tertawa singkat ketika Juni menyebutnya dengan sebutan 'iri', "Buat apa gue iri sama ilmu yang lo punya, gue cuma heran aja, ko bisa ya lo selalu ada dideretan kedua setelah Juli." Katanya lagi, entah mengapa perempuan ini selalu terlihat tak suka melihat kemampuan yang Juni punya

Sedikit menghela nafas, Juni memegang pundak perempuan yang berada tepat dihadapnnya, "Gini ya Zel, gue cuma mau bilang sama lo, jadi orang jangan bersikap mau menang sendiri. Bukannya gue so nyeramahin lo ataupun menjadi seseorang yang udah sempurna, gue cuma pengen lo berubah menjadi lebih dewasa dan berhenti menjiwai sikap anak - anak yang jelas umur lo udah kelewat dari tujuh belas tahun."

Zeline, perempuan yang masih saja mengganggu Juni dan tidak menyukai apapun kemampuannya. Ia mendadak diam ketika Juni memegang pundaknya dan memintanya untuk berubah menjadi lebih dewasa lagi. Ia menatap bola mata Juni lekat - lekat, mencari sesuatu disana dan ia tidak menemukan ada sesuatu yang ingin Juni rencanakan untuknya.

CERITA JUNI & JULI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang