Bab 89

534 40 5
                                        

Kehidupan bukanlah hal untuk menyempurnakan segalanya. Sebagaimana yang sudah terjadi, kepada kedua belah pihak keluarga, yang sampai saat ini masih terlihat samar - samar.

Mungkin, semua yang sudah membaca kisah sebelumnya, akan paham, mengenai permasalahan kecil 'yang telah dibesar - besarkan dan dihancurkan, seperti menghilangkan partikel debu yang mengendap disembarang tempat. Yang begitu sulit untuk ditemukan, dan sangat mudah untuk sekali hempasan.

TETAPI,

Saat ini, sedikit demi sedikit, kedua keluarga sudah saling menerima kembali, bahkan sudah menjalani keharmonisan lagi. Apalagi dengan keluarga Elvano, yang mana mereka sudah menerima keluarga Aldebaran dalam kehidupan putri tunggal mereka sendiri.

Juliano. Putra tunggal keluarga Aldebaran, kini tengah mempelajari berkas - berkas perusahaan Papahnya. Hal yang menurutnya berarti, ia sudah memaafkan sang Papah, yang mana sudah ikut campur 'bahkan ikut turun tangan dalam memisahkan dirinya dengan Juniatha.

"Sebaiknya Abang istirahat dulu. Kamu itu, dari tadi ngeliatinnya berkas - berkas terus deh. Gimana bisa fokus, kalau Abang sendiri belum makan sesuap nasi pun 'hm?." Farah, Mamah tersayangnya Juliano, kini mengambil sebundle berkas dari tangan putranya sendiri

Juli yang sadar dengan kedatangan Mamahnya, ia memijat tulang hidungnya, "Juli belum selesai Mah, sedikit lagi itu."

Farah membawa satu nampan,  yang berisikan sepiring nasi putih beserta lauk-pauk dan juga segelas air minum yang mana 'Juli terlalu jarang sekali mengonsumsi perihal tersebut.

Putra tunggal Aldebaran ini, terlalu banyak mempelajari latar belakang perusahaan, beserta omset pemasukan dan juga pengeluaran perusahaan Papahnya. Begitu juga dengan tugas - tugas pekerja kantoran, yang begitu membebani pikirannya, sehingga ia membiarkan jadwal makannya terlewatkan begitu saja.

"Kalau Abang nggak mau makan, biar Mamah yang suapin. Nggak ada penolakan, ataupun alesan, yang ujung - ujungnya, Abang cuma ngebiarin makanannya."

Juli mendengus panjang, "Juli bisa sendiri Mah..." Tolaknya halus. Entah mengapa ia selalu menolak permintaan Mamahnya, ketika ia sendiri selalu membiarkan makanan tersebut

Farah menggeleng hebat. Ia memotong ayam goreng, lalu menyendok nasi beserta sayur bayamnya. Sodoran satu sendok ke arah mulut putranya, Farah tak lupa memberikan senyuman manis kepada anak semata wayangnya itu, "Buka mulutnya, kali ini Mamah nggak ngebiarin Abang makan sendiri. Aaaaa..."

Juli pun membuka mulutnya. Menerima satu sendok tersebut, lalu mengunyahnya dengan begitu santai.

Ia mengingat, dimana umurnya masih berkisaran sepuluh tahun lalu. Farah selalu aktif, bahkan tak pernah alpa untuk menyuapinya makan. Bahkan ketika ia tidak mau makan, cara jitu Mamahnya membujuk Juli makan hanyalah satu, dimana para perempuan menyukai diam dan tidak mau diajak untuk berbicara.

"Kalau pun, Abang ingin menjadi pemimpin yang hebat untuk perusahaan Papah. Abang juga harus, menyempatkan sedikit waktu, untuk mengisi perut Abang ini..." Farah menyendokan kembali nasi tersebut, lalu menyuapi lagi ke dalam mulut Juli

"... Apa jadinya, bila pemimpin perusahaan nanti, kurus kering, hanya karena memperdalam sejarah perusahaan Papahnya. –Bisa dibilang, Abang bukan pemimpin yang baik nanti." Sambungnya lagi

Juli yang mendengarkan ocehan Mamahnya, pandangannya tak letih untuk menatap wajah indah milik Mamahnya itu.

Juli selalu berterima kasih kepada Tuhan, karena sudah memberikan seorang perempuan, yang selalu mengerti kondisi jiwa dan raganya. Bahkan, perempuan setengah paruh baya itu, selalu menjanjikan Juli untuk tidak melanggar kebaikan hati Mamahnya.

CERITA JUNI & JULI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang