Bab 6

1.5K 76 0
                                        


Rumah Sakit,

Mereka semua duduk berhampar di kursi besi silver ini. Meratapi yang sudah terjadi, membuat semuanya terasa sia - sia. Aiden dan Nadine, mereka berdua tengah berpelukan menahan isak tangis yang dialami oleh anak perempuan satu - satunya. Mereka tak bisa berbuat apa - apa selain menyesali ulahnya. Arkan yang ikut menenangkan sang Mamah, kini ia juga harus bergalut dalam sendu. Hal yang paling ia takutkan adalah ketika keluarganya dilarikan ke Rumah Sakit besar seperti sang Adik yang tengah diinfus didalam ruangan bernuansa putih itu.

Di dalam, seorang Juliano Aldebaran sedang menunggu teman kecilnya membukakan mata indahnya. Pasalnya ketika beliau jatuh sakit, Juni lah yang selalu ada disampingnya setiap waktu. Tak pernah lepas dari genggaman tangan mungil yang disalurkan olehnya, Juli terus mengelus tangan lembut seperti bayi yang baru dilahirkan. Entah mengapa, Juli sangat menyukai telapak tangan teman kecilnya ini. Juli terus memperhatikan wajah pucat Juni. Mata hitamnya, kantung mata yang besar, rambut panjang yang setengah basah, dan bibir pucat yang terpancarkan disetiap lekuk wajah Juniatha membuat Juliano terasa teriris pisau belati yang sangat dalam.

Bolehkan seorang laki - laki menangis? Tentu saja boleh bukan. Air matanya berhasil lolos keluar dan jatuh ke tangan putih yang disandingkan infusan. Mengapa sangat sakit melihat orang yang berharga dalam hidup kita harus beristirahat di Rumah Sakit,  memang pada dasarnya cobaan tak pernah salah. Tuhan sudah merencanakan yang terbaik dan tidaknya didiri manusia masing - masing. Tak ada yang bisa mengelaknya ketika Tuhan sudah menakdirkan sesuatu.

Tangan kanannya bergerak ke atas mengelus pipi gembul milik gadis yang sedang tertidur pulas, "Bangun Jun, mau jalan - jalan lagi nggak?." Ucapnya sendu, dengan sejenak ia menetralisir deru jantungnya yang terasa berpacu dengan cepat

"Katanya mau jalan - jalan lihat pemandangan ibu kota, ya walaupun sering gak apa - apa dong." Sambungnya lagi

"Kalo gak mau bangun, gue foto terus gue upload ke instagram ya. Biar lo dikata jelek sama netijen hahaha."

Juli terus begeming yang tak ada balasan dari teman kecilnya. Ia paling tidak suka ketika ia sedang berbicara, ia harus didiamkan seperti ini.

"Ah gue ngomong dicuekin terus." Desisnya

Salah siapa disini? Padahal ia tahu kalau Juni sedang tertidur, dan salah siapa yang mengajaknya berbicara? Ah benar - benar kacau sang Aldebaran ini.

"Gue gak suka liat lo pake selang - selang kayak gitu. Gue copot ya. Lagian apaan sih Dokter, masa temen gue dipakein selang dihidung lo. Aneh banget sumpah, udah kayak mau nyelam didasar laut aja." Pekiknya

Juliano Putra Aldebaran, cerewet bagaikan tong kosong nyaring bunyinya. Ia terus berkicau seperti burung beo yang tak ada henti - hentinya.

Ceklek

Juli menoleh ke arah pintu, disana terdapat kedua orang tuanya, Mahardika dan Farah. Juli pun langsung menghampiri Farah dan memeluknya. Farah sangat tahu dengan kondisi Juli sekarang. Begitu juga dengan Mahardika yang paham betul ketika Juli sudah bergalut dengan istrinya.

"Mah, Juni kenapa tidur terus. Juli udah bangunin gak mau bangun." Rengeknya seperti anak kecil

"Mungkin Juni kecapean sayang, makanya dia belum mau bangun. Sabar ya, kita tunggu Juni bangun." Balas Farah mengelus puncak kepala putra tunggalnya

"Papah kaget loh No ketika kamu telpon Mamah dan bilang Atha masuk Rumah Sakit." Mahardika menyebut Juli dengan sebutan Iano, sama halnya juga dengan panggilan untuk Juni Atha

"Juli aja kaget Pah pas nemuin Juni udah gak sadarkan diri di balkon kamarnya."

"Sudah kamu istirahat dulu yuk." Titah Farah menuntun putra tunggalnya menuju sofa besar yang disediakan di ruangan ini

CERITA JUNI & JULI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang