[67]

1.3K 162 51
                                    

"Bahwa apa yang hilang, sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang."

**

"Kenapa Ayah menulis?"

"Karena Ayah... ingin abadi, dalam kebaikan."

Kedua bola mata Eland kecil berbinar kagum. Menatap sang hero yang setiap sorenya ia saksikan selalu saja asik berkutat dengan lembar demi lembar kertas serta suara ketikan pada keyboard laptop yang saling bersahutan bagai nyanyian.

Ayah tersenyum hangat memandang putra tunggalnya yang kini begitu fokus mengamati satu demi satu buku yang tertata rapi pada rak lemari, samping meja kerja ayah. "Eland pingen kek Ayah!" gumam Eland tiba-tiba, membuat sang ayah tergelak.

"Eland mau buat buku tentang apa emangnya, hm?"

Hening. Beberapa detik.

Hingga Eland kecil memamerkan deretan gigi putihnya. Seakan mendapatkan ide paling brilian di muka bumi ini. "Buku tentang keluarga kecil kita yang bahagia! Kata mamah, dia sangat bangga punya Eland! Punya Ayah!" Atmosfer dalam ruang itu seketika dipenuhi haru.

Tak sadar, sudut mata sang ayah mendadak terasa ada sesuatu yang basah.

"Sini, peluk Ayah!"

Eland kecil yang semula memanjat bangku berukuran sedang untuk mengamati deretan buku, segera turun tertatih diikuti larian lincah menuju sang ayah tercinta. "Eland dataaang!" Eland kecil berteriak dengan satu tangan mengepal kedepan, seakan superman.

Ayah tertawa terbahak-bahak. Dan berhasil, sesuatu yang basah di sudut mata itupun, terjatuh. Setetes. Tepat ketika Eland mendaratkan pelukan nyamannya pada dada bidang sang ayah. "Ayah yakin Eland kecil Ayah bakal jadi penulis terbaik Ayah." bisik ayah lirih, tersenyum dalam pada sisi telinga kiri Eland.

"Ayah yakin?" Eland kecil mendongakkan kepala. Menatap sang ayah polos.

"Yakin. Banget. Penulis terbaik Ayah... selamanya."

**

"Ayah! Eland berhasil jadi juara nobel terbaik di Jakarta!"

Eland kecil, telah tumbuh menjadi remaja.

"Lihat, Mah! Putramu jadi kebanggaan nasional." goda ayah pada mamah yang tengah sibuk memasak. Mamah tertawa renyah. "Yaiyalah, anak sapa dulu? Mamah!" Eland tak tahu mengapa saat itu tiba-tiba saja rasa hangat menjalari dadanya begitu cepat. Rasanya, menjadi anak paling beruntung di muka bumi ini.

"Pialanya Eland simpan di lemari buku Ayah, ya!" sorak Eland sambil berlari kecil memasuki ruang pribadi sang ayah yang biasa digunakan untuk menulis. "Awas pialanya dimakan tikus!" Terdengar sahutan ayah yang bergema dalam nada canda. Eland tergelak kecil.

"Kalo dimakan tikus, ntar Eland penjara tikusnya!"

Jadilah ayah dan anak itu saling berteriak sahut-sahutan. Mamah sampai mengomeli keduanya. Dan lagi-lagi, diiringi tawa gelak khas dari sang ayah serta putra tunggalnya itu. Ah, rumah... inilah surga. Surga kecil Eland.

Namun, tak pernah disangka....

Enam bulan kemudian, surga tersebut justru menjadi neraka.

Obsession of SafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang