Prolog

19K 955 42
                                    

.

.

.

.

"Aaakh..."

Seorang wanita tengah mencengkram alas tidurnya dengan keras. Peluh bercucuran dari dahi hingga pelipisnya. Wajahnya memerah, bahkan air matanya sudah tergenang sejak tadi di pelupuk matanya. Sesekali kepalanya mendongak dan memejamkan mata saat rasa sakit itu semakin menjadi.

"Kepalanya sudah terlihat Yang Mulia. Dorong sedikit lagi." Seorang wanita paruh baya tengah duduk diantara kedua kaki wanita tadi, mengamati kepala bayi yang mulai terdorong keluar.

"Aaakh..."

Jeritan panjang itu mengakhiri rasa sakit yang teramat sangat, mengantarkan seorang bayi mungil membuka mata untuk pertama kalinya dan melihat dunia yang kelak akan mengantarkannya menuju kisah yang siap membawanya dalam arus kehidupan yang deras.

"Selamat Yang Mulia, Anda telah berhasil melahirkan pangeran yang tampan."

*****

Seorang anak laki-laki tengah berbaring diatas pangkuan ibunya. Anak itu mengerutkan dahinya kemudian menggeliat tidak nyaman saat merasakan punggungnya terasa panas. Anak itu kemudian menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Ibu.." suara anak laki-laki itu terdengar serak.

"Tubuhku panas, seperti ada yang membakar." Adu anak itu saat sang ibu menatapnya.

"Takdirmu telah datang, Nak." Sang ibu tersenyum menatap putranya yang tengah mengerjapkan matanya bingung.

"Apa itu takdir?" Anak itu bangkit dan duduk bersila menatap ibunya.

"Berjanjilah pada ibu kau akan mencarinya." Sang ibu kembali tersenyum dan mengusap kepala sang anak dengan sayang.

Anak laki-laki itu mengangguk antusias, merasa tidak sabar dengan kalimat yang akan dikatakan oleh sang ibu selanjutnya.

"Kau lihat bulan disana?" sang ibu menunjuk bulan yang tampak bulat sempurna diatasnya.

Sang anak kembali mengangguk.

"Kau harus berjanji pada ibu untuk melindungi bulanmu, tidak akan pernah menghianatinya karena dia adalah takdirmu." Sang ibu kembali menatap putranya dan tersenyum, kemudian sang anak kembali menganggukan kepalanya.

"Kau akan mengerti semuanya saat kau dewasa nanti." Kemudian keduanya kembali menatap bulan di langit.

"Aku ingin cepat dewasa, Bu."

*****

Seorang anak laki-laki tengah duduk diatas sebuah dahan pohon. Kaki kanannya ditekuk untuk menjadi tumpuan tangannya, sedangkan kaki kirinya dibiarkan menjuntai ke bawah. Anak itu menoleh saat seekor burung elang hinggap disampingnya. Anak itu kemudian tersenyum dan mengelus kepala sang elang dan menatap bulan diatasnya.

"Jadi seorang calon penguasa telah lahir?" anak itu bergumam tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.

"Dan dia seorang bulan? Aku tidak sabar untuk melihatnya bersinar bersama matahari." Anak itu kembali melanjutkan sambil menatap elangnya.

******

"Kakek! Kepalaku sangat sakit. Dari tadi tidak mau hilang, rasanya semakin berdenyut. Aku seperti akan mati." Seorang anak laki-laki mendekati seorang pria tua dan duduk disampingnya.

"Perlahan sakitnya akan hilang." Sang kakek menjawab sambil mengusap kepala cucunya dengan sayang.

"Kapan? Rasanya kepalaku akan meledak." Anak itu kembali mengeluh sambil menepuk dahinya pelan.

Sang kakek tertawa melihat tingkah cucunya, hal yang membuat sang cucu semakin merengut dan menggembungkan pipinya.

"Tenanglah, itu biasa terjadi saat sang raja mulai mendapatkan kekuatannya."

"Dengar, apapun yang terjadi kau harus mematuhi perintah orang itu." Sang kakek memegang bahu cucunya.

"Orang itu?" sang cucu merasa bingung dengan perkataan kakeknya.

"Orang yang akan mampu mengendalikan kalian semua, orang yang akan membuat kalian semua bersatu dan membawa kalian bersamanya."

"Kalian semua?" anak itu semakin bingung.

"Pemimpin kalian, penguasa para penyihir. Seorang Sage terhebat yang akan menemui kalian saat dewasa nanti. Dan kau harus berjanji untuk selalu mengikutinya."

*****

Seorang anak laki-laki tengah memegang sebuah pedang kayu dengan kedua tangannya. Pakaiannya yang berwarna biru gelap sudah basah oleh keringat. Semenjak empat puluh menit yang lalu, anak itu terus mengayunkan dan mengarahkan pedangnya pada sebuah tiang kayu pendek dihadapannya. Bahkan ikatan rambutnya sudah terlihat acak-acakan.

"Sampai kapan kau akan melakukan itu?"

Sebuah suara berat menghentikan aktivitas anak itu. Dengan perlahan kepalanya menoleh dan mendapati laki-laki dewasa tengah berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini.

"Ada apa?" laki-laki dewasa itu berjalan mendekati sang anak laki-laki dan berdiri disampingnya.

"Tidak ada, Ayah. Aku hanya latihan." Anak itu menurunkan pedang kayu di tangannya dan menatap sang ayah.

"Ini sudah larut. Sebaiknya kau istirahat!" Laki-laki dewasa itu mengambil pedang kayu dari sang anak.

"Ayah.." anak laki-laki itu seperti ingin mengucapkan sesuatu.

"Entah kenapa tubuhku merasa aneh. Terasa menghangat dan muncul semangat yang begitu besar. Sejak tadi aku sangat ingin memegang pedang." Aku anak itu.

"Dan jantungku berdegup sangat kencang. Seperti ada rasa senang akan sesuatu, tapi aku tidak tahu itu apa." Anak itu menatap ayahnya dengan bingung.

"Hari ini ya?" sang ayah bergumam sambil mendongak menatap langit malam.

"Ada apa dengan hari ini?" anak itu mengerutkan dahinya bingung.

"Simpan saja tenaga dan kekuatanmu itu. Suatu hari nanti saat kau dewasa, kau akan menggunakannya untuk membantu rajamu, membelanya dan melindunginya dengan sekuat tenaga. Jadi, sampai hari itu tiba kau harus sudah kuat dan siap untuk bertempur." Sang ayah hanya menepuk pundak anaknya dengan pelan dan meninggalkannya dalam kebingungan.

*****

Seorang anak laki-laki tengah terduduk di atas sebuah batu besar. Sejak tadi kepalanya terus mendongak menatap bulan yang bersinar di atasnya. Sebuah kotak kayu kecil berwarna hitam diletakan dipangkuannya.

"Aku merasakannya." Anak itu bergumam sambil memegang erat kotak kayu dipangkuannya.

"Apa yang baru saja terjadi?" anak itu masih bergumam sambil terus memperhatikan bulan yang bersinar terang.

"Malam ini bulannya sangat indah. Cahayanya lebih terang dan terasa menghangatkan." Anak itu memejamkan matanya.

"Dia juga seakan tersenyum." Lanjut anak itu masih dengan mata terpejam.

*****

Seorang anak laki-laki tengah menunduk. Menekuk kedua kakinya dengan kepala menumpu pada lutut. Kedua kakinya diikat rantai besar, begitupun dengan kedua tangannya. Pakaiannya sobek dibeberapa bagian, juga ada noda darah yang sudah mengering dibagian dadanya. Lengan kirinya sedikit tergores, bahkan pergelangan tangan dan kakinya nampak menghitam karena terlalu lama diikat oleh rantai. Ruangan yang anak itu tempati juga gelap, hanya ada lubang ventilasi kecil di tembok bagian atas yang dihiasi tralis besi. Di luar bulan terlihat bulat sempurna, menyinari ruangan itu meskipun sedikit. Anak itu kemudian menegakan kepalanya, menoleh pada jendela dan menatap tajam sang bulan yang seakan balas menatapnya.

"Cih manusia laknat itu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengikuti perintahnya. Apalagi sampai mempertaruhkan nyawaku untuknya. Aku tak sudi."

Sorry for typo

The Wizard [Taekook] END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang