Bersantai di rumah tingkat dua milik orang tua Davin adalah kebiasaan mereka sejak menjadi teman dekat. Bahkan Karel sendiri, melabelkan kamar luas milik Davin ini adalah base camp dari kelima orang saat ini. Karel dengan keahliannya mengambil alih kasur menjadi tempatnya seorang, Reynan dengan kerendahan hatinya mau mau saja disuruh tiduran di lantai, Asvel yang dimanapun dan kapanpun selalu terpaku pada game, baik dari ponsel maupun ps milik Davin, Davin yang selalu anteng duduk di kursi ayunan empuk dalam kamarnya sambil bermain laptop, dan Arden yang merasakan masih adanya hawa canggung dengan sahabatnya sendiri. Seperti sekarang ini.
Memang, sejak kejadian adu mulut bahkan adu hantam itu terjadi, suasana berubah menjadi lebih hening. Padahal, Arden sudah minta maaf pada orang-orang yang bersangkutan. Ah, entahlah.
Dan sekarang, Arden sedang tiduran di sebelah Reynan dengan diam. Matanya menatap langit-langit kamar berwarna cokelat ini. Masih merasa terganggu dengan hening yang ada.
"Ini ko beda gitu ya?" Asvel menceletuk setelah memencet play pada layar di hadapannya. Kepalanya menoleh sekilas ke arah empat sahabatnya.
Asvel. Sahabat yang satu-satunya berbeda sekolah dengan mereka, memang suka ketinggalan cerita. Maklum, di rumah pun dia sibuk game. Jadi jarang nimbrung grup blusukan yang dibuat bertahun tahun silam. Untuk berkumpul lengkap seperti ini pun, menjadi lebih sulit. Alasannya hanya satu kata, kesibukan.
Tugas, tugas, tugas.
Masalah hidup, lagi dan lagi.
Reynan menggeram kemudian bangkit dari duduknya, ia memilih untuk bermain ps bersama Asvel. "Tanya aja sama Arden,"
Asvel mengernyitkan alisnya. Ia memilih untuk mem-pause permainan yang baru saja dua detik dimulai. Pandangannya kini menuju ke arah Arden yang masih membisu.
"Gue udah minta maaf, gausah ungkit bisa?" Arden berucap pada siapapun yang mendengarnya. Terutama pada Reynan. Mendengar ucapan Arden, membuat kepala Karel dan Davin tergerak untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Hening kembali menyelimuti.
"Hmm.. Selalu nih gue. Nggak tau apa-apa." Asvel mencebik bete. Matanya menatap ke arah Karel dan Davin bergantian, meminta kejelasan apa yang sudah terjadi.
"Gue suka Keshia." Buka Arden, menghembuskan helaan nafas beratnya. "Terus lampiasin ke orang yang namanya Belinda, demi Kaira."
Asvel mengernyitkan alisnya, "Hah? Drakor ye? Yekali idup lu seribet itu, Den." celetuk Asvel asal, dan kembali bermain ps nya Davin.
"EH APA?! LO SUKA KESHIA?! KESHIA PACAR DOLPHIN?!"
Hening. Hanya Asvel yang ribut akan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam otaknya.
Asvel, lelaki itu kelewat logis, hanya menerima cerita secara logis. Karena menurut dia sendiri, hidup Arden adalah hidup paling santai yang pernah ada. Tidak ada masalah. Makanya ia merasa cukup terkejut mengetahui Arden baru menjelaskan inti masalah yang tidak Asvel mengerti. Hanya satu kalimat yang ia ketahui, bahwa Arden menyukai Keshia.
"Iya." jawab Arden.
Asvel membuka rahangnya, namun segera ditampol Reynan dengan bantal. "Game mulu sih, lo!
"Lo gimana sama Kaira? Belinda juga?" Davin bertanya pada Arden. Sedangkan sedari tadi Karel masih malas untuk membuka suara. Tenaganya sudah habis akibat heboh-heboh an di acara terakhir HUT sekolah, sebelum pembagian raport besok.
"Eh btw, gue tadi denger dari kakel pada ngomongin.. Katanya lo jadian sama Kaira, Rel?" Reynan bertanya, "KO NGGA NGOMONG?!"
"Jadian sama Kaira?" Arden bertanya. "Ko bisa.. Yang deket sama Kaira kan gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
One And Only K [Completed]
Teen FictionKaira Alsava. Gadis yang sangat menyukai ketenangan. Di balik musik yang ia dengarkan setiap waktu, Di balik film yang ia tonton setiap malam, Di balik novel yang ia baca setiap senggang, Ia adalah seorang gadis yang menyimpan sejuta luka. Yang hany...