'Survei: 1 dari 50 orang menemukan jodohnya di pesawat' tulis judul artikel yang sekilas kubaca di portal daring langgananku. Aku mengernyit, berarti aku bukan termasuk satu orang yang disebut dalam survei itu karena dari sekian banyak perjalananku menggunakan pesawat terbang tak satu pun yang berakhir dengan sebuah hubungan, baik perkenalan, pertemanan, atau bahkan percintaan. Paling banter hanya tersenyum menyapa orang yang duduk di sebelah, lalu tidur sampai akhir perjalanan.
Aku menutup halaman portal dan memasukkan ponsel 5,5 inciku ke dalam saku jaket saat taksi berhenti di lobi utama bandar udara Ultimate Soekarno Hatta.
Petugas counter check-in menyapa dengan ramah ketika melihatku berjalan mendekat sambil menyeret luggage jumbo ke depan meja di hadapannya. Kuangsurkan travel wallet hitam yang biasa kubawa dalam perjalanan dari satchel yang tersampir di bahu. Si mbak tetap tersenyum sambil terus menatap layar di depannya meski tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku untuk membalas sapa ramahnya.
Petugas bagasi tampak sigap mengangkat koper beratku untuk ditimbang, lalu menempelkan lembaran kertas panjang sebagai tanda kepemilikan dengan cekatan. Sambil menunggu mereka menyelesaikan tugas, kuedarkan pandangan ke sekeliling bangunan luas berlangit-langit tinggi nan megah dan berlantai marmer cokelat mengilat yang tak kalah ramai seperti di kala siang.
Deretan counter check-in kelas penerbangan domestik dan internasional berjajar rapi di tengah bangunan terminal. Karpet tebal mengalasi sekeliling taman luas di tengah-tengah bangunan dengan pot-pot besar yang berisi tanaman asli. Untaian bendera kecil berwarna merah putih dihias cantik di sekeliling taman masih dengan tema hari kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja berlalu.
Antrian penumpang di masing-masing counter tidak terlalu panjang, hanya ada satu dua penumpang yang berdiri sabar menunggu giliran. Sesekali terdengar suara wanita yang memanggil penumpang yang sudah tiba saatnya untuk boarding.
"Haneda, GA874, on schedule, ya, Pak. Boarding pukul 23.25. Silahkan menunggu di gate 10," ujar petugas counter bersanggul cepol masih dengan senyum ramahnya.
Aku hanya menarik sedikit bibirku ke atas.
"Have an nice flight!" tambahnya lagi.
Aku mengangguk dan segera menyambar travel wallet berisi kartu mileage, boarding pass dan paspor di meja counter dan mengambil langkah panjang menuju arah yang ditunjuk karyawan maskapai kebanggaan Indonesia itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Deretan kafe dan restoran cepat saji berjajar menghadang, menguarkan aroma menggoda seakan-akan mengundang untuk singgah. Sayang, aku sudah mengisi perut sebelum berangkat ke bandara tadi, mungkin nanti setelah urusan imigrasi selesai aku akan memesan segelas americano sebagai obat penahan kantuk sebelum waktu take off tiba.
Antrian lumayan panjang terlihat saat akan melewati pemeriksaan imigrasi yang hanya buka sebagian dari sekitar sepuluhan meja. Sesuai arahan petugas, aku berjalan menuju barisan paling kanan.
Bruk!
Suara benda jatuh berdebum sontak membuat setiap kepala yang tekun mengantri segera mengarah ke belakangku. Seorang gadis gemuk berusia sekitar dua puluhan tahun jatuh tersungkur. Tali tas ransel biru yang disampirkan di pundaknya tersangkut pada tiang pembatas antrian setinggi pinggang orang dewasa dan roboh bersama dengannya.
Reflek segera kuhampiri perempuan yang sedang mengerjap-ngerjapkan matanya seperti menahan sakit. Kepalanya yang dihias hijab biru corak bunga kecil kemudian menunduk mencari-cari sesuatu.
Dibantu oleh seorang petugas yang juga bergegas menghampiri gadis itu, aku mengangkat tiang pembatas antrian dan menarik tali ransel yang tersangkut. Kuraih benda berlensa di dekat kakiku yang terlempar dari empunya saat tersungkur tadi.
"Kacamataku ... mana?" Suara gumaman terdengar dari mulutnya.
Aku memperhatikan jari-jari gemuk seperti jari Bu Sisca yang jago masak di televisi itu meraba-raba karpet sekeliling tubuhnya yang masih terduduk di lantai.
"Ini," kusorongkan kacamata di tanganku ke depan wajah gadis itu.
Gadis itu mendongakkan wajah. Sepasang mata bulat, dengan bulu mata yang tebal dan lentik menatapku dengan saksama. Sepersekian detik berikutnya ia segera meraih tanpa menyentuh tanganku, lalu dengan cepat pula memasang kacamatanya hingga bertengger manis di pangkal hidung yang mancung.
"Terimakasih."
"Sakit?"
Gadis itu menggelengkan kepala, "Malu."
Aku tersenyum kaget mendengar jawabannya dan segera membalikkan badan tanpa berusaha menolongnya bangkit. "Makanya kalau jalan matanya ditaruh di kepala, bukan di dengkul."
"Eh!"
Aku melirik dari ekor mataku dan melihatnya cemberut. Gadis itu menolak dengan halus bantuan petugas yang mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Ia membetulkan letak ranselnya sambil menghentakkan kaki tapi kemudian berjalan mengekor di garis antrian di sebelahku dan berpura-pura seperti tidak terjadi insiden sebelumnya.
____________________________________
Semoga bisa update tiap hari, yeay!
A
16.03.2019
____________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...