Karena sumber kebahagiaan itu tidak selalu berupa materi
~■~
Tokyo Skytree menjulang gagah di depan mata. Lampu warna-warni sudah menyala bergantian di seluruh tubuh menara setinggi 634 meter seiring dengan senja yang datang menghampiri.
Aku melirik Binar yang diam-diam terlihat mengagumi menara yang termasuk bangunan struktur tertinggi kedua di dunia setelah Burj Kalifa di Dubai.
"Parkir di situ, Nar!" Aku menuntun Binar untuk memarkir sepeda di tempat parkir khusus di depan mall Tokyo Solamachi.
Gadis itu segera mengalihkan pandangannya dan menurut tanpa suara. Ia lalu mencangklong ranselnya di punggung dan mengikuti langkahku meninggalkan area parkir sepeda.
"Kemana, Mas?"
Aku menunjuk dengan daguku ke arah eskalator di depan mall. "Tuh!"
Kami lantas bergegas menuju counter tiket masuk Tokyo Skytree di dalam kawasan Tokyo Skytree Town sebelum tutup. Setiap akhir pekan, kawasan ini semakin ramai oleh pengunjung. Tak heran, karena Tokyo Skytree Town merupakan one stop entertaining. Selain tempat belanja dan makan, di sini terdapat akuarium besar, museum, planetarium, dan dua buah stasiun kereta; stasiun Oshiage dan stasiun Tokyo Skytree itu sendiri.
Dapat dikatakan setiap hari kerja, aku merupakan pengunjung mall dengan 300-an outlet dan restoran itu, karena di lantai paling bawahnya terdapat stasiun pemberhentian terakhirku dari Ueno sebelum berjalan kaki menuju ke kantor.
Aku tersenyum lega saat Binar tak menolak melihatku membayarinya tiket masuk. Ia memandangku pasrah karena tahu aku pasti akan melakukan segala cara untuk menolak uang yang diangsurkannya.
"Terima kasih, Mas," bisiknya pelan.
Aku mengangguk. Binar tampak semakin manis saat berada dalam mode patuh seperti ini. Membuatku ingin mengacak-acak ujung kepalanya yang tertutup beanie biru kesayangannya karena gemas. Namun segera kuurungkan, takut kelewatan dan bisa-bisa ingin menyentuhnya lebih dari itu.
Setelah memeriksa isi tas, petugas mengarahkan kami menuju ke elevator besar menuju ke lantai atas Tokyo Sky Tree.
Kami berjalan bersisian dalam diam. Tiba-tiba terbersit ide cemerlang yang melintas di benakku.
"Sementara kamu pakai laptopku saja, Nar," bisikku saat memasuki Tembo shuttle yang penuh dengan wisatawan menuju Tembo Deck di ketinggian 350 meter. Dalam hati aku sedikit khawatir, takut jika Binar bisa membaca maksud di balik tawaran yang aku ajukan.
"Heh?"
Aku melirik Binar yang terkejut. "Kalau di student center antri lama, pakai saja laptopku," tegasku lagi. "Kalau ada yang penting kamu bisa langsung ke apartemen, nunggu aku pulang kerja. Nanti kuusahakan pulang tepat waktu. Akhir pekan laptopku bisa full kamu bawa."
Binar terdiam. Ia tampak berpikir. "Nggak merepotkan?" tanya Binar ragu.
Bibirku terangkat sebelah. "Nggak sama sekali."
Malah aku sangat senang karena bisa ketemu kamu lebih sering, batinku penuh harap sambil melirik Binar.
Saat akan membalasku, pintu shuttle sudah terbuka. Binar terperangah. Hanya memerlukan waktu lima puluh detik bagi elevator tercepat di Jepang itu untuk sampai ke Tembo Deck.
Kata-kata yang akan diucapkan Binar seketika menggantung di udara. Bukannya merespons pernyataanku sebelumnya, ia malah berbisik mengomentari shuttle yang dinaiki. "Cepet banget, ya?"
Aku menarik tangan Binar keluar dari elevator dengan interior cantik yang selalu berubah tema sesuai dengan musim yang sedang berlaku di Jepang.
"Simpan rasa kagummu," Aku balas berbisik. Membaui aroma segar Binar yang samar menguar saat kepalaku mendekat ke samping wajahnya. "Akan ada lebih banyak hal yang membuatmu terpesona di sini, Nar."
Entah karena ucapanku di dalam shuttle tadi, atau karena memang pemandangan lanskap kota Tokyo di waktu senja benar-benar memesonanya, wajah Binar sontak berseri-seri. Ceceran mendung yang tadinya tersisa di sana seketika lenyap tersapu angin.
"Masya Allah, Mas ... bagus bangeeet ....!" Tak henti-hentinya Binar berseru kagum.
Pergantian siang ke malam dari Tembo Deck menampilkan pemandangan luar biasa indahnya. Seluruh anjungan Tembo Deck dikelilingi panel kaca tebal berlis besi kukuh warna perak. Menyajikan panorama 360 derajat kota Tokyo sampai dengan radius tujuh puluh kilometer yang jelas terlihat. Gemerlap lampu memenuhi kota sepanjang mata memandang. Samar terlihat siluet pegunungan di barat daya cakrawala. Bahkan saat siang hari dan cuaca cerah, sosok Gunung Fuji tampak jelas terlihat. Walaupun pemandangan saat mulai gelap seperti sekarang juga tak kalah indahnya.
"See ... I told you!"
Aku mengintip mata di balik lensa bingkai hitam yang tampak berbinar-binar. Mungkin ia diberi nama Binar karena matanya selalu tampak bercahaya saat sedang bahagia. Aku menatap tanpa kedip gadis yang masih terkagum-kagum pada pemandangan menakjubkan yang terhampar di depannya. Meneliti dengan saksama profil wajahnya yang kali ini dihias hijab warna gading lembut yang mengintip di sela-sela beannie kesayangannya.
Binar sepertinya sadar jika sedang diamati. Dia menoleh ke arahku. Wajahnya merona. Mata bulatnya balas menatapku dengan pandangan langsung menembus hati. Senyumnya merekah, lesung pipinya seketika terbit. Bibir favoritku itu tertarik menipis.
Tidak salah jika orang bilang bahwa mata itu adalah jendela hati. Seperti mata Binar saat ini yang sedang merefleksikan seluruh isi hatinya. Seketika aku terpukau. Tersihir oleh semburat bahagia yang memantul dari wajahnya.
Hatiku seketika menghangat. Mungkin laptop Binar memang tidak terselamatkan, tapi setidaknya gadis itu kini sudah menemukan kembali senyumnya.
Bahagia itu sederhana.
____________________________
Uhuk ... uhuk ...Arigatou,
A
07.04.2019
____________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...