Hidup itu tidak pernah datar
Bergelombang landai,
terkadang malah curam
Namun jangan salah,
gelombang itulah yang membuat hidup
menjadi lebih berarti
Yang perlu dilakukan hanyalah
menghadapi dan menjalani datangnya gelombang itu dengan keteguhan hati----》•••《----
Aku mengumpat, Khawla yang berada nun jauh di sana pun ikut marah padaku. Sangat. Padahal aku ingin menjelaskan kejadian sebenarnya dengan harapan ia bisa meneruskan kepada Binar. Namun gagal. Sejak itu pula panggilan teleponku di-reject setiap kali tersambung. Pesanku juga diabaikan Khawla walau terlihat dibaca. Berbeda dengan sahabatnya yang tak sedikit pun bisa terkoneksi. Mungkin nomor ponselku juga sudah di-block oleh Binar.
Sudah tak terhitung beratus umpatan aku dengungkan, Binar tetap tak bisa kuhubungi. Melalui media apa pun juga. Weekend kemarin aku mencoba menunggu lama di depan dorm-nya tapi tak juga membuahkan hasil. Beberapa anak kuliahan yang kucegat di pintu lobi dormitory juga tak bisa membantu. Mereka tak mengenal Binar. Wajar menurutku, yang tinggal di dormitory berasal dari berbagai macam jurusan dan berbagai macam bangsa. Belum tentu mengenal satu sama lain kecuali teman dekat.
Surelku juga tidak direspons oleh Binar. Bujukanku-lewat surel--untuk menyantap ramen kesukaannya juga tak digubris. Ajakanku untuk mengunjungi Tokyo Tower-juga lewat surel--tak dibalas. Aku makin mati gaya. Tak tahu mesti menggunakan cara bagaimana lagi agar bisa menemui Binar.
"Kenapa, Mas?"
Aku teringat beberapa minggu lalu saat Binar bertanya. Suaranya terdengar heran. Ia baru sadar jika aku tak menimpali obrolannya saat duduk bersebelahan di dalam kereta. Saat itu pandanganku terpaku pada interaksi seorang ibu dan putranya yang berusia sekitar delapan tahun di seberang tempat duduk kami. Mereka naik dari Shin-Koshigaya eki, mungkin ingin menuju tempat yang sama seperti kami. Ibu itu dengan serius menanggapi ocehan anaknya yang tak henti-henti. Wajahnya tetap tersenyum, tak ada raut kesal sedikit pun. Ia tampak sabar meladeni tingkah anaknya yang tidak bisa diam.
Hari itu aku dan Binar akan piknik memetik buah stroberi segar di kota Koshigaya. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan kereta dari Ueno. Sebentar lagi kami akan turun di Obukuro-eki, lalu jalan kaki sekitar sepuluh menit dari stasiun agar sampai ke area kebun stroberi. Sebelumnya aku dan Binar sampai berdebat berhari-hari, untuk menentukan tempat yang akan dikunjungi saat libur akhir pekan nanti. Akhirnya kami sepakat untuk sedikit keluar Tokyo, menikmati hijaunya perkebunan dan lezatnya stroberi Jepang.
Binar ikut memandang kemana arah tatapanku terpaku. Dia lalu menyenggol lenganku sambil berbisik. "Kalau Mas Varo kangen Mama, coba berdoa saja. Merayu pada Sang Kuasa, siapa tahu dengan begitu Mama bisa hadir dalam mimpi-mimpi Mas Varo." Aku ingat jelas perkataan Binar. Sepertinya ia bisa menebak isi pikiranku. "Apa sih yang tak bisa Sang Kuasa lakukan jika sedang berkenan?" pungkasnya waktu itu saat aku masih juga tak membalas kalimat-kalimat yang dilontarkannya.
Jadi aku di sini sekarang, bersujud di atas sajadah yang mulai kembali kugunakan sejak Binar menyeruak masuk ke dalam hidupku. Merayu Sang Kuasa seperti yang pernah Binar katakan. Apa sih yang tak bisa Sang Kuasa lakukan? Kalimat itu yang terus bergema dalam pikiranku. Membuatku tetap duduk bertimpuh di lantai sampai fajar menghampiri dan tak lama kemudian suara Nagata di pantry mulai terdengar.
"Widih! Tumben sudah rapi pagi-pagi begini," sapa Nagata saat melihatku keluar dari kamar. "Mau kemana, Kei?"
Aku memperhatikan sekilas Nagata sedang memecah dua buah telur di atas penggorengan. Bau mentega dan telur goreng menggelitik penciumanku. Menggodaku untuk mampir ke pantry. Ia meringis seperti tahu apa yang kupikirkan. "Gue lapar banget, Kei."
Aku tak menghiraukan Nagata. "Sorry, Ga. Gue buru-buru."
Sekuat tenaga aku mencoba bergeming dari niat semula, menyamperi Binar pagi-pagi sekali. Perkiraanku tidak mungkin ia tidak keluar dorm sekalipun. Jelas Binar sengaja mengindar bak main kucing-kucingan denganku. Jadi aku bertekad menunggunya di taman depan dorm-nya sampai bisa menemuinya. Kalau perlu sampai malam menjelang. Aku punya waktu 2 x 24 jam akhir pekan ini. Pasti ada momen Binar tercyduck olehku. Dan saat itu bisa terjadi kapan saja. Siapa tahu aku lebih beruntung hari ini.
"Gue mau ke tempat Binar."
Tak kuhiraukan perkataan Nagata selanjutnya, karena aku segera memasang sepatu sambil berlari keluar. Suara berdebam pintu tertutup di belakangku juga tak kuhiraukan.
Beruntung aku menemukan taksi dengan cepat, jadi bisa sampai di depan gedung dorm Binar tak sampai setengah jam. Jalan menuju ke tempat Binar masih lengang. Semburat berwarna oranye baru terlihat di timur cakrawala, sedikit dihias awan berwarna abu-abu. Aku berharap semoga tidak turun hujan karena tidak terpikir olehku untuk membawa payung.
Setelah membayar argo yang lumayan, aku bergegas menuju pos yang setia jadi tempatku menunggu selama dua minggu terakhir. Bangku taman di seberang dormitory Binar. Tempat di mana aku bisa mengamati bangunan asrama dengan leluasa tanpa terhalang oleh apa pun juga. Tempat yang paling sempurna kecuali satu kekurangannya, tidak ada tempat untuk merokok. Walaupun sebenarnya aku tak terlalu peduli. Tekadku untuk bertemu dengan Binar lebih besar dari keinginanku untuk merokok.
Benar saja, ketika baru setengah jam aku duduk, sosok yang sepertinya aku kenal terlihat keluar pintu lobi sambil menggeret sebuah lungage jumbo dan satu koper ukuran kabin. Ia tertatih-tatih menuruni tangga pendek di depan pintu lobi sendirian.
Aku segera berlari menghampiri sosok itu. Wajah Asia yang pernah aku temui di Ueno Park menatapku kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba.
"Hi," sapaku cepat. "I'm Keivaro, Binar's friend." Aku mencoba mengenalkan diri lagi. Jaga-jaga jika ia tidak ingat kepadaku. "Do you remember? We've met few weeks ago."
Gadis berwajah Asia itu kemudian tersenyum. Ia sepertinya masih mengingatku dengan jelas. "Hi," balasnya tak kalah ramah. "Yeah, I knew you. And who's not?" Gadis itu tertawa kecil.
Aku meringis masam. Menyadari kejadian itu pasti terpatri jelas di benak teman-teman Binar. Untung urat maluku saat ini sudah putus. Jadi aku tak peduli persepsi teman-teman Binar terhadapku.
"I know you're in hurry. And I'm so sorry to bother you." Kedua tanganku mengatup meminta maaf. "But, I have to meet Binar immediately. I have something important to explain to her. I was trying to find her in past two weeks, but always failed."
Aku menarik napas panjang. Lalu memohon dengan sangat kepada gadis Asia itu. "Would you like to help me, please? At least can you show me where's her room?"
Gadis itu mengernyit bingung. Keningnya berkerut. Mata sipitnya memicing menatapku. "How can I help you if she's already flying home last night?"
_______________________
Outch!Salam perih,
A
29.04.2019
________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...