Biasanya sesuatu yang dimiliki dengan mudah itu kurang meninggalkan bekas di hati. Easy come easy go. Lewat begitu saja. Seperti air pembasuh tangan.
Ketika Papa memberi pesan jika ternyata nanti langkah yang akan kuambil tidak berjalan mulus, maka aku harus bersiap meneguhkan hati. Menurut beliau, sesuatu yang diperoleh dengan susah payah, biasanya akan sangat dihargai dan benar-benar dijaga agar tidak hilang begitu saja.
Aku duduk sendirian dengan kaku di kursi empuk ruang tamu sederhana yang cukup luas, sekitar lima belas meter persegi. Ada dua foto acara wisuda anggota keluarga yang menghias dinding di seberangku. Berjejer dengan sebuah foto berukuran jumbo. Menampilkan seluruh anggota keluarga Binar dalam suatu acara pernikahan yang menurut tebakanku, pernikahan kakak sulungnya. Penampilan Binar berhasil mencuri perhatianku. Meski badannya besar, tapi Binar tampak anggun dan ayu dalam balutan kebaya warna gading. Rona bahagia penuh senyum terlihat dalam setiap wajah di dalam foto itu. Terbalik dengan kondisiku saat ini.
Embusan angin dari kipas yang menyala di pojok ruang tamu nyatanya tak cukup mengusir ketegangan dari wajahku. Lantai ubin yang dingin juga tak mampu menetralkan panas di hati. Aku mendengar suara debat tertahan dari ruang di balik ruang tamu. Sesekali terdengar samar suara bantahan pria muda yang dipanggil Dipa menimpali. Waktu dilerai tadi, Dipa tampak tidak rela. Namun, ia langsung menurut begitu diseret masuk oleh pria yang kuperkirakan adalah Bapak Binar. Aku sedikit menghargai Dipa yang dengan besar hati mengaku sudah meninjuku duluan.
Sial!
Aku mengumpat dalam hati. Tak menyangka akan menerima bogem mentah pagi-pagi begini. Badanku berkeringat. Wajahku seperti terbakar. Denyutan konstan di pipi kiri yang tak juga hilang, membuatku terus melantunkan beribu sumpah serapah. Hanya dalam hati, tak berani terlontar keluar. Bukan rasa sakit, tapi jengkel yang menggunung.
Seraut wajah yang ikut memisah pergumulan tadi datang tergopoh-gopoh dan segera mengambil tempat di sisiku. Beliau memaksaku menghadap ke arahnya, lalu menempelkan dengan hati-hati gumpalan handuk kecil yang sudah diberi bongkahan es batu ke pipi kiriku.
"Aduh!" Aku memekik lirih ketika handuk basah itu sedikit menekan kulitku.
"Maaf. Sebentar, ya. Ini ibu pelan-pelan, kok," bujuknya. Wajahnya seakan memandangku dengan sejuta kasih. Seketika segumpal rasa melesak ke dalam hatiku. Seperti rasa dingin yang menempel di pipiku saat ini. Nyes.
Sambil terus mengompres pipiku yang memerah beliau menatap wajahku dengan penuh penyesalan. "Astaghfirullah, Nak. Ibu minta maaf, ya. Nggak biasanya Dipa kurang ajar seperti ini."
Wanita yang kuyakin adalah ibu Binar berulang kali mendengungkan permintaan maaf. "Anak itu memang perlu ditatar lagi."
Ajaib, perhatian sosok berwajah teduh berhijab instan dengan badan sedikit tambun itu mampu membendung adrenalinku yang tumpah ruah. Membuatku dengan mudah melepaskan ketegangan dan mulai bernapas dengan normal. Aku balas memandang wajah yang tak asing lagi—dalam versi tua—di hadapanku. Garis ayu tampak terukir jelas di sana, kulitnya putih, berhidung mbangir, bermata lebar, tanpa kacamata bingkai hitam seperti Binar.
Aku tersenyum maklum, walau masih menyimpan rasa dongkol di dalam hati. Wajar jika sambutan yang tak disangka oleh pria muda yang dipanggilnya Dipa itu membuatku memendam jengkel yang menggunung. Untung aku tidak lepas kontrol dan balas meninjunya. Jika hal itu sampai terjadi, aku yakin sang empu rumah akan dengan senang hati mempersilahkanku segera angkat kaki dari rumah mereka.
Ibu Binar tampak lega melihatku mulai tersenyum. Ia melepaskan tangannya dan dengan isyarat memintaku untuk memegang sendiri handuk dingin di pipiku.
Aku menurut, lalu menahannya dengan tangan kiriku. "Terima kasih."
Aku segera teringat jika belum sempat berkenalan. Seketika tangan kananku terulur, berniat menyalami wanita yang masih memandangku dengan senyum hangatnya.
"Mohon maaf saya belum sempat memperkenalkan diri. Saya Keivaro, Bu." Aku menunduk meraih tangannya yang menyambut uluran tanganku. Aku lalu menciumnya punggung tangannya dengan santun. "Biasa dipanggil Varo oleh Binar."
"Masya Allah. Ini Nak Varo teman Binar yang dari Jepang itu? Kapan datang, Nak? Kok bisa sampai sini?" Ibu Binar menyambut tangan. Wajahnya menampilkan rona terkejut.
Alisku terangkat sebelah karena Ibu Binar sepertinya sudah mendengar namaku. Entah apa saja yang sudah diceritakan Binar kepada ibunya, atau bahkan kepada kakaknya melihat sambutan hangat yang dialamatkan kepadaku tadi.
"Semalam saya baru sampai, Bu. Transit sebentar di Jakarta. Saya sengaja langsung ke Jogja karena ingin bertemu dengan Binar. Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan dengan putri Ibu." Aku berkata terus terang. Beliau lantas tersenyum maklum sembari menepuk pundakku lembut.
"Saya Wulaning, ibunya Binar. Anak laki-laki yang menyapa Nak Varo tadi Dipa, kakak Binar nomor tiga," Ibu Binar ganti memperkenalkan diri. "Pria ganteng yang jadi wasit tadi Pak Maulana, Bapaknya Binar. Maaf kalau sambutan kami sedikit di luar kebiasaan."
Ibu Binar sedikit bergurau sambil meminta maaf. Ia luwes berbicara dengan logat Jawa yang kental.
"Sayang, Binar sedang tidak ada di rumah."
______________________
Siapa yang kangen Binaaar?Jadi Neng Binar ini kemana sih? Udah disusul jauh2 dari Tokyo belum juga muncul...
#kangenbinarSalam kangen menggunung,
A
05.05.2019
_______________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...