Hanami di Sumida - 47. Padam

906 128 31
                                    

Aku muak. Senyum yang terpampang di wajah Shirin benar-benar palsu.

"LDR-an itu nggak enak, Kekei sayang," imbuhnya lagi seolah-olah kami tadi sudah menyetujui hal yang sama.

Sayang, kekerasan terhadap wanita tergolong tindakan pengecut, tidak gentle. Jika tidak, aku pasti sudah menyumpal mulut iblis Shirin. Bagaimana mungkin dia bisa menebar cerita dusta kepada Binar. Shirin sudah sinting! Aku ingin mengumpat keras-keras.

Wajah Binar makin memucat. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat menahan gejolak di hatinya. Beragam emosi bergantian tergambar di wajahnya. Orang bilang, tercubit paha kiri, paha kanan pun terasa sakit. Seperti ini yang sekarang kurasakan. Aku bisa merasakan kekecewaan mendalam yang dirasa Binar.

"Sini sebentar, Nar!" Aku tak sadar mencengkeram lengan Binar yang tertutup kemeja katun warna gading, mengajaknya sedikit menjauh dari kerumunan orang-orang. Aku ingin menjelaskan, tapi tidak sekarang. Tidak di depan pandangan mata teman-teman Binar yang masih bingung dengan drama yang terjadi di depan mereka.

Binar terperanjat. Ia meronta lalu berusaha menepis cengkeramanku kuat-kuat. "Lepasin, Mas!"

Aku mengalah. Peganganku langsung kulepas. "Nanti aku jelasin. Kita pulang bareng, ya?"

Aku menatap Binar lekat-lekat. Ia segera berpaling. Tak sedikitpun mau memandang wajahku. Menjawab pun tidak. Tampaknya ia terluka cukup parah.

"Ke!" panggil Shirin menyelaku. "Kita belum selesai, Ke."

Aku menoleh. Binar segera beringsut menjauh.

Pandanganku bertambah sengit menatap Shirin. Kami kini berdiri berhadapan. Baiklah, kalau ia ingin membuat masalah denganku, akan aku ladeni. Jemariku mengepal erat, punggungku tegak, adrenalinku menumpuk, memicu berkumpulnya segudang amarah yang siap dimuntahkan kapan saja. Hanya akal sehat yang menahanku untuk tidak meledak saat ini.

"We're done, bitch!" Tak sadar akhirnya umpatan itu keluar juga dari mulutku. "Long time ago!"

"We are not!" balas Shirin tak kalah lantang. "I always love you, Ke! You have to know that! Aku tidak akan membiarkan seseorang pun mendekatimu, Ke!"

Love my ass!

Aku melotot. "Urus urusanmu sendiri! Aku sudah muak denganmu!"

Segera aku berbalik mengejar Binar yang mulai menjauh. Shirin tak putus asa. Dia ikut berlari mengejarku. Tiba-tiba aku berhenti lalu berbalik. Tanganku menunjuk wajah Shirin dengan sengit.

"Jangan mendekat!" pekikku lantang. "Jika tidak, dengan senang hati aku akan melemparkanmu ke dalam kolam!"

Ucapanku seketika menghentikan langkah Shirin. Ia terperanjat. Wajahnya pias. Mulutnya terbuka seakan tak percaya jika aku sampai hati mengancamnya. Aku tak pernah semarah ini kepada Shirin. Tidak, selama aku bersamanya. Selama itu aku selalu mengalah dan berusaha menuruti keinginannya. Tidak pernah terlontar sedikit pun kata kasar dari mulutku. Jika tidak setuju dengannya, paling aku hanya akan diam seribu bahasa.

Aku menatap Shirin masih dengan amarah yang menggelegak, dadaku berdegup kencang. Keringat berlelehan di pelipisku. Tak kupedulikan cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya.

Segera kubalikkan badan untuk mengejar Binar. So long, Shirin!

"Nar!" panggilku lantang. "Binar!"

Gadis yang kupanggil tak sedikit pun menoleh. Ia malah menarik tangan teman wanitanya agar semakin mempercepat langkah. Terik matahari tak menyurutkan derap langkah mereka untuk berlari kecil meninggalkanku. Aku tak peduli meski kami jadi tontonan orang-orang di sekitar. Aku juga tak menyesal jika suasana asri Ueno Park yang seharusnya dinikmati dengan damai, jadi tercemar oleh Drama Sabtu Sore kami.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyusul mereka bertiga. "Tunggu, Nar! Ini tidak seperti yang kamu kira!"

Aku menarik tas selempang warna cokelat Binar. Memaksanya untuk berhenti. Tindakanku berhasil. Binar seketika menyusutkan langkah lalu berhenti. Kedua teman Binar sontak ikut berhenti. Mereka menatap kami bergantian dengan bingung.

"I'm so sorry. Binar and I have something to discuss!" Aku memohon maaf pada kedua teman Binar sambil terengah-engah. Jantungku berdetak keras. Aku masih merasakan darah berdesir di kepalaku. Tak kuhiraukan meski keringat membanjir di seluruh tubuhku. Pelipis, leher, dan badanku basah. Sebagian karena udara lembab, sebagian lagi karena adrenalin yang masih mengalir deras.

"Lepaskan, Mas!" Binar mulai berontak mencoba melepaskan tali tasnya yang kupegang erat.

"A moment, please!" Aku memohon kepada Binar. Meratap supaya ia mau mendengarkan penjelasanku.

Binar terdiam. Tubuhnya melemah, wajahnya kembali memerah. Entah karena terik matahari atau karena menahan berjuta rasa dalam dadanya. Mataku menyipit. Jantungku masih berdegup kencang.

Ya, Tuhan! Aku terkesiap. Abu itu nyata terlihat. Aku risau desahan angin akan membuatnya terbang menjauhiku. Menyisakan kembali lubang di hati yang sudah mulai terisi.

"We have nothing to discuss." Binar berkata pelan. "We're just friend, aren't we? Kata Mas Varo, sahabat Khawla berarti sahabatku juga." Nada suaranya kali ini terdengar menyayat hati. "Setahuku, sahabat tidak berhak mencampuri urusan pribadi sahabat yang lain."

Ucapan Binar mengingatkanku kalau kami cuma berteman, tidak lebih. Aku menatap mata Binar yang menggelap. Kali ini kilaunya benar-benar padam.

_________________________Penyesalan datang belakangan, Kei

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_________________________
Penyesalan datang belakangan, Kei. Kalau di depan itu namanya pendaftaran #candareceh #biargameriang

Salam gulita,
A
27.04.2019
__________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang