Rasa kangen itu kabarnya membuat kadar adrenalin dalam tubuh melonjak naik. Jadi khawatir jika kangenku pada Binar overdosis, akan membuatku terkena serangan jantung—kata engineer, bukan dokter.
Aku tidak bisa tidur meski mataku sudah terpejam, bolak-balik ganti posisi juga tak membantu. Padahal segelas green tea latte yang sebelumnya kuminum biasanya bisa membuatku cepat terlelap di waktu malam.
Dengan kesal aku bangkit dari tempat tidur. Lalu beranjak ke pantry untuk memasak dua bungkus mi instan campur telur rebus yang tersisa di dalam kulkas. Nagata masih menonton film dari siaran tv kabel. Tak henti-hentinya ia melontarkan candaan untuk meledekku. Aku melahap semangkuk besar mi sambil mengobrol dengan Nagata di ruang duduk. Setelah ia masuk kamar pukul dua belas malam, baru aku merasa ngantuk dan tak lama kemudian ikut masuk ke kamarku sendiri.
"Aku di depan," sambarku begitu sambungan telepon diterima Binar. Nagata masih tidur saat aku meninggalkan apartemen. Semalam dia bilang ingin mengajakku ke Akihabara siang ini. Ketika aku merespons dengan gumaman tak jelas, Nagata mulai curiga. Aku terpaksa mengaku jika sudah ada janji dengan Binar. Wajah Nagata kembali menyiratkan sejuta canda, meski begitu dia mau mengerti dan menitip salam untuk Binar.
"Hah?" sahut Binar. "Depan mana, Mas?" Suaranya masih terdengar serak. Hari memang masih pagi. Baru pukul tujuh ketika aku sampai di depan dorm. Saat musim dingin seperti ini, matahari biasanya baru terbit setengah jam sebelumnya. Aku terbangun saat Subuh tadi, langsung mandi dan bersiap tanpa sempat sarapan.
"Di taman depan dorm. Kamu sudah sarapan?"
"Belum," jawabnya cepat. "Aku baru bangun, mandi juga belum."
Aku memutar mata.
"Ya udah, buruan mandi! Aku tunggu di sini," putusku cepat sebelum aku tambah kedinginan.
"Masuk aja, Mas. Tunggu di dalam."
"Nggak usah, nanti kamu tambah lama."
Langsung terdengar suara gedebukan dari seberang. "Ya, udah. Tunggu, ya. Aku cepet, kok."
Aku tersenyum lega ketika Binar akhirnya mendatangiku dengan senyum lebar tersungging di wajahnya. Aku memandang lekat-lekat wajah bersemu merah--karena terpaan udara dingin--yang sudah lima hari kurindukan. Binar mengenakan parka hitam. Syal persegi warna marun yang aku belikan tersampir di lehernya. Hijab dengan corak abstrak warna pink, putih dan sedikit merah itu kali ini tidak tertutup beanie. Tangan kanan Binar memegang paper cup dengan tutup hitam, sedangkan tangan satunya memegang kantong transparan berisi kotak berpita kertas. Kemunculan Binar seolah langsung menghangatkan badanku yang hampir membeku selama dua puluh empat menit lebih sekian detik menunggunya. Sendirian di taman kecil yang sepi tanpa bisa mengisap lintingan tembakau karena tak kulihat ada smoking area di sekitar taman tempatku duduk.
"Nah, sebentar, kan?" sapa Binar. Bibirnya terlihat lebih segar di pagi hari. Sama segar seperti wangi tubuhnya sehabis mandi, yang melesak tajam ke dalam indera penciumanku.
"Hmmm...." Aku berdeham pendek. "Baru dua puluh lima menit lebih sepuluh detik." Aku pura-pura melihat jam di tangan kanan.
Sial!
Adrenalin datang lagi. Aku sedikit bercanda untuk menutupi kegugupanku. "Hidungku juga baru mulai mengeras. Belum membeku seluruhnya."
"Maaf ... maaf." Binar tertawa malu. "Tadi disuruh masuk nggak mau."
Aku tersenyum menatapnya. "Nggak, ah. Takut."
Alis Binar terangkat sebelah. "Takut kenapa?"
"Takut betah. Nanti nggak mau pulang."
Binar merespons dengan tawa kecil, menampilkan deretan gigi rapi di balik bibirnya yang merekah. Lesung pipinya langsung muncul tepat seperti tebakanku. Dengan gugup ia mengangsurkan gelas di tangannya melihatku masih menatapnya intens.
Aku mengernyit. "Apa, ini?"
"Cokelat panas."
"Ooh." Aku mengangguk senang. "Terima kasih, Nar."
Binar tersenyum. "Kan tadi aku bilang Mas masuk aja. Bisa sambil minum cokelat panas atau ngopi dari vending machine di lobi. Cuman emang nggak ada tempat duduknya. Sempit pula. Lumayanlah, daripada kedinginan di luar?"
"Ooh." Kembali aku mengangguk. Kukira tadi Binar menawariku untuk masuk ke kamarnya. Tidak terpikir kalau dia menyuruhku untuk masuk ke dalam lobi. Aku ingin menepuk jidatku keras-keras karena sudah berpikir terlalu jauh. Biasanya aku memang hanya mengantar Binar sampai di depan pagar dorm, tidak pernah masuk sampai ke lobi.
Aku segera menyesap pelan-pelan cokelat panas di tanganku sembari bergeser, memberi tempat pada Binar agar duduk di sebelahku.
Binar mengangsurkan plastik kecil yang dibawanya. "Buat Mas Varo," ujarnya malu-malu. "Aku beli di Shinjuku kemarin. Sebenarnya mau aku kasih tadi malam."
"Ooh, apa ini, Nar?" tanyaku penasaran. Aku meletakkan gelas kertas di bench kosong di sebelahku. Lalu menerima kotak kecil berukuran lebih besar dari kepalan tangan yang diangsurkan Binar. "Kamu repot-repot saja."
Aku langsung paham kenapa semalam dia bilang pengen mampir ke Ueno. Padahal dari Shinjuku, Binar bisa bablas pulang ke dorm-nya tanpa melewati Ueno, lebih dekat. Tidak perlu mencari jalur memutar dan berganti kereta. Aku jadi terharu.
"Ah, nggak repot kok," ujar Binar cepat. "Buka sendiri aja, Mas. Udah dibungkus rapi masak ngasih tahu sebelum dibuka?" lanjutnya. "Tahu gitu aku nggak usah bungkus serapi itu."
Aku tersenyum geli mendengar jawabannya. Tak sabar aku merobek kertas pembungkus dengan cepat. Alisku berkerut melihat sebuah benda persegi tipis dengan sudut-sudut lengkung berbentuk elegan berwarna hitam teronggok rapi di dalam kotak. Dikelilingi dengan remasan kertas decoupage warna gading sebagai penahannya agar tidak goyang-goyang.
"Ya ampun, Nar. Kok kamu tahu aku lagi perlu mouse?" Sontak aku memandang wajah Binar dengan rasa bahagia. Isinya memang bukan kunci mobil, atau ponsel merek buah kegigit seri terbaru. Namun, tetikus ini barang penting yang aku butuhkan, tapi belum sempat kubeli. Wajah yang tadinya tampak khawatir saat aku mulai membuka kotak pemberiannya itu kini berseri-seri lega melihat responsku.
"Aku tahu Mas lebih suka pakai mouse eksternal. Kalau aku sih sudah terbiasa pakai yang built-in di papan laptop. Awal-awal pinjam laptop dulu aku pernah coba, mouse eksternal punya Mas agak susah dipakai. Kadang suka lompat-lompat sendiri. Makanya begitu aku lihat ini kemarin, aku kepikiran pengen beliin buat Mas Varo."
Aku tertegun. Merek tetikus yang dibelikan Binar sama dengan software yang dipakai laptopku. Bentuknya lebih tipis dan ringan, tidak menggelembung seperti tetikus pada umumnya. Biasanya jenis ini sering dipakai oleh para pengguna laptop aktif karena bentuknya yang ergomonis dan tidak merepotkan saat dibawa bepergian.
Aku benar-benar terharu. Gadis ini tahu apa yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan. Sama halnya seperti saat ia membelikanku payung beberapa hari lalu. Aku memandang lekat-lekat wajah gadis di sampingku yang masih mengukir senyum berseri. Dehaman kecil sedikit menutupi kegugupanku. Namun, jantungku makin berdetak kencang.
Sepertinya aku perlu segera menelepon layanan darurat, meminta bantuan untuk sekedar meredakannya.
___________________________
Ah, Binar. So sweet...!Salam diabetes,
A
19.04.2019
____________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...