"Kalau boleh tahu Binar kemana, Bu?"
Aku meringis masam. Denyutan panas di pipiku mulai berkurang. Aku segera meletakkan handuk yang kupegang ke atas meja di depanku. Ternyata benar kata Dipa tadi, Binar sedang tidak di rumah. Padahal kemarin Khawla bilang sudah memberitahu Binar jika hari ini aku akan datang menemuinya di sini. Aku menghela napas panjang. Sabar, Kei.
Ibu Binar menatapku.
"Binar pagi-pagi tadi sudah nyengklak motornya, Nak Varo. Alasannya mau bantuin jaga toko Ibu di Pasar Gamping sana," jelasnya lagi. "Sudah seminggu ini Binar mulai ke kampus, tapi masih diantar jemput. Kemarin-kemarin saya memang belum izinin Binar naik motor sendiri. Takut kalau masih lemas terus tiba-tiba pingsan seperti waktu itu."
Hatiku berdesir. Duh.
"Dia bilang bisa mati bosan kalau cuma diam di rumah. Saya memang masih melarangnya kemana-mana kecuali ke kampus sejak masuk rumah sakit kemarin. Haduuh, anak itu memang keras kepala." Ibu Binar sedikit mengeluh.
Aku meringis. Anak Ibu bukannya bosan di rumah, tapi memang sengaja menghindari saya, batinku kecut.
"Binar sudah sehat, ya, Bu?"
Ibu Binar masih tersenyum ramah. Aku jadi tahu darimana wajah ekspresif Binar berasal.
"Alhamdulillah, sudah. Anak itu memang jarang sakit, mungkin kemarin itu karena kecapekan saja selama sekolah di Jepang itu. Baru berasa begitu sampai Jogja. Langsung ambruk. Apalagi dengan makanan di sana, mungkin dia banyak yang nggak cocok, ya?" Ibu Binar bertanya retorik.
Aku menyembunyikan senyum, tak mencoba menyanggah asumsi Ibu Binar. Seandainya beliau tahu nafsu makan anak gadisnya saat bersamaku, mungkin serta merta akan meralat pernyataannya tadi.
Obrolan kami terhenti ketika Pak Maulana dan Dipa ikut bergabung di ruang tamu. Wajah Dipa masih terlihat kesal. Aku yakin buku-buku tangannya juga terasa nyeri setelah tanpa permisi meninju tulang rahangku yang keras. Tangannya segera terulur mengajakku bersalaman.
"Maaf, Mas. Tadi saya khilaf," ujarnya singkat, tanpa senyum.
Meski masih dongkol, aku menyambut uluran tangan Dipa. "Saya juga minta maaf sudah memiting tangan Mas Dipa."
Ia langsung mengernyit ketika merasakan eratnya cengkeraman tanganku saat membalas jabatan tangannya. Easy, Kei.
Bapak Binar kemudian menyela. "Maaf, Nak ...?"
"Oh, iya. Saya Keivaro, Pak." Aku langsung mengulurkan tangan mengajak Pak Maulana bersalaman. "Biasa dipanggil Varo."
Ganti Bapak Binar yang mengernyit, alisnya berkerut, tapi sesaat kemudian beliau tersenyum tipis. Bibir Pak Maulana sedikit mengingatkanku pada Binar. Hanya saja bibir Binar lebih penuh dan berwarna merah muda alami. Rasa kangenku makin menggunung ingin segera bertemu Binar. Tampaknya aku harus bersabar sedikit lagi karena masih ada rintangan yang harus dihadapi sebelum mencapai homebase.
Bapak Binar bertubuh tegap, ada garis tampan yang tersisa dari masa mudanya. Rambutnya sedikit beruban di sana sini. Wajahnya terlihat tegas berwibawa, sorot matanya tajam menyelidik. Walaupun secara keseluruhan sosok Bapak Binar tidak sesangar suaranya saat marah-marah di telepon waktu itu.
"Maaf, Nak Varo jika tadi sempat terjadi sedikit kesalahpahaman. Biasanya kami tidak menyambut tamu seperti itu. Untuk itu kami minta maaf yang sebesar-besarnya." Suaranya menyiratkan permohonan maaf yang tulus.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya juga mohon maaf jika kehadiran saya menimbulkan ketidaknyamanan." Aku dengan rendah hati meminta maaf kepada keluarga Binar.
Basa-basi kemudian berlanjut sampai beberapa saat. Tentang perjalananku dari Tokyo, tentang udara panas di Jogja karena jarang turun hujan, dan chit-chat ringan lainnya. Ibu Binar kemudian masuk membuatkan teh manis hangat. Saat kembali beliau duduk di sebelah suaminya. Jadi aku duduk sendiri berhadapan dengan ketiga penghuni rumah.
Aku segera menegakkan punggung. Berdeham untuk menghilangkan serak di kerongkongan yang terasa kering. Seharusnya aku bicara dengan Binar dulu, baru menghadap orang tuanya. Namun, karena gadis yang ingin kutemui sedang kabur, jadi sedikit improvisasi tidak masalah. Sudah kepalang tanggung. Dewan juri juga sudah bersiap di hadapan.
"Sebelumnya mohon maaf jika kedatangan saya terkesan mendadak ... Pak, Bu, dan Mas Dipa." Aku mulai berkata sambil melirik Dipa yang masih menatapku tajam. Namun maaf, aku tak akan terintimidasi, cibirku dalam hati.
"Perkenankan saya menjelaskan sedikit sebelum saya mengutarakan maksud kedatangan saya sebenarnya. Meskipun Binar tidak ada di rumah, tapi kehadiran Bapak, Ibu, dan Mas Dipa saya rasa tetap bisa mewakili Binar."
Aku menyembunyikan gugup menatap ketiga pasang mata yang mulai serius menyimak. Jangan salah, berbicara di depan tiga pasang mata biasanya bukan pekerjaan yang sulit untukku karena aku sudah terbiasa berbicara di depan forum. Yang sekarang menjadikannya sulit adalah karena mereka bertiga mempunyai hubungan erat dengan Binar, gadis yang akan kurebut kembali hatinya. Format masa depanku.
_______________________
Elaaah ... buruan ngomonglah Kei!Salam ga sabar,
A
06.05.2019
________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...