Hanami di Sumida - 31. Sirene

984 137 16
                                    

Setitik amarah yang tersisa
akan menggerogoti jiwa
Lambat laun menghanguskannya
tanpa ampun
Mengubahnya menjadi
manusia baru yang tidak dikenal

~°~

Dulu aku selalu beranggapan jika Papa dan Mama akan selalu bersamaku sampai mereka tua. Seperti siklus hidup. Ketika hadirnya janin sampai lahir seorang bayi, siklus itu bermula. Kemudian makhluk itu tumbuh menjadi anak-anak, berkembang menjadi remaja, dewasa, lalu menua, dan akhirnya meninggal dunia. Tak pernah terbersit sedikit pun pemahaman jika orang terdekatku bisa meninggalkan dunia kapan saja, tidak perlu menyelesaikan seluruh rangkaiannya. Baru setelah Mama tutup usia, sebuah pemahaman baru mengentak jiwa. Membuatku harus siap jika suatu saat kehilangan orang yang aku sayangi kapan saja.

Pertanyaan Binar minggu lalu di restoran yakiniku dijawab dengan pertanyaan balik oleh Papa, "Kei pasti belum cerita kalau mamanya sudah meninggal?"

Aku masih mengingat jelas ekspresi Binar saat itu. Wajahnya terperanjat kaget. Beberapa saat gadis itu tak bisa berkata-kata. Beberapa kali kuperhatikan bibir favoritku itu terbuka ingin mengeluarkan suara, tapi kemudian mengatup lagi. Selintas dari samping, mata yang tidak dihalangi lensa bingkai hitam itu tampak berkaca-kaca, tapi segera hilang dengan beberapa kali kerjapan cepat. Ia kemudian menggeleng kuat-kuat sambil memandang Papa penuh simpati. "Maaf, Binar tidak tahu, Om. Mas Varo tidak pernah cerita."

Lalu Binar pura-pura membersihkan kacamata yang sengaja dilepas karena selalu berembun terkena asap daging yang dibakar dengan tisu di meja. Ia mengucek sebentar kelopak mata berbulu lentik alami itu, lalu memasang kembali kacamatanya dengan cepat.

"Oh, I see." Sudut bibir Papa terangkat sedikit, menyunggingkan senyum tipis, lalu memandangku dengan teduh. "Kamu perhatikan nanti, Binar. Jika Kei sudah membuka hati, kamu akan kewalahan mendengarnya bercerita apa pun tak henti-henti."

Binar tampak tak paham maksud Papa, tapi ia juga tidak bertanya. Papa segera mengalihkan pembicaraan dengan bercerita kepada Binar saat Mama meninggal dunia sepuluh tahun silam. Namun, cerita Papa sampai di situ. Tak sedikitpun mengungkit kalau sebenarnya aku sudah punya ibu tiri.

Esoknya saat mengantar Papa ke Narita untuk terbang ke Osaka, alih-alih bersalaman sebelum berpisah, Papa malah memelukku erat. Aku tak menyangka Papa akan seekspresif itu, meski kemudian aku balas memeluknya dengan kaku. Harus kuakui, sosok Papa seperti ini yang selalu aku rindukan selama ini.

Sejak kecil aku selalu lebih dekat dengan Mama, karena Papa lebih sering berada di luar rumah. Ketika perusahaannya sudah berkembang dan stabil, aku sudah bukan anak-anak lagi yang harus selalu menempel pada orang tua. Aku lebih suka bermain di luar rumah bersama teman-temanku. Dan golden moment yang seharusnya kuhabiskan bersama sosok ayah terlewatkan begitu saja. Membuat hubunganku dan Papa tidak seakrab hubunganku dengan Mama.

Nagata yang ikut mengantar Papa menepak bahuku. Mengajak segera beranjak saat aku masih saja tertegun, meski bayangan Papa sudah menghilang di balik pintu kaca area departure bandara Haneda.

Deep down inside, He's still my hero. The man who I love most. No matter what happened behind, He always be my Dad. Detik itu juga aku bertekad melepaskan seluruh amarah yang masih tersisa di hati.

I won't let negative thoughts overwhelmed my soul.

-*-

Aku baru bersiap berangkat kerja ketika pesan Binar masuk ke ponsel. "Mas, jangan lupa bawa payung."

Dahiku berkerut. Segera aku membalasnya. "Aku nggak punya payung."

"Ada di rak dekat genkan," balas Binar. "Kemarin aku beli dua. Satu buat Mas Varo, satu buat Mas Nagata."

Belum sempat aku membalas, pesan dari Binar kembali kuterima. "Nanti aku ke situ setelah dari kampus. Mampir ke Ameyoko sebentar. Mau nitip apa?"

"Persediaan di kulkas habis?"

"Kemarin tinggal daging dan fillet ayam di freezer. Kalau memungkinkan aku mau coba bikin rendang. Beli bumbu instan dulu, kalau ada. Makanya aku mau ke Ameyoko."

Air liurku seketika terbit. "Beli saja seperlunya. Besok kita belanja bareng."

"Oke."

Aku segera membuka kabinet di atas getabako. Plastik kantong sampah, kotak sabun cuci, semir sepatu, dan aneka botol pembersih beserta peralatan lain yang biasanya berserakan kini tampak tertata rapi. Bagian dalam kabinet juga terlihat bersih tak berdebu. Di bagian rak paling atas tergeletak dua buah payung lipat yang dimaksud Binar. Biru dan hitam.

"Punyaku yang mana, Nar?" Aku mengirim lagi pesan kepada Binar.

"Apanya?" balas Binar segera.

"Payung."

"Terserah."

"Then, the blue one is."

Aku tersenyum senang. Mengambil payung berwarna biru dongker, memasukkannya ke dalam satchel, lalu mengirimi Binar pesan pamungkas. "Duomo arigatou gozaimasu."

"You're most welcome, Mas."

Di luar mendung tebal menghias langit. Tak heran jika Binar mengingatkanku untuk membawa payung. Bukan sekedar mengingatkan, dia juga menyiapkan payung untukku dan Nagata. Juga membersihkan rumah!

Pantas saja setiap aku pulang kerja, selain bau harum masakan Binar juga wangi ruangan yang baru dibersihkan tercium samar.

Suara sirene di luar meraung-raung ketika aku meninggalkan ruang Pak Nakamura di lantai lima. Aku bergegas kembali ke mejaku.

"What's up, Sera-san?" tanyaku pada pria muda yang duduk bersebelahan denganku. Dia sedang merapikan meja, layaknya bersiap meninggalkan kantor. Aku melirik jam di tangan, masih pukul setengah dua siang. Wajahku menatapnya tak mengerti.

"Sepertinya akan ada badai salju. Kamu tidak melihat ramalan cuaca pagi tadi di televisi?" Sera-san menjawab dalam bahasa Inggris yang lumayan bagus.

Aku menggeleng. Sampai sekarang aku merasa sangat beruntung mendapat meja di sebelah Sera-san. Ia termasuk salah satu karyawan yang fasih berbahasa Inggris di departemen ini. Aku sering berdiskusi dengan mudah mengenai banyak hal dengannya.

Sera-san tersenyum maklum. "Sirene itu tanda kalau kita harus segera meninggalkan kantor dan berdiam di rumah. Sebentar lagi akan ada patroli dari pemerintah daerah yang menyuruh kita agar segera kembali ke rumah. Kantor dan toko tutup. Semua moda transportasi diperpendek jam layanannya."

Aku tersentak. Pikiranku langsung tertuju pada Binar. Segera kuraih ponsel di meja sambil membalas lambaian tangan Sera-san yang melangkah keluar ruangan. Sebagian orang masih ada di tempatnya, tapi mereka semua sedang bersiap untuk pulang. Beberapa kursi sudah kosong ditinggal penghuninya. Meski begitu, tak ada satu orang pun yang terlihat panik.

Kecuali aku.

Notes of the day:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Notes of the day:

Ramalan cuaca di Jepang nyaris selalu tepat. Dan beritanya disiarkan di stasiun televisi lokal setiap hari.
________________________
O-oh!

Salam bumbu rendang,
A
11.04.2019
_________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang