No matter how bad a situation might seem, there is always has some good aspect to it~°~
Masuk ke area Meiji Jinggu langsung disambut dengan pemandangan hutan yang asri. Pepohonan besar berusia puluhan tahun yang kabarnya sebanyak 365 spesies tanaman evergreen menaungi kuil seluas tujuh ratus ribu meter persegi. Udaranya terasa segar, bagaikan sebuah oase di tengah kepungan bangunan modern kota Tokyo.
"Allahuakbar!" seru Binar dari arah belakang, "Bentar, Mas! Berhenti dulu." Napasnya terdengar ngos-ngosan. Uap panas keluar dari mulutnya ketika berbicara. Wajah Binar tampak merah merona.
Aku menghentikan langkah. Menoleh ke arah gadis yang membungkuk sambil memegangi perutnya.
"Dikit lagi, Nar! Ayo, semangat!" Aku berusaha membujuknya, lagi.
Sejak dari Torii(1) sampai ke sini, sudah kesekian kalinya Binar meminta berhenti untuk sekedar menarik napas. Padahal bangunan utama kuil Meiji hanya berjarak kurang lebih tiga ratus meter lagi.
"Ini namanya jalan penyesalan, Mas," kata Binar sambil meringis kecapekan.
"Kenapa?" Aku mengeluarkan tumbler Tiger hitam metalik yang berisi cokelat panas dari dalam ranselku.
Mengangsurkannya pada Binar yang duduk di atas tembok batu setinggi lutut yang ada pinggir jembatan kecil menuju kuil. "Diminum dulu. You'll feel better."
Binar menerimanya sambil mengucap tetima kasih, lalu meneguk pelan-pelan. Ia berkata di sela-sela tegukannya, "Ya, karena mau jalan terus ke kuil masih jauh, pengen balik juga sudah nanggung, jauh juga. Apa bukan jalan penyesalan namanya?"
Aku terbahak. Tanganku mengacak pelan kepala Binar yang tertutup beanie dengan penuh kasih.
Dugh! Aku tersentak.
Secepat kilat kutarik tanganku saat menyadari kalau selarik rasa yang sudah menyelinap masuk ke dalam hatiku telah berkembang menjadi perasaan sayang. Rahangku menegang, mulutku langsung terkatup rapat.
Binar terus menyesap isi tumbler sampai habis. Ia tampak tak menyadari perubahan wajahku.
"Hmmm ... cokelatnya enak. Mas Varo bener, I feel better now. Yuk, kita lanjut lagi!"
Aku menghabiskan sepanjang siang itu dengan mengamati Binar. Bertanya-tanya dalam hati apakah aku benar merasa sayang pada gadis yang usianya lebih muda delapan tahun dariku itu. Atau hanya karena aku merasa kesepian dan kebetulan ada Binar di sini bersamaku. Kehadirannya memang mengisi ruang hatiku, membuatnya lebih ramai dari yang biasanya sepi dan kosong.
Seperti Shibuya crossing.
"Mas Varo sakit?" tanya Binar setelah menyeruput kuah ramen terakhirnya. Aku meringis melihat mangkuknya yang sudah licin tak bersisa. Sepulang dari Meiji Jingu tadi kami mampir ke toko servis di Akihabara. Ternyata laptop Binar harus ditinggal selama dua jam untuk diperiksa sejauh mana kerusakannya. Sambil menunggu, aku mengajak Binar makan siang yang sangat terlambat di kedai ramen berjarak sepuluh menit dari toko servis.
"Enggak. Kenapa?"
"Kok dari tadi banyakan diem."
Aku menelan ludah. "Nggak apa-apa, kok. Perasaan kamu aja, kali."
"Ah, masak?" Binar menatapku tak percaya. "Aku ngerepotin, ya? Aku punya salah?"
Alis mataku terangkat sebelah. "Heh?"
"Pasti karena aku ngrepotin Mas Varo, ya? Maaf, ya, Mas," tebak Binar langsung meminta maaf. "Biasanya aku nggak suka ngerepotin orang. Apa-apa kukerjakan sendiri. Cuma pas di sini aku aku sedikit kewalahan, makanya minta bantuan Mas Varo." Wajah yang biasanya selalu menyungging senyum seketika berganti dengan raut khawatir.
Aku langsung tersenyum lebar, tak mau Binar menjadi salah sangka.
"Enggak, kok, Nar. Beneran!" Aku meyakinkan Binar. "Kamu nggak salah apa-apa, apalagi merepotkan. Mungkin tadi aku hanya kelaparan aja," kilahku. Mataku menatap lurus ke manik di balik lensa yang menatapku dengan pandangan cemas.
"Pasti Mas Varo marah gara-gara cokelat panasnya aku habisin, ya?"
"Elaaah ... kagak! Cokelat panas doang masak bikin marah?" sanggahku cepat. "Itu memang kubawa buat jaga-jaga. Lagi pula kamu tadi kan kecapekan. Emang sih, kalo ke daerah sana jalannya agak jauh. Harus bawa bekel."
"Hmmm ...." Binar bergumam. Kecemasan di wajahnya belum sepenuhnya menguap.
"Lagi pula sebelum kamu habisin, cokelatnya sudah sempat kuminum, kok," kataku santai, mencoba mengalihkan perhatian Binar ke topik lain. "Karena kita minum dari tempat yang sama, jadi secara teknis sebenarnya kita sudah berciuman lho, Nar!" Aku bercanda. Pura-pura memasang tampang serius tanpa senyum, padahal ingin tertawa menggodanya.
Pipi Binar langsung bersemu merah. Dengan gemas dia memukul pelan lenganku. "Ah, Mas Varo! Mulai deh!"
Ah, Nar. Seandainya kamu tahu ....
-*-
"Pardon?" Aku meminta pegawai servis itu mengulang penjelasannya.
Wajah pegawai toko servis menunjukkan raut penyesalan. Dengan bahasa Inggris terbata-bata dan agak susah dicerna, ia menjelaskan, "We can't repair your notebook. Motherboard and vga-card are badly damage. It can be fixed if you change that part. Unfortunately, we don't have that part series. It's difficult to find around here. And expensive, too."
Mata Binar langsung terbeliak. Meski terhalang lensa kacamata, aku bisa melihat jika air matanya mulai menggenang di pelupuk.
"What about the data?" tanyaku cepat. Biasanya kalau yang rusak bukan harddisk, data-data di dalam laptop masih bisa diselamatkan.
"No problem, we have already save it. You only have to buy a case to change it become an external harddisk."
Seperti kata pepatah, every cloud has a silver lining.
Note:
(1) Gerbang suci pintu masuk Kuil Meiji, menurut kepercayaan orang Jepang merupakan simbol batas antara tempat tinggal manusia dengan Dewa
___________________________Salam syedih karena laptop Binar rusak,
A
05.04.2019
___________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomansaHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...