Aku memperhatikan wajah Papa yang duduk di hadapanku. Beliau tersenyum lebar mendengarkan Binar sedang berbicara dengan semangat. Semburat warna keperakan mulai menghias rambut ikal tebalnya. Meskipun gurat ketuaan sedikit terlihat di sudut mata, tapi wajah tampannya terlihat berseri dan lebih hidup.
Aku baru sadar kalau wajah Papa sekarang terlihat jauh berbeda dibandingkan dengan saat Mama baru meninggal dunia. Tidak kaku, lebih murah senyum. Terakhir aku bertemu dengannya saat lebaran. Itu saja hanya dua hari aku pulang ke rumah. Selebihnya aku memanfaatkan libur lebaran untuk jalan ke Lombok sendirian.
Pagi tadi aku menjemput Papa di Haneda, lalu mengantarnya ke hotel di dekat apartemenku. Aku sengaja langsung kembali ke apartemen supaya Papa bisa beristirahat. Sore hari baru aku kembali lagi ke hotel, bersama Binar yang disuruh Papa untuk ikut serta.
Awal aku kenalkan pada Papa, Binar masih tampak malu-malu. Namun, di menit berikutnya dua orang itu langsung terlihat akrab.
Aku sungguh tak habis pikir, bagaimana Binar dengan cepat bisa mengambil hati seorang pria setengah baya yang biasanya dihias senyum minimalis di wajahnya dan tampang berwibawa. Saat ini, siapa pun tidak akan menyangka kalau pria di hadapanku ini seorang pemilik beberapa perusahaan besar di Jakarta. Beliau lebih tampak seperti seorang pria biasa berwajah kebapakan sedang bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah lama tidak bertemu.
"Bapak saya kepala sekolah SD Negeri di Jogja, Om." Binar mulai bercerita ketika ditanya Papa tentang keluarganya. "Kakak saya tiga, cowok semua. Yang pertama sudah berkeluarga, baru punya anak satu umur satu tahun. Cewek." Binar tersenyum senang saat bercerita tentang keponakannya.
"Ini Om fotonya," kata Binar sambil membuka ponselnya, lalu memerlihatkan foto keluarganya kepada Papa.
Etdah!
Aku saja tidak pernah tahu foto keluarga Binar kecuali yang pernah diunggahnya di medsos. Aku ingin menepuk jidatku keras-keras.
Pantes.
Mungkin karena aku juga tidak pernah bertanya tentang keluarganya. Selama ini kami lebih banyak bertukar cerita tentang pekerjaanku dan kuliah Binar, atau hobi kami. Paling banter aku hanya tahu kalau Binar anak bungsu yang suka digodain saudara-saudaranya yang cowok. Itu juga karena Binar yang bercerita dengan sukarela, tanpa aku bertanya sedikit pun tentang keluarganya.
"Keluarga kakak saya juga tinggal di Jogja, agak jauh dari rumah. Meski begitu kami masih sering bertemu. Saya yang main ke rumah mereka. Atau setiap sabtu minggu, kakak dan keluarganya menginap di rumah. Jadi rumah kami tidak pernah sepi." Binar masih terus bercerita, matanya menatap Papa dengan ramah.
Papa mengangguk-angguk. Mukanya terlihat serius mengamati layar ponsel Binar. "Trus yang kedua?" tanya Papa lagi.
Aku melirik Binar yang meringis di sebelahku. Sudut bibirnya berkedut. "Mas Candra itu kakak saya yang paling sering godain saya," aku Binar. "Tapi dia paling pinter, Om. Dia sedang mengambil Master di Australia. Dapat beasiswa juga. Katanya kemarin waktu saya telepon sih, InshaaAllah akhir tahun ini selesai."
"Kamu sering ngobrol dengan kakakmu?" tanya Papa spontan. Ia menyerahkan ponsel Binar. Aku hanya mengamati interaksi Papa dan Binar yang layaknya sudah kenal lama.
"Sering, Om. Nggak ketemu langsung, sih." Binar tertawa. "Lha, dia di manaa ... saya di mana ...." seloroh Binar. "Minimal seminggu sekali kami video call-an. Dengan Bapak dan Ibu juga. Jadi kami tetap tahu kabar masing-masing meski tinggal berjauhan. Rasanya ada yang hilang jika saya tidak tahu kabar orang tua atau saudara kandung. Ya nggak, Mas?" tanya Binar seolah meminta persetujuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...