Insomnia again,
Ya wis posting ajalah. Maafkan typo.
Happy reading all!
Semoga menikmati, agak gerah soalnya bab ini. Beware!------••••》¤《••••------
Dari kejauhan aku langsung menemukan sosok wanita muda yang kucari. Ia duduk di bangku taman di bawah pohon rindang di dekat kolam air mancur. Topi lebar menutupi rambut ikal tembaganya yang tergerai sampai ke punggung. Kaki kirinya menyilang di atas paha kanan, memperlihatkan betis mulus nan jenjang dan sandal cantik bertali warna hitam beraksen lurik. Gaun lengan pendek bunga-bunga warna salem selutut dan kacamata hitam membuat penampilan wanita itu terlihat makin memesona. Tas bermerek yang kutahu menjadi langganannya sejak dulu menemani di pangkuan, bersama kantong-kantong belanjaan yang tergeletak rapi di sisi. Tak salah jika orang-orang yang lewat di depannya sedikit menoleh karena tertarik.
Aku mengusap peluh di dahi yang menetes. Bukan. Aku bukan gugup. Terik matahari sore membuatku merasa semakin panas. Sama seperti suasana hatiku saat ini. Gerah!
"Shirin!"
Akhirnya mau tidak mau aku memanggil nama wanita yang sejak kemarin memaksa untuk bertemu denganku. Shirin minggu lalu sudah mengabariku akan liburan musim panas di Tokyo bersama saudaranya. Ia memintaku untuk menemaninya jalan-jalan yang segera aku tolak dengan alasan sedang sibuk. Mana mungkin aku mengorbankan cuti tahunanku hanya untuk menemaninya menyusuri Tokyo. Lebih baik kugunakan nanti untuk keperluan yang lebih penting.
"Kekei?"
Sontak wanita cantik itu langsung berdiri menyambutku. Nada gembira keluar dari bibir yang dipulas lipstik warna nude. Shirin tak berubah, wajahnya terlihat segar dan penampilannya makin menawan.
"Hai, apa kabar?" Aku menjabat tangannya yang terentang ingin memelukku. Ada gurat kecewa ketika melihat penolakanku yang dengan cepat ditutupi oleh tawa antusiasnya.
"Baik, Keeee ..." Shirin menjawab dengan semangat, "kamu kelihatan lebih berisi, Ke! Ya ampun, sudah lama kita nggak ketemu. Berapa tahun, ya?"
"Hmmm...." Aku tersenyum tak menjawab. Wangi parfum lembut menguar dari badan langsingnya. Ini bukan wangi parfum yang biasa dipakainya, kali ini lebih lembut dan manis. Menenangkan.
"Lima tahun ada, ya, Ke?" tanyanya sambil menarik tanganku agar duduk bersamanya di bangku kayu Ueno Park. Aku akhirnya menyetujui ajakannya untuk bertemu, dengan syarat di tempat terbuka seperti ini. Lebih netral dibandingkan di apartemen atau di resto. Lalu lalang orang di depan kami akan membantuku tetap berpikiran jernih. Tak akan membuatku terbawa suasana.
"Aku kangen, Ke. Kamu kemana aja? Tinggal di Tokyo bikin kamu sibuk banget, ya? Sampai nggak sempat nemenin aku jalan-jalan," keluh Shirin. Meski begitu matanya tetap memancarkan rasa bahagia, sama seperti rona yang tersirat di wajahnya. Tangan Shirin masih menggenggam lembut tanganku. Jemari rampingnya halus dan lembut, persis seperti yang aku ingat.
Aku meringis. Pelan-pelan mencoba melepaskan godaan terbesar dalam hidupku saat ini. Lalu pura-pura menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku untuk mengurangi gelisah yang datang menghampiri.
Senyum Shirin sedikit menyihirku. Membuatku mau tak mau mengingat saat-saat dulu bersamanya. Meski kehadiran Shirin tak banyak menyentuh hatiku, tapi setidaknya mengalihkan perhatianku dari gejolak hati setelah Papa menikah dengan Bunda. Tiga tahun lebih berpacaran dengan Shirin bukan waktu yang singkat bagiku untuk serta merta melupakan kebersamaan dengannya. Kami berbasa-basi sebentar. Tentang cuaca panas Tokyo, tentang liburannya, dan hal remeh temeh lainnya. Tak ada yang spesial.
"Apa kabar Papi dan Mami?" Saat kuliah dulu, aku pulang ke Jakarta paling sedikit tiga minggu sekali hanya untuk berkunjung ke rumahnya. Shirin juga mengunjungiku ke Jogja, walaupun tidak terlalu sering. Intensitas pertemuan kami menjadi sedikit berkurang ketika aku mulai menginjak tingkat akhir. Kami baru sering bertemu kembali saat aku diterima bekerja di perusahaan tempatku bernaung sampai saat ini.
"Baik, Ke." Shirin tersenyum manis.
Ia melepaskan kacamata hitam dan topi yang dikenakan. Menampilkan riasan mata yang cetar membahana--meminjam istilah Incess Syahroni. Shirin kembali merapikan rambut panjangnya yang tidak tampak kusut. "Mereka nggak ikut liburan ke Jepang. Titip salam saja buat kamu. Mereka juga nanyain kok kamu nggak main ke rumah lagi."
Aku tersenyum masam. Bagaimana aku mau terus berkunjung jika saat itu anak mereka sendiri yang ingin mengakhiri hubungan dan tidak ingin bertemu denganku lagi.
"Sepupu-sepupuku tadi nggak mau diajak kemari. Mereka langsung pulang ke hotel setelah capek seharian keliling Ginza." Shirin menjelaskan tanpa kuminta. Aku mengangguk maklum. Tak heran kalau kecapekan, jumlah kantong belanjaan Shirin saja membuatku mengerutkan kening saking takjubnya. Mungkin gajiku sebulan di Jakarta hanya cukup untuk membeli tiga sampai empat barang bermerek yang ada di dalam kantong itu.
Shirin menatap wajahku. Wajahnya menyunggingkan senyum yang dulu sering aku impikan setelah berpisah.
"Kamu makin ... ehm ...." Shirin berdeham kecil, "ganteng, Ke."
Aku terkesiap. Mata ber-eyeliner tebalnya masih memandangku lekat-lekat.
_________________________
Hayolooooo, Kei!Salam godaan datang menghadang,
A
23.04.2019
__________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...