Hanami di Sumida - 28. Closer

979 127 11
                                    

Selamat hari senin, sobats.
Hectic ga hari iniiii?  Yang sekolah, yang kuliah, yang kerja, yang beberes rumah?
Tetap semangat, yak.
Happy reading...!
_____________________

Tak sabar aku membuka pintu depan yang tidak terkunci.

"Tadaima(1)!" seruku lantang. Sudah seminggu ini aku selalu pulang kerja dengan semangat. Tidak ada lagi alasan untuk pulang larut malam.

"Wa'alaikumsalaam ..." Binar menjawab seruanku dari pantry, "okaerinasai(2)!" Ia menambahkan. Suaranya tidak terlalu lantang sepertiku, tapi cukup terdengar dari genkan.

Aku meringis malu, juga separuh gemas. Malu karena aku selalu lupa mengucap salam saat masuk rumah, dan Binar selalu membalasnya dengan jawaban yang lebih benar. Gemas karena dia selalu berusaha mengingatkanku secara samar. Bayangkan! Aku sering dikoreksi oleh gadis yang usianya jauh lebih muda dariku. Cukup membuatku merasa tercubit dalam hati.

Aku menjumpai Binar tersenyum menyambutku di ruang makan. Tangannya memegang mangkuk yang masih mengepulkan uap panas. Celemek motif bunga sakura warna biru melekat di badannya yang terbalut tunik warna soft pink. Celana katun longgar semata kaki warna marun mengintip dari balik tunik panjang selutut. Selintas aku melihat bayangan seorang suami sepulang kerja, disambut oleh istrinya yang sedang memasak di dapur. Bayangan liar yang lagi-lagi harus segera aku tepis sebelum berkembang lebih jauh.

"Hmmm ... baunya haruum. Masak apa, Nar?" Tak sabar aku melempar coat, syal dan jas hitam di tanganku ke sofa bed. Meja kaca di depannya tampak penuh dengan diktat dan buku catatan milik Binar. Ponselnya tergeletak tak berdaya di bagian meja yang masih kosong. Tas ranselnya teronggok di lantai. Tampaknya Binar masih sempat belajar sebelum memasak makan malam.

"Sup," jawab Binar singkat. Ia meletakkan mangkuk di atas meja makan. "Isinya wortel, buncis, dan sosis. Ditambah dengan taburan kentang dan bawang goreng," lanjutnya lagi.

Aku memperhatikan meja makan yang dulunya lebih sering kosong melompong itu, sudah seminggu ini selalu ramai dengan hidangan yang menggugah selera. Kali ini piring saji berisi tempe dan ayam goreng berada di tengah meja, bersanding dengan mangkuk sup yang tadi dibawa Binar. Dikelilingi tiga buah piring makan yang masih tertelungkup beralaskan table mats baru dengan motif sakura warna biru di masing-masing sisi meja. Sambal kecap di mangkuk kaca kecil, ditemani canister silinder berukuran dua liter berisi kerupuk udang juga tersaji disana. Lengkap. Berasa seperti main rumah-rumahan saja.

"Kok ada tempe?" tanyaku heran.

Perasaan minggu lalu saat aku belanja dengan Binar, tidak ada satu pun isi belanjaan yang berwujud bahan makanan asli Indonesia itu.

"Wah, makanan mewah ini," ujarku sambil melepas dasi dan menggulung kemeja biru sampai ke siku. Dengan semangat aku menarik kursi meja makan. Memberikan isyarat pada Binar untuk ikut duduk di sebelahku.

Binar tersenyum senang melihatku antusias ingin segera menyantap makan malam yang sudah disiapkannya. "Kirain Mas Varo nggak suka tempe."

"Suka dong!" sanggahku cepat, "Setelah rendang tentunya, hehe...."

Binar ikut tertawa kecil. "Sebelum ke sini, aku jalan ke Ameyoko bareng teman-teman dorm. Trus lewat di Nozawa-ya, ternyata masih ada tempe. Nggak kehabisan kayak waktu itu," jelas Binar sambil meletakkan sendok dan garpu di sebelah piringku.

Waktu aku bilang dia boleh pakai laptopku, Binar langsung bersikeras untuk memasak di apartemen sembari menungguku pulang kerja. Sebagai ucapan terima kasih, begitu alasannya. Lagipula dia lebih suka masak sendiri daripada makan di luar. Selain bisa mengobati rasa kangen pada masakan Indonesia, dan juga pasti lebih hemat.

Aku mengalah, lalu mengajaknya belanja ke toko yang menjual bahan makanan halal di Pasar Ameyoko untuk persediaan selama seminggu. Supaya ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bahan makanan yang akan dimasak.

"Cobain deh, Mas. Kelihatannya sih enak, karena setelah diangkat dari penggorengan, warnanya tetap kuning cerah dan permukaannya kering. Nggak basah nyerap minyak."

"Hmmm...." Gigitan pertama menjejak indera perasaku. Binar benar, tempenya seperti tempe bikinan orang Indonesia. "Enak. Gurih." Sepotong tempe dengan cepat meluncur mulus ke dalam lambungku yang sudah berteriak sejak mencium aroma masakan Binar.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, "Bentar, Nar. Aku tanya Nagata dulu. Dia sudah makan apa belum." Aku mengambil ponsel di dalam satchel yang ikut kulempar di sofa bed, memotret hidangan di meja makan, lalu mengirimkannya kepada Nagata.

Sambil menunggu jawaban Nagata, aku melirik Binar. Ia sedang membalik piringku lalu mengisinya dengan nasi dari magic com yang ada di meja pantry, lalu melakukan hal yang sama pada piring di hadapannya. Kacamatanya sedikit melorot. Ujung hidungnya terlihat sedikit mengilat dihias titik-titik keringat. Mungkin karena kepanasan terkena uap saat memasak.

"Nagata ngamuk-ngamuk, nih." Aku meringis memandang layar ponsel. "Dia pengen ikutan makan bareng, tapi masih di kantor." Kepalaku terangkat memandang Binar. "Dia minta dipisahin aja."

"Siap, Bos!" Binar menyeringai lebar, lalu beranjak mengambil piring dan mangkuk untuk memisahkan makanan buat Nagata, "Nanti bilang Mas Nagata kalau pengen hangat tinggal dipanasin di microwave aja."

"Iya." Aku meletakkan ponsel di sebelah ponsel Binar di meja ruang duduk. "Hehe ...." Aku tertawa kecil membayangkan Nagata. "Dia pasti buru-buru nyelesei-in kerjaannya dan terbirit-birit pengen cepat sampai rumah."

(1) Aku pulang(2) Selamat datang kembali___________________________Kasihaaaan Nagata, duh! Haha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(1) Aku pulang
(2) Selamat datang kembali
___________________________
Kasihaaaan Nagata, duh! Haha....

Mungkin kalau di Indo makan tempe sudah biasa. Namun makan tempe goreng di Tokyo, rasanya sungguh luar biasa!

Salam tempe goreng,
A
08.04.2018
___________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang