Perpisahan karena berpulangnya seseorang yang sangat dicintai
sejatinya bukan benar-benar berpisah
Karena kita masih ditemani oleh berjuta kenangan indah yang
akan selalu abadi di dalam palung hati♡
In memoriam daddy, brother, and chief. May you all rest in peace
•••
Nagata memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah dengan pohon mangga yang tampaknya tidak lebih tua dari bangunan rumah itu sendiri. Aku membaca tulisan yang tertera di plang putih di dekat pintu masuk. Panti Asuhan Kasih Ibu, Aku membatin. Untuk apa Nagata mengajakku ke sini?
"Ayo turun, Kei!" ajak Nagata ketika melihatku masih duduk diam di kursi penumpang.
"Mau ngapain?"
"Ngantar pesenan," jawabnya singkat. Aku mengekor Nagata yang membuka pintu belakang mobil.
"Kok?" tanyaku heran melihat bagasi SUV-nya sudah penuh dengan barang.
"Sore tadi gue dititipin buat ngantar ini ke panti, karena emang kegiatan rutin bulanan HIMA kampus gue. Tadinya gue mau ke sini besok sendirian," jelasnya. "Cuman kayaknya mending ngajak lo sekarang."
"Oh."
Aku membantu Nagata menurunkan kotak-kotak kardus berisi makanan dan dua karung beras lalu mengusungnya sampai ke teras rumah. Nagata mengucap salam sambil memencet tombol yang ada di samping pintu yang terbuka lebar. Seorang ibu berkerudung berusia empat puluhan tahun bergegas muncul sambil menjawab salam dan mempersilahkan kami masuk.
Aku mengikuti Nagata masuk ke ruang tamu yang tampak lowong. Tanpa satupun hiasan dinding. Kosong. Seperti suasana hatiku. Satu set kursi kayu sederhana berada di tengah-tengah ruangan luas berukuran dua puluh lima meter persegi. Di pojok ruangan terdapat satu lemari tua berjejer dengan meja dan dua buah kursi kayu berwarna cokelat kusam. Samar terdengar suara pekik anak di balik ruang tamu.
Aku duduk sendiri di kursi tamu sementara Nagata duduk di pojok ruangan, berhadapan dengan ibu yang tadi menyambut kami. Aku hanya diam memperhatikan perbincangan akrab Nagata dan ibu itu. Suara mereka agak pelan sehingga aku tidak mendengar jelas isi percakapannya. Nagata juga menyerahkan amplop putih dan menulis sesuatu di buku yang ada di meja. Ibu itu mengangguk-angguk mendengarkan Nagata bicara, sesekali dia melirik ke arahku yang mati gaya.
"Mari, Nak Nagata," kata ibu tadi kepada Nagata. Matanya memberikan isyarat untuk mengajakku masuk ke dalam ruangan di balik ruang tamu. "Anak-anak sedang bersiap-siap di kamar tidur. Tapi, yah, namanya juga anak-anak. Susah banget kalau disuruh tidur. Masih saja berisik."
Serta merta aku melihat jam di tangan kiri. Baru pukul delapan.
Tampaknya ibu itu memahami keherananku. "Anak-anak memang kami biasakan beranjak tidur mulai jam delapan malam," jelas ibu itu. Senyumnya terlihat teduh. "Teorinya baru jam sembilan mereka semua akan terlelap." Ibu itu menarik kenop pintu kamar tidur, lalu mendorongnya pelan. Membuka sebagian agar kami bisa mengintip ke dalam.
Aku dan Nagata melongok ke dalam ruangan yang disebutnya sebagai kamar tidur. Ukurannya kurang lebih sama dibanding dengan ruang tamu. Tanpa dipan. Hanya kasur busa dengan seprei lusuh yang ditata berjejer di tengah ruangan. Beberapa lemari sederhana berderet di satu sisi ruangan. Dua wanita dewasa dan belasan anak-anak berusia PAUD sampai SD bergeletakan di atas kasur-kasur berukuran double yang ditata berhimpitan di tengah ruangan. Kepala mereka beralaskan bantal tipis bersarung motif tak sama dengan sepreinya. Beberapa ada yang sudah terlelap dalam pelukan selimut putih bergaris hitam, sebagian lagi masih cekikikan dengan teman di sebelahnya.
Aku meringis melihat keadaan dalam kamar. Tanpa meja untuk belajar. Tanpa televisi dan sofa nyaman seperti di kamarku. Hatiku seperti tercubit dengan keras.
"Adik-adik kalau belajar dimana, Bu?" celutukku spontan.
"Ya, di mana saja di dalam rumah," jelas ibu tadi sambil tersenyum. "Biasanya sambil lesehan di lantai. Sambil ditunggu oleh para pengasuhnya. Makan juga sama. Di sini tidak ada meja makan, jadi anak-anak makan bersama-sama di ruang ini sambil menggelar tikar." Ibu itu menunjuk ke selasar kecil berukuran sembilan meter persegi yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar tidur anak-anak. "Di belakang ada dapur dan dua kamar mandi yang dipakai bergantian oleh lima belas penghuni panti termasuk dengan para pengasuhnya. Sebenarnya di belakang juga ada kamar kosong yang bisa difungsikan, hanya saja kami belum sempat membersihkannya," jelas ibu itu lebih lanjut.
Aku terdiam. Tak bisa membayangkan keseharian yang dijalani adik-adik di panti ini.
"Kalau begitu kami nggak lama, Bu. Biar mereka istirahat saja. Besok-besok kalau senggang saya mampir lagi," kata Nagata pelan. Takut mengganggu anak-anak di dalam kamar.
Kami kemudian pamit. Ibu tadi menyalami kami sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Di dalam kursi pengemudi Nagata diam terpekur. Ia tidak juga menyalakan mobil. Aku juga menunggunya dalam diam. Memandang ke arah bangunan rumah.
"Gue bilang begini bukan berarti gue sok tahu, Kei." Nagata mulai membuka suara. "Lo beruntung sudah ditemani tante Henny sampe umur segini. Sudah merasakan segala bentuk kasih sayang seorang ibu sejak dalam kandungan. Lo juga masih punya Om Ghani. Masih bisa merasakan kasih sayang seorang bapak."
Nagata berhenti untuk menghela napas. "Coba lo lihat adik-adik di dalam sana. Apa mereka kenal kasih sayang seorang ibu? Seorang bapak?" suara Nagata tercekat. "Siapa yang menemani mereka kalau bukan para ibu pengasuh? Berbagi segala hal dengan belasan anak lainnya dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi."
Hatiku tersentuh. Terenyuh membayangkan bagaimana anak-anak di dalam panti tadi mampu menghadapi masa depan mereka tanpa ayah ibu yang menemani. Rasa kasihan mulai membangunkan kesadaranku. Benar kata Nagata aku jauh lebih beruntung.
"Tidak, kan, Kei?!" Mata Nagata melirikku.
"Mereka semua yatim piatu?" Akhirnya aku membuka suara.
"Macam-macam," jawab Nagata cepat. "Ada yang yatim, ada yang yatim piatu. Ada yang sengaja dibuang di panti sejak masih bayi. Beberapa diserahkan oleh ayah atau ibunya yang masih ada karena tidak mampu membiayai kehidupannya lagi. Yang di panti ini anak-anak sampai dengan usia sekolah dasar. Kalau mereka beranjak remaja ada panti asuhan yang satu lagi. Masih satu yayasan juga." Nagata menjelaskan panjang lebar. Tampaknya ia sudah mengenal panti ini dengan baik. Aku hanya bisa diam termangu. Nagata lalu menyalakan mobil, membawa kami pulang.
"Everyone has their own battle, Kei. It's your option to give up or fight to win it." Nagata berkata pelan. "Gue harap lo memenangkan pertarungan lo."
Besoknya aku langsung kembali ke Jogja. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang masih diberikan kepadaku. Aku hanya punya satu tekad, selesai kuliah lebih cepat, dan membuat Mama bangga di sana. Perjuanganku tak sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku lulus dengan predikat cumlaude. Membuatku dengan mudah dipinang oleh perusahaan tempatku bernaung sekarang.
_____________________________
Salam semangat,
A
30.03.2019
_____________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...