Hanami di Sumida - 36. Ultimatum

950 127 17
                                    

Syelamat hari selasa, sobats
May Allah SWT bless you, all

---------------

Semalam aku tidur nyenyak sekali. Semua beban di hatiku seketika terangkat setelah bercerita banyak kepada Binar sehingga membuat tidurku pulas seperti bayi. Aku membuka mata saat weker di meja kerja Nagata menunjukkan pukul setengah dua belas siang.

Suara derakan angin di jendela kaca sudah tidak terdengar. Cahaya dari luar menerobos masuk melalui celah-celah vertical blind jendela kamar. Menandakan jika di luar, langit sudah tidak mendung gelap. Sepertinya hujan salju juga sudah berhenti. Sayup-sayup terdengar suara Binar sedang berbicara. Aku mengerutkan kening. Mungkin Nagata sudah pulang dan mereka sedang berbincang-bincang, aku membatin.

Pelan-pelan aku membuka pintu dan keluar dari kamar Nagata. Binar duduk sendiri di sofa bed sambil berbicara menghadap ponsel. Ia sedang melakukan video call dengan seseorang yang wajahnya tidak jelas terlihat. Aku sedikit heran karena raut Binar sangat ketat. Tidak tampak sedikitpun senyum tersungging dari bibir favoritku itu.

Penampilan Binar sudah rapi. Ia sudah mengenakan lagi baju yang dicucinya kemarin. Hijabnya kali ini syal katun persegi warna abu-abu yang kemarin aku belikan di Atre Ueno. Wajahnya terlihat keruh. Suaranya sedikit meninggi pada seseorang yang diajaknya bicara. Begitu melihat kemunculanku, mata Binar langsung melirik risau. Namun, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk menyapa.

"Udah Binar bilang, nggak mungkin pulang ke dorm, Pak!" Binar terdengar membela diri. "Ini badai salju, Pak! Anginnya kencang, bisa merobohkan pohon besar sekalipun!" jelas Binar. "Malah bahaya kalau Binar memaksa pulang!"

Sepertinya Binar sedang berbicara dengan bapaknya. Namun, kalau itu bapaknya, kenapa Binar harus berkata dengan nada tinggi? Aku mengerutkan kening bingung. Sambil terus menyimak, aku mencoba menyeduh ocha hangat di pantry.

"Kamu harusnya tidak keluar sebelum badai datang, supaya tidak terjebak sampai kamu tidak bisa pulang ke asrama, Nar!" Nada suaranya lebih tinggi dari Binar. Sampai-sampai aku bisa mendengarnya dari tempatku berdiri.

"Mana bisa, Pak? Emang Binar tahu badai akan datang? Masih untung Binar enggak terjebak di tempat yang tidak aman." Muka Binar tampak tegang. Alisnya bertemu di tengah-tengah. "Di sini SANGAT aman, Pak! Bapak tidak usah khawatir!" ujar Binar dengan menekankan kata 'sangat' pada bapaknya.

Aku mulai dapat menerka apa yang menyebabkan Binar bersitegang dengan bapaknya. Sepertinya aku perlu berbicara dengan bapak Binar untuk menjelaskan situasi yang terjadi. Aku memberi Binar isyarat agar menyerahkan ponselnya kepadaku.

Binar sepertinya paham dengan maksudku. Melalui isyarat mata dan gelengan kepalanya, Binar menyuruhku untuk tidak ikut campur. Mau tak mau aku menuruti Binar, dan menunggu tak sabar dari tempatku berdiri.

"Kamu sudah menginap dua hari di rumah orang, Nar! Hanya berdua saja dengan laki-laki yang Bapak sendiri tidak pernah kenal! Bagaimana bisa kamu bilang aman?!"

Aku meringis mendengar perkataan bapak Binar. Untungnya aku belum melakukan manuver jauh untuk mendekati Binar. Paling banter hanya memegang tangannya kemarin. Saat aku ingin mencium Binar di kedai sashimi beberapa waktu lalu tidak usah dihitung. Jadi kalau bapak Binar bilang di sini tidak aman, beliau sudah salah besar.

"Binar nggak ngapa-ngapain kalau itu yang Bapak khawatirkan!" Binar menjawab tak mau kalah.

"Mas Varo ini sahabatnya Mas Nagata, Pak! Abangnya Khawla. Bapak tahu Khawla, kan?" sembur Binar kesal. "Dia sahabat Binar yang sering main ke rumah, kalau Bapak lupa! Selama ini Mas Varo yang bantuin Binar kalau kesulitan di sini. Di sini Binar jauh dari siapa-siapa, Pak! Mau minta tolong pada siapa lagi kalau Binar butuh bantuan kalau bukan pada Mas Varo?!"

"Bapak tidak mau tahu! Kamu sudah melanggar peraturan Bapak! Bapak sudah bilang kamu tidak boleh pacaran!"

"Astagfirullah, Bapak! Siapa yang pacaran?!" Binar mengelak kesal. Wajahnya memerah.

Bapak Binar benar-benar salah besar, aku bahkan belum sempat mencium Binar, bagaimana dia bisa bilang kami berpacaran.

Belum, Pak! Belum. Sebentar lagi, mungkin.

"Berdua-duaan di dalam rumah itu apa namanya kalau bukan pacaran!" balas bapak Binar.

Sayang aku tidak bisa melihat wajah beliau karena Binar tidak membolehkanku mendekatinya. Aku merasa kasihan pada Binar atas perbincangan panas yang menurutku tidak perlu terjadi. Ini hanya miss communication saja.

Aku sudah gatal ingin merebut ponsel Binar dan memberikan penjelasan kepada bapaknya. Namun, aku harus menghormati Binar jika ia tidak ingin aku ikut campur.

"Bukan, Pak." Suara Binar mulai melunak. "Binar hanya numpang tinggal karena terjebak badai. Kebetulan hanya ada Mas Varo di apartemen ini. Itu saja. Tidak lebih, Pak."

Bapak Binar terdiam sebentar, suaranya lalu terdengar lagi. "Sudah! Bapak tidak mau tahu! Sekarang kamu pulang ke asrama!"

Binar mencebik kesal. Aku meringis melihat ketegangan yang tampaknya tak juga mereda. Sayang, Binar tampaknya tetap tak mau melibatkanku untuk memberikan pencerahan kepada bapaknya.

Aku mengernyit saat mendengar suara bapaknya yang terdengar makin sengit.

"Mulai sekarang Bapak melarangmu datang-datang lagi ke rumah itu! Dan jangan sekali-kali kamu mencoba untuk melanggarnya, Nar!"

Mendengar ultimatum itu, ganti aku yang menatap Binar dengan pandangan horor.

Mendengar ultimatum itu, ganti aku yang menatap Binar dengan pandangan horor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________________________
Duuuuuuh!

Salam horor,
A
16.04.2019
____________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang