Hanami di Sumida - 16. Limbung

1K 127 13
                                    

Malam ini Nagata tidak pulang lagi. Pekerjaan sebagai konsultan di sebuah perusahaan IT, mengharuskannya mengunjungi klien yang tersebar di seluruh Jepang. Sudah tiga hari Khawla kembali ke Indonesia, dan sejak itu pula apartemen ini kembali sepi.

Pemanas ruangan kusetel pada suhu dua puluh derajat celcius. Jauh lebih hangat dibandingkan suhu luar yang mencapai lima derajat celcius. Aku merebahkan tubuh di kasur beralas bed cover empuk dan menatap meja kerja di dekat nakas sebelah dipan. Pandanganku terpaku pada satu-satunya bingkai berukuran kartu pos yang setia menemaniku sejak sepuluh tahun lalu. Foto perempuan berperawakan gemuk dengan rambut disasak tinggi. Masih tampak cantik di usia setengah baya. Garis wajahnya halus dengan hidung mancung, mata lebar, dan kulit putih bersih. Jauh berbeda dengan kulitku yang cenderung gelap. Secara fisik aku memang lebih mirip Papa yang bergaris wajah tegas dan berperawakan tinggi besar.

Mama, how are you there? Aku menghela napas panjang. Ada setumpuk rasa rindu yang tak terobati. Kei kangen.

Orang bilang kenangan indah itu seperti lentera. Menerangi ketika berada dalam kegelapan. Mungkin itu yang aku rasakan. Kenangan pada Mama yang selalu mencintai dan menyayangiku tanpa batas. Menjadi sumber kekuatan dalam menjalani hari-hari, sebelum waktuku sendiri tiba untuk bisa berjumpa dengannya.

"Kei, cepat pulang!" Perintah Papa lewat ponsel. Saat itu aku baru masih masuk kuliah semester dua di Jogja. "Pakai penerbangan apa pun yang paling cepat!" Suara Papa bergetar, tapi tidak terdengar marah. "Sekarang!" Singkat, tanpa penjelasan apapun.

Siang itu aku bergegas pulang ke Jakarta. Hubungan kami memang belum juga membaik setelah Mama berhasil membujuk Papa agar mengijinkanku kuliah di Jogja, tapi bagaimana pun juga aku tetap patuh dan menghormati Papa. Aku pun menyayanginya, tentu saja.

Sepanjang perjalanan menuju bandara Adi Sucipto aku mencoba menghubungi Mama. Terdengar nada sambung di ponselnya, tapi tidak dijawab. Aku ingin mencari tahu hal mendesak apa yang ingin Papa bicarakan sampai aku harus pulang ke Jakarta saat itu juga. Aku hubungi via telepon rumah juga tidak ada yang menerima. Aku sedikit curiga. Tidak biasanya rumah dalam keadaan kosong.

Aku sampai di rumah sore hari. Dengan taksi langsung dari bandara Soekarno Hatta seperti yang Papa perintahkan sesaat setelah mendarat. Padahal biasanya Mama mengutus Pak Dudung atau Pak Rahman untuk menjemputku. Kedatanganku disambut oleh deretan tenda dan kursi yang memenuhi halaman sampai ke jalan di depan rumah, juga sanak saudara dan tetangga yang mulai berdatangan.

Tanpa firasat, tanpa pesan, ternyata siang itu Mama pergi meninggalkanku. Serangan jantung. Duniaku runtuh. Aku limbung hingga berhari-hari hanya mengurung diri di rumah. Papa yang juga sedang berduka tidak berhasil menyentuh hatiku agar kembali bangkit.

"Lo nggak kembali ke Jogja, Kei?" tanya Nagata sepulang dari kampus sore itu. Sudah tiga minggu sejak Mama meninggal, Nagata selalu menginap di rumahku. Pagi ke kampus, sore pulang ke rumahnya sebentar buat ganti baju, lalu malam numpang tidur di kamarku. Seperti yang sering kami lakukan saat masih sekolah dulu. "Bukannya waktu berduka sudah lewat? Sudah saatnya lo meneruskan hidup."

Aku tak menjawab.

"Mau drop out, aja?" pancingnya. "Trus, lebih milih jadi tukang benerin AC? Atau mau ganti sekolah bisnis seperti yang Om Ghani mau?"

Aku beranjak dari karpet tebal di depan televisi layar datar berukuran empat puluh tujuh inci yang menampilkan pertandingan NBA di saluran ESPN kesukaanku. Sejak kemarin Nagata sudah mulai menyinggungku yang tak juga segera kembali kuliah.

Entahlah, aku masih merasa bingung, kosong, dan resah.

"Ingat, Kei. Tante Henny sudah berjuang untuk meyakinkan Om Ghani agar mengijinkan lo kuliah di jurusan yang lo pengen. Om Ghani juga sudah mengalah demi menuruti keinginan lo. Lo seratus persen sudah dapat yang lo mau. Masih mau disia-siakan juga?"

"Gue nggak dapat seratus persen yang gue mau, Ga," protesku. Memandang halaman depan rumah dari pintu balkon yang terbuka. "Buktinya gue udah nggak punya ibu lagi."

"Astaga, Kei! Itu sudah takdir. Masih mau protes?" Nagata mematikan televisi. Lalu berbaring di karpet, kepalanya beralaskan tumpukan bantal besar yang berserakan. Nagata terdiam lama. Dia tampak berpikir, lalu beranjak bangun. "Ikut gue aja, yuk!"

"Kemana?"

"Nanti lo tahu."

___________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________________________

Kemana, Ga?

Salam sedih,
A
29.03.2019
___________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang