Pias menghampiri wajah saat Binar tak juga menjawab panggilan teleponku. Nadiku terasa berkedut cepat. Aku segera melepas napas tertahan ketika akhirnya terdengar suara Binar pada panggilan telepon yang kesekian kali.
Setelah membalas salam, aku langsung mencecarnya, "Kamu di mana, Nar?"
Binar malah tertawa-tawa senang, tak tahu jika aku sedang mengkhawatirkannya. "Mas, turun salju, nih!" pekiknya. "Waaaah, senengnyaa...!"
Aku menghela napas panjang. Ini bocah ditanya apa, jawabnya apa, runtukku dalam hati. "Iya, kamu di mana?" sergahku tak sabar.
"Di depan apartemen. Baru mau masuk. Kenapa, Mas? Di situ turun salju, nggak?"
Aku melepas napas lega, lalu memundurkan kursi yang kududuki. Mengintip ke luar melalui kisi-kisi horizontal blind yang menutupi seluruh dinding kaca di belakang mejaku.
"Iya, masih rintik-rintik," jawabku cepat. "Di luar mendungnya gelap banget. Syukurlah kalau kamu sudah di apartemen, kupikir masih di jalan. Di sini semua pegawai sudah disuruh pulang."
"Oh, gitu?" tanya Binar. "Kenapa?"
"Katanya akan ada badai."
"Oh."
"Aku mau pulang sekarang."
"Oke. Hati-hati ya, Mas."
Untungnya layanan kereta masih beroperasi. Meski harus berdesakan seperti ikan sarden karena semua orang ingin segera sampai ke rumah, dan sudah berdiam di dalamnya saat badai datang. Menurut Nagata yang tadi kuhubungi, biasanya ramalan cuaca di Jepang selalu tepat. Dia juga sedikit was-was tidak bisa kembali ke Tokyo hari ini karena terhalang badai.
Aku keluar dari Atre Ueno sambil menenteng beberapa kantong plastik. Udara terasa semakin menggigit kulit wajah, satu-satunya bagian tubuhku yang tidak tertutup kain. Hidungku juga terasa membeku. Aku berjalan pelan-pelan agar tidak terpeleset, karena jalanan menjadi lebih licin tertutup butiran salju.
Angin makin bertiup kencang. Tumpukan salju juga terlihat semakin tebal. Warna putih mendominasi sepanjang jalan dan bangunan. Menutupi apapun yang terlihat mata. Payung yang dibelikan Binar benar-benar membantuku menahan butiran salju yang turun semakin deras. Jika terjadi hujan salju di Tokyo, biasanya tumpukan es yang tertinggal akan mencair dengan cepat. Sedangkan menurut Nagata tadi, tampaknya kali ini akan sedikit bertahan lebih lama.
Aku memutuskan sekalian mampir ke toko swalayan di Atre Ueno untuk membeli bahan makanan. Berjaga-jaga jika badai akan berlangsung lebih lama dari perkiraan. Hingga terjebak di dalam apartemen tanpa bisa keluar untuk sekedar mengisi perut.
Benar saja, begitu aku selesai mandi, angin terdengar bertiup semakin kencang. Menimbulkan suara derakan kuat pada jendela di kamar dan pintu kaca di balkon ruang duduk. Tampaknya badai telah datang.
Binar yang ada di pantry tiba-tiba memekik.
"Kenapa, Nar?" Aku bergegas keluar kamar. Aku pikir dia kaget mendengar suara derakan angin di pintu balkon. Handuk kecil masih tersampir di kepalaku untuk mengeringkan rambut yang setengah basah. Aku malas mengambil pengering rambut yang disimpan Binar di kabinet di dekat genkan. Biasanya pengering rambut aku geletakkan begitu saja di rak bawah meja ruang duduk. Sejak Binar sering main ke apartemen dan diam-diam merapikan ruangan, beberapa barang yang tidak pada tempatnya sudah kembali lagi ke asal.
Bau harum rendang yang sedang dimasak memenuhi seluruh apartemen meskipun cooker hood sudah menyala. Gadis itu berdiri membelakangiku. Ia menghadap kompor di pantry. Dua buah mug yang masih mengepulkan uap panas berisi ocha tubruk sudah terhidang di meja makan. Di sebelahnya tergeletak ponsel dan kacamata bingkai hitam milik Binar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...