Aku mendengarkan Bapak Binar dengan tekun. Ibu Binar kemudian ikut menimpali.
"Saya dan Bapak merasa jika Binar sudah matang, sudah cukup umur untuk berumah tangga, sama seperti saya dulu. Keluarga kami memang tidak mengenal berpacaran. Kami membebaskan anak-anak untuk berteman dengan siapa pun termasuk dengan lawan jenis, tapi harus sesuai dengan norma agama dan sosial. Jadi, siapa pun yang datang ke rumah ini dengan maksud baik, kami akan menerimanya dengan tangan terbuka. Apalagi Nak Varo banyak menolong Binar."
Ibu Binar berhenti berkata sambil tersenyum kecil saat menatapku.
"Dari membujuk Binar yang sedang kesal, bersedia mengantar Binar memperbaiki laptop, bahkan sampai harus repot-repot memberikan gantinya yang rusak, supaya dia tidak harus datang lagi ke apartemen Nak Varo untuk mengerjakan tugas."
Aku terkesiap. Tak menyangka jika wanita berwajah bijak itu tahu banyak tentang kedekatanku dengan Binar.
Ibu Binar tampaknya memahami kekagetanku. "Binar itu lebih terbuka dengan saya dibandingkan dengan Bapak. Selama di Jepang kemarin, setiap telepon saya, dia beberapa kali menyinggung tentang Nak Varo. Saya tentu bisa menebak isi hati Binar. Kalau Bapaknya sih nggak akan memahami."
Ibu Binar tertawa kecil sembari memandang Bapak Binar sekilas, lalu kembali menatapku.
"Saya tahu jika Binar tidak akan mengecewakan kami sebagai orang tua karena anak itu selama ini selalu bertanggung jawab. Menurut naluri saya sebagai ibu, Nak Varo pasti punya maksud baik kepada Binar. Biasanya naluri saya tidak salah, jadi saya sabar menunggu saja. Ternyata saya benar. Nak Varo hari ini berani datang ke rumah ini dengan maksud baik."
Jadi begitulah, setelah pembicaraan panjang dengan mereka, aku langsung mengantongi ijin untuk bertemu dengan Binar. Dengan catatan aku harus segera kembali mengantar Binar ke rumah setelah selesai meluruskan beberapa hal dengan anak gadis mereka.
-*-
"Kamu dapat salam dari Nagata."
"Hmm ...." Hanya dehaman yang keluar dari mulut Binar. Suasana di dalam mobil yang disewa Linkan selama aku di Jogja terasa hening. Aku melirik Binar yang duduk kaku menatap lurus ke depan. Meski begitu, wajahnya tidak terlihat marah. Jika ditanya ia tetap menjawab dengan sopan, tapi hanya singkat saja. Entah, segan atau malah enggan untuk memulai pembicaraan. Aku makin gemas melihatnya.
Aku mengajak Binar sarapan di warung gudeg langgananku dekat selokan Mataram, sekitar gedung kampusku dulu. Lapar sekaligus kangen pengen makan gudeg yang tidak terlalu manis, alasanku agar Binar mau diajak mampir ke sini. Gadis itu hanya mengangguk pasrah, mungkin dia sudah capek kabur menghindariku. Sampai sembunyi di toko ibunya saja masih juga aku samperin.
"Kamu masih marah?" tanyaku saat Binar masih saja terdiam sambil menikmati sepiring nasi gudeg komplit yang dipesannya.
Binar berpaling, menatapku segera, "Marah ke siapa?"
"Aku."
Binar mengernyit. "Aku nggak marah."
"Oh, jadi ternyata benar masih marah." Aku tersenyum simpul.
"Marah karena apa?" Aku pura-pura tak mengerti. "Karena Shirin memelukku?"
Binar serta merta menyanggah, "Nggak! Bukan urusanku!" Bibirnya mengerucut.
"Oh, beneran nggak marah meski Shirin memelukku?" godaku lagi. "Atau ... cemburu?"
Binar makin manyun. "Sorry, Mas. Bukan urusanku."
"Yah, sayang." Aku pura-pura kecewa. "Jadi sekarang aku sudah bukan urusanmu lagi, ya?"
Aku mengelap bibirku dengan tisu yang ada di meja. "Padahal aku berencana menjadikanmu sebagai urusanku."
Binar tak menjawab. Wajahnya tampak bingung. Aku tersenyum lebar. Oh, jadi dia selama ini cemburu. Baiklah.
Sepiring nasi gudeg komplit dan segelas teh manis hangat cukup membuat perutku terhenti bernyanyi. Hatiku terasa lebih ringan. Aku melirik piring Binar yang kosong secepat aku menghabiskan isi piringku. Rupanya selera makan gadis itu mulai timbul kembali. Aku tersenyum senang.
"Jalan, yuk!" ajakku setelah membayar makanan kami.
Binar menatapku. Meski tak berucap tapi wajahnya masih menyiratkan seribu tanya.
"Ke situ sebentar." Tunjukku ke arah utara. "Balairung."
Binar langsung bereaksi.
"Jalan beneran? Mobilnya? Sekarang mobil dan motor nggak boleh masuk rektorat." Kalimat terpanjang pertama yang keluar dari bibirnya.
"Biarin aja parkir di sini. Nanti kubilang tukang parkirnya. Bentar, kok. Aku kangen suasana di situ."
Kami berjalan bersisian dalam diam menyusuri trotoar beton concrete menuju gedung yang kumaksud. Jalanan terlihat ramai, maklum hari minggu. Masih banyak rombongan mahasiswa yang beraktivitas olahraga sepanjang jalan menuju gedung pusat universitas yang biasa disebut balairung.
Meski hari menjelang siang, tapi udara tidak terasa panas. Mungkin karena deretan pepohonan tinggi besar yang ada di sekitarnya membuat suasana semakin segar. Gedung berbentuk segi empat dengan pilar-pilar besar di tiga lantainya itu mulai tampak dari kejauhan. Pilar berbentuk kubah sebanyak tujuh buah sebagai penyangga teras masih berdiri dengan kukuh. Tampak gagah menghias komplek rektorat almamaterku.
Aku teringat saat kami bersepeda menyusuri Asakusa, melewati Sumida Park, sampai ke Tokyo Sky Tree. Saat itu Binar juga sedang merajuk karena laptopnya tidak bisa diperbaiki. Sayang di sini tidak ada persewaan sepeda seperti di Asakusa, jadi aku harus puas membujuk Binar dengan berjalan santai di sekitar balairung yang teduh.
"Gedung kuliahmu dekat sini, kan?" tanyaku memecah keheningan.
Binar mengangguk.
"Iya," jawabnya singkat.
Aku meringis. Jawabannya kembali pendek-pendek. Aku sekarang paham jika Binar termasuk tipe wanita yang perlu diberi waktu untuk sendiri saat sedang marah. Jika aku semakin mendekat, maka akan semakin bertambah tinggi level marahnya. Sampai-sampai semua yang berkaitan denganku langsung di-shutdown olehnya.
"Jika kamu malas ngobrol denganku, kamu dengerin aja, Nar. Biar aku yang bicara."
_________________________
Ish, ngambeg nya awet banget, Neng! Sabar ya, Kei ....Salam manyun,
A
09.05.2019
__________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...