Baru kali ini aku tak membuang waktu sedetik pun untuk bergegas menuju elevator begitu waktu menunjukkan pukul lima tepat. Aku tak peduli meski karyawan lain masih belum beranjak satu senti pun dari tempatnya menyelesaikan pekerjaan. Toh, aku tidak menyalahi peraturan perusahaan karena jam kerja wajib sampai pukul lima sore. Walaupun secara praktik orang di sini lebih sering meninggalkan kantor jauh melebihi jam pulang kerja yang telah ditetapkan. Biasanya sampai dengan pukul tujuh malam ruangan ini masih dipenuhi karyawan yang sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Tak ada satu pun yang terlihat mengobrol santai. Jika ada suara pun karena sedang berdiskusi tentang pekerjaan, bukan bercanda atau ngobrol ngalor-ngidul.
Aku berdiri di dekat pilar besar penyangga langit-langit bangunan stasiun Asakusa. Memperhatikan seorang gadis yang jika dilihat dari profilnya, aku yakin kalau dia adalah Binar. Gadis itu duduk di kursi peron dekat pintu masuk stasiun. Ia mengenakan celana katun hitam, coat biru dongker, dan beanie warna senada yang menutupi hijab biru muda. Syal kuning gadingnya dipasang melingkupi leher sampai menutupi hidung. Tangannya tertutup sarung tangan warna hitam.
Binar jelas terlihat berusaha melawan dingin karena seluruh tubuhnya tertutup rapat sampai ke wajah. Yang terlihat di wajahnya sekarang hanya kacamata bingkai hitam andalannya. Ia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, sementara tangan kanannya menggenggaman ponsel. Gadis itu tampak gelisah. Bolak-balik kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Mungkin mencari keberadaanku. Lalu kembali menatap layar ponselnya.
Akhirnya aku berjalan menghampiri Binar. Kasihan kalau membiarkan gadis itu menunggu terlalu lama. "Binar," sapaku. "Udah dari tadi?"
Wajah Binar yang tertunduk segera beralih memandangku. Aku tidak bisa melihat senyumannya karena wajahnya tertutup syal, hanya saja sepasang mata di balik lensa itu terlihat bersinar senang. Hmmm, senang karena bertemu denganku? Aku segera berdeham mengusir pikiran liar yang melintas.
"Eh, Mas Varo. Belum, kok." Tangannya segera menarik turun syal yang menutupi hidungnya, "Baru sepuluh menitan, lah." Uap panas mengepul keluar dari bibir tebal Binar saat dia berbicara. Dalam jarak ini aku tak bisa mencium wangi mint dari embusan napasnya, pun melihat jelas tahi lalat di garis bibirnya.
"Dingin?"
"Di suhu empat derajat seperti sekarang?" sambar Binar sambil tersenyum, "Hmmm ... kayaknya enggak, deh. Gerah banget malahan."
Aku tersenyum mendengar jawaban berbau sarkasmenya. "Oh, kalau kedinginan cepet bilang, ya, Nar. Nanti bisa kupeluk biar hangat," tukasku pelan. "Daripada kamu nanti kena hypothermia." Mataku memandang lurus ke dalam bola mata lebarnya.
Mata Binar seketika terbeliak kaget. Pipinya yang sudah memerah karena kedinginan makin bersemu.
Aku langsung terbahak melihat reaksinya. "Hahaa ...! Bercanda, kok!"
"Huh, Mas Varo ini!" Binar tersenyum malu. Nampaknya Binar mulai terbiasa dengan candaanku yang kadang menyerempet "bahaya".
Aku lalu menepak lengannya, mengajak Binar beranjak meninggalkan stasiun Asakusa. "Yuk! Lewat lurus aja sampe ke lampu merah. Lebih longgar jalannya dibandingkan lewat Sensoji shrine."
Binar lalu berdiri dan menjejeri langkah lebarku menuju ke utara, menyusuri Edo dori. Tidak banyak gedung bertingkat tinggi di sini. Trotoarnya memang ramai dengan pejalan kaki, tapi tidak seramai Takeshita dori di Harajuku atau Shibuya crossing. Jauh lebih lengang dan nyaman. Kerlip lampu-lampu gedung dan pertokoan yang mulai menyala seiring dengan langit yang mulai berangsur kelam tampak indah di mataku.
Aku merapatkan syal di leher dan menarik beanie-ku menutupi telinga. Tanganku yang dilapisi sarung tangan kulit kumasukkan ke dalam saku coat. Kulit wajahku seperti ditusuk-tusuk jarum super kecil karena makin malam udara terasa semakin dingin. Sungguh, kalau di Indonesia seperti ini aku akan dengan senang hati menyusuri jalanan sambil merokok. Pasti akan nikmat sekali rasanya. Sayang, hal itu tidak bisa kulakukan di sini.
"Jadi, gimana?" tanyaku membuka percakapan. Berjalan dengan Binar seperti ini tidak tampak janggal dilihat. Pas dan serasi, karena perawakannya mengimbangi tinggi badanku. Berbeda jika aku berjalan bersama dengan Khawla. Mungkin lebih terlihat seperti seorang bapak sedang mengasuh anak gadisnya yang masih SMP.
"Apanya?" Binar balik bertanya.
"Seberapa urgent-nya laptop buat kamu?"
"Banget!" Binar menjawab dengan lantang. "Materi kuliah semua ada di situ. Foto-foto kegiatan kampus, foto-foto pribadi juga banyak. Tugas yang sedang kukerjakan juga ada di situ. Belum lagi data-data untuk artikel yang kukirimkan ke beberapa portal daring termasuk majalah kampus. Beberapa artikel ada yang sudah sempat aku back-up, tapi banyak juga yang belum. Biasanya yang under process editing belum ku-save di external hard disk." Suaranya terdengar bersemangat, "Pokoknya, He is everything!"
Aku tersenyum heran, "He?"
Binar meringis malu. "Yaaa ... aku menganggapnya teman deket. Soalnya "dia" yang paling setia menemani. Bahkan sampai jauh ke sini." Binar menyebut kata dia sambil kedua tangannya memberikan tanda kutip imajiner di awang-awang. Aku mendengarkan dengan saksama, menunggunya menyelesaikan cerita.
"Dia mampu menampung dan menyimpan semua yang ada di kepalaku. Dulu, aku belinya dari hasil menabung sejak SMA. Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan hadiah dari hasil menang lomba yang sering kuikuti. Ternyata masih kurang juga. Pas tahu kalau uangku kurang, Ibu dengan baik hati bersedia melengkapi kekurangannya."
"Kok nggak She?" kejarku. Aku ingin memastikan sesuatu.
Binar tertawa lebar. "Haha ... why not?"
"Ya, kan, bisa aja kamu nyebutnya She? Atau it. Kenapa harus He?"
"Kenapa, ya?" Binar terdiam.
Ia nampak berpikir, "Yaa ... mungkin karena kalau She, aku udah punya temen deket si Khawla. Kalau He kan belum ada." Binar lalu mengangkat bahunya. "Lalu kenapa nggak it? Hmm ... karena aku menganggapnya lebih dari sekedar barang. More like friend. Walaupun dia nggak bisa bales omonganku kalau diajak ngobrol." Binar tertawa sampai lesung di pipinya terlihat.
Aku tersenyum simpul. Aha! ternyata Binar belum punya teman lawan jenis yang dekat dengannya.
"Masih jauh nggak, Mas?" tanya Binar membuyarkan lamunanku. Napasnya mulai ngos-ngosan mengimbangi langkah cepatku.
"Nggak." Aku menggeleng. "Tuh, kedainya udah keliatan!" Tunjukku ke arah kedai berkanopi biru berjarak sekitar lima belas meter di depan. "Yuk, Nar! Jam segini biasanya belum rame banget."
___________________________
Aha! Ooh, jadi gitu Kei?! Ihiiir...
Salam kembali ke laptop,
A
01.04.2019
____________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...