Aku tak berkedip memandangi wajah polos Binar yang tertidur pulas. Wajahnya tampak damai, berbaring miring menghadapku. Satu lengannya melingkari pinggangku. Helai rambut hitam lembut tergerai menutup sebagian wajah bersihnya. Bibir merah mudanya sedikit terbuka, tahi lalat cokelat samar di garis bibir terpampang nyata. Tak lagi harus ditatap secara sembunyi-sembunyi agar terlihat jelas.
Masih terdengar derak di jendela kaca tanda di luar angin sedang bertiup kencang. Untungnya musim dingin kali ini tidak terdapat badai salju seperti tahun lalu. Namun, angin yang bertiup di waktu malam tergolong kuat. Lampu kamar sudah mati sejak tadi, hanya lampu duduk di meja kerja yang sengaja kunyalakan. Agar aku bisa menatap dengan puas teman tidurku yang tampaknya sudah terbang ke alam mimpi.
Aku tersenyum menatap bibir favoritku itu. Aku tidak penasaran lagi seperti apa rasanya. Sudah kubuktikan kalau bibir Binar memang manis, hangat, dan lembut seperti bayanganku selama ini. Bukan itu saja, bagian tubuh Binar yang lain juga tak lupa kujelajah inci demi inci sejak pintu kamar pengantin tertutup rapat. Rasanya tak kalah memabukkan seperti bibir merah muda favoritku itu. Harus kuakui jika bibir itu kini bukan lagi satu-satunya bagian tubuh Binar yang kudamba.
Aku meringis--sedikit merasa bersalah--karena selalu membuat Binar tertidur kelelahan. Tidak usah ditanya alasannya, semua orang juga tahu apa yang selalu dilakukan oleh pasangan pengantin baru setiap malamnya.
"Binar itu saya yang memberi nama."
Aku teringat calon bapak mertuaku memberikan wejangan saat prosesi lamaran resmi, dua hari setelah aku melamar Binar secara pribadi di teras balairung.
"Saat lahir, bayi gemuk itu mempunyai mata yang bercahaya, berbinar-binar menunjukkan rasa bahagia. Seperti saya dan ibunya, yang sangat bahagia akhirnya dikaruniai anak perempuan. Usa kalau dalam bahasa Jawa artinya malam, karena Binar dilahirkan pukul sebelas malam. Ramadania karena dia dilahirkan di bulan suci, bulan Ramadan. Saya beri nama Binar Usa Ramadania karena bayi perempuan kami itu mempunyai mata yang bercahaya, bagaikan menerangi malam di bulan Ramadan."
Pak Maulana terdiam. Beliau memandangi deretan tempat duduk para keluarga dan tamu undangan yang hadir. Matanya kemudian berhenti berkelana ketika pandangan kami bertemu, lurus menatapku tanpa ragu. Aku merasa bahwa pandangan Pak Maulana sarat makna. Layaknya seorang bapak saat menitipkan separuh jiwanya kepadaku untuk disayangi dan dicintai.
"Selama ini Binar selalu membuat kami berdua bangga."
Pak Maulana ganti memandang istrinya. Detik berikutnya aku menyadari beratnya hati mereka karena harus ikhlas melepas Binar untuk hidup bersamaku.
"Dia itu bagaikan penerang dalam kehidupan kami. Karena itu saya dan ibunya berharap, Binar tidak hanya mampu menerangi jiwa kami sebagai orang tua seperti yang selama ini sudah ia lakukan, tapi juga jiwa suami dan anak-anaknya kelak jika sudah berumah tangga."
Suara Pak Maulana seketika tercekat. Ibu Binar terlihat menyusut ujung matanya dengan tisu, sedangkan Binar saat itu langsung menatapku sendu. Mata itu seolah-olah langsung memenjarakanku, mengucap janji tak terucap agar saling membahagiakan, tetap berpegangan tangan dalam suka maupun duka.
Hadirin yang hadir di acara malam itu ikut terdiam. Seperti turut merasakan haru yang tersimpan di dada orang tua yang sebentar lagi melepas anak perempuannya untuk hidup berumah tangga dengan pria yang dicintai.
Tiga hari setelah acara lamaran aku harus kembali lagi ke Tokyo karena cutiku habis. Sebelumnya, keluarga kami berencana untuk menggelar acara pernikahan setelah aku menyelesaikan tugas di Tokyo. Namun aku menolak keras. Seribu alasan langsung kulontarkan agar pernikahanku dan Binar segera dilaksanakan.
Bulan Desember menjadi momen penting saat aku mengucap janji suci di hadapan Sang Maha Pengasih, disaksikan oleh ribuan malaikat yang mencatat. Aku juga yakin Mama di surga juga ikut menyaksikan dengan penuh kebahagiaan. Detik itu juga dengan hati mantap aku mengambil alih semua tanggung jawab atas Binar yang sebelumnya ada pada orang tuanya, menjadi penuh di pundakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...