Yuhuuu...!
Meet Khawla, ya gaes!
_______________________________Aku terpaksa membuka mata ketika mendengar suara gedoran berkali-kali di pintu kamar. Ditambah dengan suara berisik seorang perempuan yang terus memanggil-manggil, "Bangkeeee ...! Bangun! Bangkeeee ..!!"
Kamar berukuran sembilan meter persegi ini masih dingin dan gelap. Hanya diterangi oleh samar sinar yang menyusup masuk lewat celah-celah sempit vertical blind yang tertutup.
Dengan malas kuraih jam tangan di atas nakas samping tempat tidur. "Baru juga jam sebelas," batinku kesal. Kuambil bantal untuk menutup telinga, meminimalisir suara berisik itu. Lalu menarik bed cover tebal sampai ke dagu, mencoba menutup mata lagi.
Dug dug dug!
"Bangkeeeee!!!"
Suara gedoran dan teriakan yang tak kunjung berhenti akhirnya memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Kunyalakan saklar dan membuka pintu kamar. Seorang anak perempuan, eh ralat, seorang gadis menunggu di ambang pintu dengan raut wajah tak sabar. Ia langsung menubruk dan memelukku dengan erat, segera begitu pintu terbuka lebar.
"Bangkeeee!!! Gue kangeeeeen!"
Aku terhuyung ke belakang mencoba menahan beban tubuh mungilnya.
"Woooy..., easy, girl!" ujarku cepat sambil balas memeluknya. "Jatuh ntar gue."
Tercium samar aroma si pemilik tubuh, tidak jauh berbeda denganku yang baru bangun tidur.
Seketika aku berkata dengan suara masih terdengar serak, "Lo sekarang baunya asem ya, La?"
Khawla sontak melepaskan pelukannya lalu menatapku sengit. "Lo emang pandai merusak suasana, Bang!"
Aku tersenyum menatap wajah cemberutnya. Rambut Khawla kini terurai bergelombang sampai ke punggung, matanya sedikit sembab seperti kurang tidur, kulit wajahnya terlihat lebih putih dari terakhir kali kami bertemu . Badannya tetap mungil, hanya setinggi bahuku. Namun gadis itu telah menjelma menjadi wanita dewasa, jauh berbeda dengan Khawla tiga tahun yang lalu.
"Eh, lo juga udah nggak jenong lagi?" aku berkata saat melihat model poni yang menutupi dengan apik dahinya yang lebar. "Abis operasi plastik, ya?"
Kudorong badan mungil itu ke satu-satunya kursi di dalam kamar tidurku, sedangkan aku duduk bersila di atas kasur. Aku tak peduli kondisi kamarku yang masih berantakan, toh dia notabene "hanya" adikku, Khawla, bukan seseorang yang harus aku buat kagum.
"Nyesel gue buru-buru pengen ketemu lo, Bang! Ternyata mulut lo masih pedes kayak cabe."
Senyumku makin lebar. "Lo udah gede, ya, sekarang?"
Khawla mengikik senang. Sejak kecil dia suka sekali dibilang makin gede. Padahal menurutku tingginya tetap segitu-gitu saja. Ia bangkit dari kursi. Kakinya berjinjit lalu berputar-putar bak putri raja lalu membungkuk takzim. "Terimakasiiih. Senang sekali bertemu dengan Anda, Paduka."
"Maaf, saya enggak," sanggahku cepat.
Mulut Khawla seketika cemberut. Ia kembali duduk di kursi. Tangannya bersedekap. Pura-pura ngambek.
"Bukan badannya lho, La," ralatku. "Kalau itu sih sampai kapan pun masih tetep kuntet."
Mulut Khawla makin manyun.
"Eh, Tapi lo makin terlihat ... ehm, apa, ya?"
"Cantik?" kejar Khawla mulai tersenyum. Kedua tangannya diangkat ke kepala, menyatukan rambut lalu mengundainya asal-asalan menjadi bentuk sanggul.
Aku menggeleng tak setuju. "Bukan. Makin dewasa. Seperti wanita ...."
"Seperti kak Shirin?" celutuk Khawla polos. Sontak aku terdiam mendengar nama itu disebut. Khawla seketika menyadari perubahan wajahku.
"Ups."
Ia segera mengulurkan tangan seperti anak kecil, merengek untuk meminta maaf, "I'm so sorry. I'm crossing your line."
Aku membalas uluran tangannya lalu berdiri.
Khawla masih tidak enak hati. "Lupakan perkataanku dua menit yang lalu, ya, Bang."
Aku segera mengalihkan topik pembicaraan, "Dari Haneda?"
"Langsung ke sini." Khawla mengangguk. "Gilak! Suhunya dingin banget, cuy!" serunya.
Aku membuka vertical blind yang memenuhi jendela, sebelah lemari yang menyatu dengan dinding kamar. Cuaca di luar terlihat sedikit gelap. Minggu ini suhu di Tokyo bisa mencapai dua derajat celcius saat turun hujan. Dan yang pasti akan jarang turun salju karena Tokyo termasuk kota di Jepang yang tidak bersalju di musim dingin. Kecuali jika mengalami cuaca ekstrem yang kerap terjadi di beberapa tempat di Jepang akhir-akhir ini.
Khawla kemudian menarik syal di leher dan melepas long coat merah yang dikenakannya, "Baruuuu banget sampai. Pengen langsung ketemu Bangke. Eh, ternyata masih molor aja!"
Aku tersenyum, "Buat apa hari libur kalau nggak dipakai tidur?"
"Ya, jalan kek sono! Udah sampai di Tokyo rugi banget cuman tiduran doang."
"Ya, lo kali. Gue kan tinggal disini. Bukan liburan."
"Ulu uluu, baru juga tinggal di sini sebentar udah songong, beud. Abang yang udah di sini lama aja nggak gitu-gitu amat!"
Aku tertawa sambil berusaha menarik lepas cepolan di kepalanya. Khawla menghindar dengan gesit. Aku kemudian menarik tangannya, mengajak untuk keluar dari kamar yang tiba-tiba terasa makin sempit setelah nama Shirin tidak sengaja disebut. "Mana oleh-oleh gue?"
"Ooh, kirain lupa." Khawla tertawa. Memperlihatkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi dan putih. "Yuk, kita bongkar koper. Abis itu baru mandi biar wangi." Matanya mengerling manja. "Gue dibawain mami sambal trasi dan sambal bawang. Eh, sambal roa juga ada. Sambal goreng teri tempe kesukaan Abang juga ada. Lalu ada balado kentang. Eh, itu kesukaan gue, ding. Hehe. Noh, gue juga bawa rendang kesukaan lo, tuh. Trus ada ...."
Ocehan Khawla tak kuhiraukan saat di ruang duduk kulihat seorang gadis berkacamata bingkai hitam duduk santun di sofa bed. Sedang berbincang seru dengan Nagata yang menyimak dari meja makan. Kemunculan kami yang berisik membuat mereka berdua menghentikan obrolan dan menoleh berbarengan.
"Udah selesai reuniannya?" tanya Nagata.
Tak kuhiraukan pertanyaan Nagata saking terkejutnya melihat tamu yang mengobrol bersamanya. "Binar?"
______________________________
Yess... Binar on scene lg, jangan lupa vomentnya. Thank a bunch😉
Salam,
A
21.03.2019
______________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...