Hanami di Sumida - 29. Visit Plan

882 123 15
                                    

Baru sebentar aku merasakan guyuran air hangat dari pancuran terdengar ketukan di pintu kamar mandi. "Mas Varo! Mas!"

"Ya?" teriakku. Berusaha mengalahkan suara air memancar dari pancuran di atas kepalaku.

"Ponselnya bunyi!" suara Binar terdengar lebih lantang. "Video call!"

"Biarin aja!" teriakku lagi.

"Bunyi terus, nih! Nggak berenti-berenti dari tadi...."

"Dari siapa?" Aku mengecilkan debit air pancuran.

"Pak Ghanindra!"

Hadeuh.

Aku meringis masam. Tanggung, tangan masih berlepotan sabun. Mau keluar kamar mandi juga tidak mungkin. Bisa histeris anak perawan orang.

Tumben Papa menghubungi pakai video call, batinku. Terakhir sekitar dua bulan lalu Papa meneleponku. Kala itu Papa sedang berada di boarding room bandara sesaat sebelum terbang ke Denpasar. Dini hari waktu Indonesia barat, jadi sekitar pukul tujuh waktu Tokyo. Tidak ada yang penting, hanya ingin tahu keadaan anaknya yang jarang sekali kirim kabar dari Tokyo, begitu kata Papa waktu itu.

Eh, telepon berdering terus-menerus? Keningku berkerut. Tiba-tiba aku merasa deg-degan. Kenangan saat Papa menyuruh pulang ke Jakarta dari Jogja sepuluh tahun silam melintas di benakku. Saat itu panggilan dari Papa berbunyi terus-menerus sampai akhirnya aku menjawab panggilan Papa tanpa curiga.

"Ya udah. Terima aja!"

Sampai aku keluar dari kamar Binar tak juga segera melaporkan isi telepon yang diterimanya. Berarti bukan berita penting, batinku lega. Aku memperhatikan Binar yang duduk di lantai parquet. Ia masih serius mengerjakan tugas di depan laptop.

Aku menghampiri Binar sambil memasang beanie hitam dan mengalungkan syal di leher. Ditambah dengan long john wool yang dilapisi celana chinos krem, sweter hitam dan kaus kaki tebal, akan cukup menghangatkan badan di tengah cuaca dingin di luar. Saat ini memang sama sekali tidak terasa dingin karena ada pemanas ruangan, tapi sebentar lagi aku akan mengantar Binar kembali ke dorm.

Jarak apartemenku ke dorm Binar tidak terlalu jauh. Sekitar dua puluh lima menit dari Ueno eki(1). Biasanya kalau pulang sebelum jam sembilan malam, Binar akan kuantar sampai stasiun Ueno. Jika lebih dari jam itu aku akan menemaninya sampai depan dorm. Aku tahu situasi keamanan di Tokyo memang layak diacungi dua jempol. Hanya saja aku jelas tidak tega membiarkan seorang anak gadis keluyuran sendirian malam-malam.

"Gimana tadi Pak Ghani, Nar?" tanyaku.

Binar segera menoleh. "Pak Ghani?" Wajahnya tampak heran. "Emang manggil papanya harus Pak Ghani, gitu?"

Aku tersenyum malu. "Ngobrol apa aja kamu sama Papa?" Aku meralat pertanyaanku sebelumnya. Aku tidak bisa berpura-pura lagi. Pasti Binar sudah mengobrol banyak dengan Papa karena dia sudah tahu kalau Pak Ghani itu papaku. Lagian Papa pakai video call segala, keluhku. Pasti beliau kaget karena yang muncul di layar ponselnya wajah gadis berhijab pink, bukan wajah anak semata wayangnya.

"Aku bilang kalau Mas lagi mandi." Binar tersenyum. "Makanya aku yang menerima panggilan beliau," imbuhnya lagi.

Aku mengamati Binar yang mulai membereskan meja. Memasukkan buku-buku yang berserakan ke dalam ranselnya. "Laptopnya bawa aja, Nar. Besok kan weekend," ujarku saat Binar mematikan laptop lalu melipat layarnya.

Binar mengangguk. Ia segera menata laptop beserta adaptornya ke dalam ransel.

"Trus?" tanyaku penasaran karena Binar belum juga meneruskan ceritanya.

"Oh iya, Pak Ghani langsung memperkenalkan diri sebagai papa Mas Varo. Tadinya kupikir atasan Mas di Indonesia." Binar terkikik. "Padahal harusnya dari awal aku tahu kalau beliau papa Mas Varo, ya?" ujar Binar menertawakan diri. "Wong garis wajahnya sama. Persis anak kembar," imbuh Binar.

Ia memandangku penuh canda. "Lalu aku ganti memperkenalkan diri sebagai temennya Khawla dari Jogja, sedang kuliah sementara di sini. Eeeh, papa Mas Varo malah nanya kabar Khawla segala."

Senyum Binar makin lebar. Lesung pipinya mengintip malu-malu. "Ya udah, aku trus cerita tentang Khawla."

"Trus?" tanyaku penasaran. "Gitu doang?"

"Papa Mas Varo malah cerita waktu kecil Khawla sering nginep di rumah Mas Varo. Emang, ya?" tanya Binar. Aku mengangguk. Alisku terangkat sebelah. Tumben Pak Ghani bisa ngobrol panjang lebar dengan orang yang baru dikenal. Biasanya ngomong juga cuma sepotong-sepotong.

"Trus?"

"Apalagi yaa ... " Binar berdiri sambil memasang beanie biru dongkernya, "oh, aku juga bilang sedang pinjem laptopnya Mas Varo buat ngerjain tugas karena laptopku rusak. Biar Papa Mas Varo nggak mikir macem-macem kok aku ada di apartemen Mas Varo malam-malam." Binar berhenti sejenak. Keningnya berkerut mencoba mengingat percakapannya dengan Papa.

"Oh, iya...!" seru Binar segera. Matanya mengilat. "Papa Mas Varo bilang beliau sedang ada di Soetta. Katanya lusa mau ada urusan sedikit di Osaka. Jadi malam ini beliau terbang ke Tokyo. Besok pagi sudah sampai di Haneda."

"Hah?"

(1) Stasiun____________________________Hayolooooo Kei

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(1) Stasiun
____________________________
Hayolooooo Kei.... ada Pak Ghani datang, lho!

Salam kaget,
A
09.04.2019
_____________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang