"Bapaknya ngelarang dia pacaran sebelum lulus kuliah, kan? Binar cerita nggak sih waktu kegep ama bapaknya pas nginep di apartemen karena badai yang waktu itu?" Aku mengingatkan Khawla kejadian beberapa bulan lalu.
"Iya, cerita." Khawla mulai mencerocos, persis seperti abangnya. Aku masih berjalan mondar-mandir dari pantry ke ruang cuci sembari terus berbincang. Nagata juga masih duduk menguping. Raut wajahnya ikut menunjukkan rasa penasaran ingin tahu cerita lengkap versi Khawla.
"Sekarang keadaan Binar bagaimana, La?" Aku kembali mengorek keterangan dari Khawla.
"Badannya masih panas kalau malam, kepalanya juga masih pusing. Kata ibunya, Binar nggak doyan makan waktu sampai Indo. Berat badannya pas pulang dari Jepang aja udah berkurang. Apalagi ditambah sekarang kena tifus." Duh, hatiku makin kebat-kebit. Gadis penyuka segala makanan itu pasti begitu tertekannya sampai tidak mau makan. Aku ingin meraung kesal. Ponsel Nagata kugenggam erat-erat. Aku merasakan darah mulai naik ke wajahku. Dasar Shirin sialan!
"Nitip Binar ya, La. Nanti kalau Binar sudah sembuh, tolongin gue bujuk dia. Gue lagi cari waktu buat pulang ke Indo secepatnya."
"Iya, deh, Bang. Nanti pelan-pelan gue ngomong ke Binar."
Aku mengembuskan napas lega. Mendadak aku teringat sesuatu. "Oh iya, Kenapa Binar bawa-bawa laptop sih, La? Bukannya dia harus istirahat? Emang dia masih ngerjain tugas?"
"Kagak!" Khawla mulai terkikik. "Dia nggak mau lepas dari laptop pemberian lo, Bang Kei. Padahal juga nggak dipakai. Suster aja sampe angkat tangan. Bujukannya nggak mempan buat ambil tuh laptop dari pelukan Binar."
Bibir atasku terangkat sebelah membentuk seulas senyum. Ketegangan berangsur luruh dari wajahku. Hatiku terasa menghangat. Meski sedang sakit, setidaknya Binar masih mengingatku dalam hatinya. Sepertinya aku sudah menempati ceruk khusus di sana. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Ingin rasanya aku segera terbang ke Indonesia untuk menemui Binar dan merengkuhnya ke dalam pelukanku.
"Binar tetap ngotot meski lemah tidak berdaya. Dia bilang ke suster, cuma ini yang tersisa, Suster. Masak Suster tega mau misahin kami, gitu Bang Kei." Khawla masih terkikik. "Yaelah, Bang. Udah lo apain sih temen gue sampe segitunya ama lo?"
"Pengennya sih, gue cium sampe pingsan," balasku cepat. Sayangnya hanya dalam hati. Aku kemudian tersenyum jumawa. "Pesona Master Kei sudah tidak perlu diragukan lagi, La."
-*-
Memang jika mestakung—semesta mendukung--maka semua berjalan dengan mudah. Di Jepang saat musim panas, selalu ada Obon Matsuri(1) yang dirayakan setiap bulan Agustus. Dalam rangka perayaan Obon, biasanya perusahaan memberikan bonyasumi(2). Nagata menyarankan untuk pulang ke Indonesia saat itu, jadi aku tidak perlu mengambil cuti lama, tinggal menambah satu atau dua hari saja. Tidak akan membuat pekerjaanku terbengkalai.
Ada dorongan kuat untuk menelpon Papa sore itu saat berjalan pulang kantor menuju Oshiage-eki.
"Kei?"
"Pa, sepertinya Kei pengen pulang ke Indo sebentar," sapaku langsung begitu Papa menjawab sambungan telepon.
Papa tak segera menjawab. Sepertinya beliau sedang sibuk dengan sesuatu di sana. "Kapan?" Papa bertanya ketika suara di belakangnya sudah tidak terdengar lagi.
"Pertengahan Agustus."
Papa langsung mengucap syukur dengan semangat. "Bunda pasti senang sekali. Kei pulang ke rumah, kan?"
"Iya, Pa." Aku tersenyum, kebahagiaan itu nyata. Aku semakin merasa dicintai. "Cuma maaf, Kei langsung ke Jogja dari Cengkareng. Baru nanti setelah urusan Kei selesai, Kei baru pulang ke rumah."
"Langsung ke Jogja?" Papa terdengar bingung. Aku segera menjelaskan secara gamblang rencana yang sudah kususun pada Papa. Aku ingin Papa ikut terlibat dalam keputusan yang akan kuambil. Setidaknya beliau bisa memberikan saran dari sudut pandang orang tua.
"Kalau begitu, nanti biar Linkan hubungi kamu buat nyiapin semua yang diperlukan termasuk tiket."
"Nggak usah, Pa. Kei bisa sendiri kok."
"Sudahlah, Kei. Biarkan kali ini Papa yang mengurus kamu."
Aku mengalah. "Terima kasih, Pa."
Note:
(1) Salah satu tradisi masyarakat Jepang, memiliki arti menyambut kedatangan para arwah keluarga yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa di sekitar musim panas para arwah berkunjung ke bumi, oleh karena itu perlu dilakukan penyambutan.(2) Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon. Lamanya bervariasi, dari tiga sampai lima hari tergantung kebijakan perusahaan.
________________________
Dum dum dum ... La la la ... Kei mau mudik Maaaak!Salam pulkam,
A
03.05.2019
_________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...