Aku mencari tempat di teras balairung yang teduh dan sepi, lalu menarik lengan Binar yang tertutup kaus putih agar ikut duduk bersamaku. Binar menurut. Wajahnya menatap ke pelataran luas yang tidak terlalu ramai. Ia serius memperhatikan rombongan pesepeda antik yang menjajar rapi kendaraannya di depan tangga teras.
"Shirin itu pacar terakhirku." Aku mulai membuka suara.
"Kami berhubungan sekitar tiga tahun. Saat aku masih kuliah sampai sudah bekerja selama sekitar setahun. Hubungan kami tidak berjalan lebih lanjut karena ada hal yang kurasa timpang saat bersamanya."
Aku melirik Binar. Dia masih belum bereaksi. Aku lalu melanjutkan.
"Shirin ingin agar aku bekerja bersama Papa mengelola perusahaannya. Dia menganggap pekerjaanku sebagai karyawan tidak akan bisa membiayai hidupnya yang mewah. Sedangkan aku saat itu sedang berada pada titik ingin membuktikan kepada Papa jika bisa mandiri meskipun tanpa campur tangan beliau. Kami bertengkar hebat karena aku tetap bersikeras untuk mempertahankan pendirianku. Itu satu-satunya pertengkaran kami karena biasanya setiap berselisih, aku yang lebih banyak mengalah dan menurutinya."
Aku meringis mengenang saat itu.
"Jadi hubungan kami berakhir. Kami benar-benar berpisah, Nar," tegasku sembari melirik Binar. Aku tahu dia tetap menyimak meski pandangannya tetap acuh ke depan.
"Kami tidak pernah berhubungan lagi sampai ia mengajakku bertemu saat berlibur ke Tokyo. Shirin menyangka jika kehidupanku sekarang karena bergabung dengan Papa untuk mengelola perusahaannya. Dia tidak sadar jika aku masih tetap bekerja di perusahaanku yang dulu dia hina. Pertemuan kami di Ueno Park waktu itu memang karena Shirin ingin kami menjalin hubungan kembali, tapi aku dengan tegas menolaknya. Aku beranjak pergi untuk meninggalkan Shirin, tapi ia mengejarku dan tiba-tiba memelukku dari belakang. Saat itulah kamu datang dan mengira jika aku dan Shirin sedang bermesraan."
"Sebentar, Mas. Aku--" Binar berpaling ke arahku mencoba untuk menyela. Aku segera memberikan isyarat agar mendengarkanku selesai bicara.
"Kamu salah jika mengira bahwa aku masih tertarik dengan Shirin. Apa yang terjadi di antara kami sudah selesai. Sejak bertahun-tahun yang lalu." Aku berkata dengan tegas.
Binar menatapku lama, ia seperti akan mengatakan sesuatu sebelum aku potong lagi.
"Jadi kalau dia mengatakan sebaliknya, tolong kamu percaya padaku saja. She was delusional."
"Kenapa?" sela Binar.
Aku mengernyit.
"Kenapa Mas Varo tidak menyukai Kak Shirin? Dia cantik, menarik. Badannya bagus, langsing, tidak seperti badanku. Dengan body goals seperti itu wajar jika Kak Shirin jadi impian semua pria. Hanya pria bodoh yang tidak menyukai wanita seperti itu." Ada nada tak percaya diri dari kalimat yang terlontar dari bibir Binar.
Aku terhenyak.
"Aku tidak mencari kecantikan fisik, Nar," sanggahku cepat. "Percuma cantik fisik jika tidak bisa membahagiakanku. Aku lebih menyukai seseorang yang mempunyai kecantikan hati. Mungkin terdengar klise, tapi itu yang kurasakan."
Mataku menerawang, senyum lebar langsung menghias wajahku.
"Aku lebih menyukai gadis yang sanggup membuatku tersenyum setiap hari, yang bisa membuatku jadi diriku sendiri, yang menjadikanku manusia yang lebih baik dari kemarin, yang mau mengingatkanku saat aku khilaf, yang bisa memasak rendang kesukaanku meski tangannya harus kesundut panci, yang pintar sampai bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang, berkacamata, berhidung mancung, bermata lebar, berhijab, sering merajuk, kalau marah langsung menutup akses dari arah mana pun ...."
Aku menatap Binar lekat-lekat. Bahunya kutarik hingga menghadapku. Binar terperangah mendengar kalimatku. Wajahnya langsung merona merah.
"Mas, aku--"
"Sstt ...!" Aku menyuruhnya untuk diam. Bibirku terangkat sebelah melihat ia menurut dengan patuh. Good girl.
"Yang aroma tubuhnya seperti bayi baru mandi, yang bibirnya penuh dan menjadi favoritku selama aku mengenalnya hingga tak tahan ingin kucium sampai pingsan. Meski sekarang berat badannya menyusut banyak dibandingkan saat aku terakhir bertemu dengannya, tapi aku lebih suka postur dia yang dulu. Bagiku kecantikan fisik tidak ada artinya jika ia tidak punya kecantikan hati."
Jantungku mulai berdebar memandang wajah bersemu merah yang berjarak sangat dekat hingga aku bisa merasakan jika napasnya mulai pendek-pendek. Sebanyak apapun keinginanku untuk merasakan manisnya bibir Binar, aku harus teguh mengontrol diri. Aku sudah berjanji dalam hati untuk menghormati dan memuliakan gadis yang sudah kupinang meski belum secara resmi itu.
Pegangan tanganku di bahunya langsung kulepas ketika Binar mulai menunduk.
"Pandang mataku, Nar," pintaku pelan. Suaraku terdengar serak.
"Aku tidak akan menciummu di depan umum ..." janjiku, "entah jika nanti kita sudah berduaan."
Aku mencoba bercanda untuk memecah suasana yang sedikit canggung.
Binar tersenyum malu, tapi wajahnya diangkat hingga mata kami bertemu. Manik di balik lensa itu menyiratkan sejuta makna yang tak terucap, tapi sepertinya kali ini aku bisa mengartikannya dengan jelas. Benar jika mata adalah jendela hati, dari situ aku bisa melihat dengan jelas isi hati Binar.
Aku merasakan hatiku membuncah saat menyadari jika gadis di hadapanku ini memiliki perasaan yang sama sepertiku. Debaran di sana meningkat konstan. Aku tak peduli jika suaranya sampai terdengar oleh Binar. Seperti aku yang tak peduli jika kami terpergok oleh orang yang lewat, toh aku dan Binar hanya berbincang, tidak berbuat yang iya-iya.
"Jauh darimu merupakan siksaan berat buatku, Nar. Karena tampaknya hatiku sudah terpaut denganmu. Namun, jangan memaksaku mengucapkan kata cinta padamu."
Binar terperangah, wajahnya tampak bingung. Bibirnya terbuka sedikit. Aku bisa merasakan embusan napas pendeknya yang beraroma mint segar. Gedoran jantungku makin bertalu-talu. Namun tak ada keringat dingin yang keluar. Aku yakin dengan apa yang akan aku ucapkan, dan aku juga yakin jika Binar akan menerimanya.
"Itu sebabnya selama ini aku tidak pernah mengatakan apa-apa padamu. Karena aku sendiri tidak bisa mendefinisikan rasa apa yang ada di dalam hatiku," aku menatap matanya lekat-lekat.
Shoot it, Kei! She deserve to know that.
"Rasanya aku tidak pantas mengucapkan kata cinta kepadamu, Nar ..." aku menarik napas panjang, "karena yang kurasakan padamu lebih dari cinta ...."
__________________________
Nah, udah pada bisa napas lega kaaan?
Awas! Jangan baper, yak!Ternyata kemarin sayah eniverseri, dan ... lupa blas! Wkwkwk ... this part dedicated for you, love, kata terakhir dari Kei itu ucapan nyata yang pernah kamu sampaikan untukku. Dan aku meleleh karenanya ...
Salam melting,
A
10.05.2019
___________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...