Hanami di Sumida - 37. Way Out

963 122 13
                                    


"Mas, udah makan?" Aku membaca pesan Binar saat berjalan meninggalkan kantor menuju Oshiage eki. Aku tersenyum kecil. Aku sebenarnya kangen berat pada gadis itu. Sudah lima hari aku tidak bertemu dengannya. Sejak hari minggu kelabu itu, Binar menuruti titah bapaknya untuk tidak lagi datang ke apartemenku.

Sore itu aku mengantarnya kembali ke dorm, beberapa jam setelah bapaknya mengultimatum Binar agar segera meninggalkan apartemenku. Binar menolak langsung kuantar pulang sesaat setelah bapaknya menutup panggilan. Ia beralasan terburu-buru akan membuatnya tambah kesal, jadi dia mau diantar kembali ke dorm jika kesalnya sudah reda.

"Bapak cuma bilang aku nggak boleh ke sini lagi, kan?" ujar Binar dengan santai saat aku menutup gate lobi apartemen. Wajahnya sudah kembali ceria, berbalik seratus delapan puluh derajat dibandingkan saat bersitegang dengan bapaknya.

Aku terdiam, hanya bisa menghela napas panjang lalu melepaskannya pelan-pelan. Udara dingin sampai minus dua derajat celcius membuatku mengalungkan syal sampai menutup hidung. Sebenarnya dalam hati aku menyumpah-nyumpah tak setuju. Namun, aku tak mau membuatnya jadi anak pembangkang. Terserah kamu-lah, Nar!

Binar menoleh ke arahku sambil tersenyum lebar seperti tahu apa yang kupikirkan. "Ya udah, aku nggak mau dibilang anak durhaka. Jadi, aku nurut aja apa kata Bapak."

Crap!

Aku mendengus kesal. Dapat dibayangkan betapa sepinya hari-hariku jika tidak bisa bertemu lagi dengan Binar. Pulang kerja pasti sengaja lebih larut, tanpa disambut bau harum masakan Binar atau senyum manis berlesung di pipinya. Benar-benar menyebalkan!

Aku diam tak berkomentar, mengekor dengan malas di belakang Binar yang membuka langkah dengan semangat. Hujan salju sudah berhenti sejak semalam, menyisakan gundukan putih setebal atas mata kaki. Aku menunduk mengikuti bekas tapak Binar di salju tebal sepanjang jalan depan apartemen. Bekas sepatu Binar meninggalkan jejak yang dalam di tengah jalanan sepi.

Ketika mengangkat kepala, aku tertegun melihat gambar yang terbentang di depanku. Menampilkan sosok Binar dari belakang dalam coat biru selutut dan ber-beanie warna senada. Syal abu-abu mengalungi leher hingga tersampir melewati bahu. Punggungnya kukuh menggendong ransel biru dongker yang tidak tampak berat. Ditambah bekas pijak sepatunya menghasilkan tapak beralur memanjang di jalanan bersalju yang dilewati. Segera kuambil ponsel di dalam saku jaket, mencoba mengabadikan menggunakan kamera ponsel sebelum kehilangan momen. Profil seorang gadis berlatar belakang bangunan masif dan pohon meranggas tertutup salju, berhasil kutangkap dalam beberapa kali jepretan. Terlihat artistik, rugi jika dilewatkan.

"Nar! Tunggu!" seruku lantang. Seketika Binar menoleh. Aku memencet tombol capture sekali lagi. Menghasilkan foto gadis dengan latar belakang sama seperti sebelumnya, hanya saja sekarang wajahnya setengah berpaling ke belakang dengan bibir tak terkatup rapat.

"Ngapain sih, Mas?" balas Binar tak sabar. Langkahnya terhenti menungguku menyusulnya.

"Sebentar!" Aku mengetik di layar ponsel, lalu mengunggah dua foto yang paling bagus ke akun medosku. Aku memberi judul di masing-masing unggahan. "Tokyo girl after storm" untuk foto Binar yang terlihat dari belakang, dan "Keep looking forward, don't look back. It's only foot print left" untuk foto Binar yang sedang menoleh. Foto terakhir sengaja kuedit dengan nuansa hitam-putih. Makin menambah cantik hasil jepretanku.

"Lihat nih!" aku menunjukkan layar ponsel ke arah Binar saat menjajarinya.

"Whoaa...!" Binar terperanjat. Seketika ia berseru senang, "Kirim, Mas! Kirim!"

Aku tertawa kecil. "Lihat aja di medsosku."

"Yaah...."Binar terlihat kecewa. "Tandai aku di situ dong, Mas! Biar fotonya bisa kusimpan."

"Ogah!" tolakku cepat. Jelas aku hanya menggoda Binar, karena kedua foto paling bagus sudah kukirim ke nomornya sebelum aku mengunggah tadi.

Bibir favoritku itu mengetat. Tampak jelek dilihat. Aku tersenyum lebar.

"Udah kukirim kok." Aku tak tahan untuk tidak berterus terang.

"Ooh," Binar tersenyum malu.

"Ponselku ada di dalam ransel," senyum Binar semringah lalu menjajariku dengan semangat. "Terima kasih, Mas!"

Aku mengangguk seraya mengajaknya segera berlalu sebelum senja datang. "Yuk, Nar!"

Karena layanan kereta masih terbatas, kami memutuskan untuk naik bis yang mulai beroperasi normal. Saat menunggu di halte yang sempit, Binar menyeletuk pelan. "Kalau Bapak bilang aku nggak boleh lagi main ke apartemen Mas Varo, bukan berarti aku tidak bisa meminjam laptop Mas Varo di luar apartemen, kan, Mas?"

Aku serta-merta memandang wajah di sebelahku yang tengah mengukir senyum simpul. Pantas wajah Binar sudah berubah ceria lagi. Ternyata dia menemukan celah dari ultimatum bapaknya. Dia dilarang datang ke apartemenku, BUKAN tidak boleh bertemu dengan Keivaro Arkatama. Artinya aku masih bisa bertemu dengan Binar di luar apartemen. Saat itu juga aku ingin terbahak menertawakan kebodohanku.

Namun, setelah itu kami hanya sempat bertukar pesan singkat tanpa bisa bertemu sepulang kerja karena aku tidak bisa keluar kantor teng-go seperti sebelumnya. Bukan sengaja, tapi kebetulan sedang ada masalah engineering di plant belakang yang belum pernah kulami di plant Indonesia. Jadi, baru kemarin aku sempat menelepon Binar. Itu juga karena dia belum tidur, dan aku belum terlalu larut sampai di apartemen.

Binar bercerita, selama beberapa hari ini ia menghabiskan banyak waktu di student center dan perpustakaan kampus. Menurutnya hanya di dua tempat itu yang menyediakan komputer dengan keyboard latin. Dan gratis, tentu saja. Sepulang dari kuliah, ia langsung mendekam di mana saja di dua tempat itu yang antriannya paling sedikit. Menjelang gelap dia kembali lagi ke dorm. Walau sebenarnya ia lebih suka mengunjungi perpustakaan kampus, karena bisa sekalian mencari literatur untuk tugas-tugasnya.

Aku membalas pesan Binar saat menuruni eskalator menuju Oshiage eki di lantai basemen Tokyo Solamachi. "Belum," jawabku. "Baru mau turun eskalator di Solamachi. Nanti makan di Ueno saja."

"Berapa lama sampai Ueno?" balas Binar lagi.

"Sekarang otw pintu masuk stasiun. Paling setengah jam lagi. Kenapa?"

"Aku di Shinjuku. Mau lewat Ueno kalau boleh."

Aku langsung melirik penunjuk waktu di bagian atas layar ponselku. Pukul delapan. "Dari mana?" Segera aku membalas pesan Binar. "Ama siapa?"

"Barengan teman-teman penerima program beasiswa sepertiku. Tadi siang ada kunjungan ke kampus yang lain milik universitas. Trus pulangnya sekalian jalan-jalan di sekitar Shinjuku."

Aku langsung berpikir cepat. Jika aku sampai Ueno setengah jam lagi, kasihan Binar bisa kemalaman sampai dorm.

"Nggak usah, Nar. Kamu langsung balik aja dengan temen-temenmu. Besok aku ke dorm."

"Oke." Binar menjawab patuh.

Aku lalu memasukkan ponsel di saku. Bagaimanapun juga, aku tidak mau membuat Binar kesulitan. Harusnya aku yang repot mengurusinya, bukan sebaliknya.

 Harusnya aku yang repot mengurusinya, bukan sebaliknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________________________
Nah gitu dunks, Kei! Suip!

Salam election day,
A
17.04.2019
___________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang