Hanami di Sumida - 54. Pulang ke Kotamu

939 126 40
                                    

Bandara Adi Sucipto di waktu malam masih terlihat ramai. Hiruk pikuk oleh hilir mudik penumpang pesawat yang baru mendarat maupun yang akan berangkat ke tempat tujuan. Deretan toko oleh-oleh, resto, dan agen perjalanan rapi menyambut penumpang di lobi terminal kedatangan. Suasananya jauh berbeda seperti saat aku kuliah beberapa tahun lalu. Tak menyangka jika ternyata aku kembali ke kota ini lagi demi sebuah masa depan yang lain. Benakku menyenandungkan lirik lagu Yogyakarta yang melegenda itu. Binar, aku kini pulang ke kotamu dengan setangkup haru dalam rindu.

Meski capek aku sempatkan untuk mampir ngangkring(1) sebentar, seperti saat kuliah dulu. Menuntaskan kerinduan akan atmosfer Jogja di waktu malam. Merasai suasana hangat di pantaran trotoar dekat hotel bintang lima yang dipesan oleh Linkan, Personal Assistant Papa yang mengurus semua tetek bengekku selama pulang ke Indonesia.

Aku duduk bersila beralas tikar plastik sambil mendengarkan suara pengamen jalanan datang silih berganti. Ditemani dengan seduhan kopi kaki lima, beberapa bungkus sego kucing, aneka lauk yang ditusuk seperti sate, dan beberapa batang rokok. Mengisap batang nikotin sewaktu-waktu tanpa harus celingukan mencari tempat bertuliskan smoking area sungguh merupakan suatu kenikmatan yang tak terhingga. Bebas merdeka. Tidak ada lagi orang membungkuk hormat menyapa dengan sapaan sumimasen, ohayou gozaimasu, konnichiwa, arigatou, dan teman-temannya. Yang ada hanya, ngersakne dhahar nopo(2)?, badhe ngunjuk nopo(3)?, atau nyuwun sewu(4), dan sebangsanya. Benar kata Mas Katon Bagaskara, tiap sudut kota ikut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna.

-*-

Rasa penat setelah menempuh perjalanan jauh Tokyo - Jogja, disela dengan transit selama dua jam di Cengkareng akhirnya membuatku semalam tidur seperti balok kayu.

Aku melirik jam di tangan kananku, baru pukul tujuh pagi. Aku melepaskan napas tertahan, jantungku mulai berdebar kencang. Dengan gugup aku mematikan mesin mobil di depan sebuah rumah bercat putih aksen abu-abu berhalaman luas. Rumah bergaya lama itu terlihat sepi. Mobil MPV sejuta umat warna silver dan dua buah sepeda motor matik terparkir di garasi. Cukup mentereng untuk ukuran keluarga seorang kepala sekolah SD Negeri di Jogja.

GPS juga kumatikan ketika yakin bahwa rumah ini sesuai seperti yang diinformasikan Khawla. Aku memasukkan ponsel ke saku kemeja. Beberapa tentengan ikut kubawa turun sebagai buah tangan. Tidak salah jika Papa selalu mengandalkan Linkan. Bahkan buah tangan untuk keluarga Binar juga sudah disiapkannya.

Pagar terbuka lebar, pintu depan juga. Bahkan pintu garasi juga tidak tertutup. Aku mengetuk daun pintu beberapa kali sambil mengucap salam, tapi tidak juga terdengar sahutan dari dalam rumah. Aku berdiri dengan cemas di teras kecil yang penuh dengan tanaman dalam pot. Tampaknya penghuni rumah senang merawat tanaman. Halaman rumah Binar juga penuh dengan pepohonan. Terlihat teduh dan asri.

Seorang pria muda berwajah tampan berbadan tinggi besar akhirnya muncul dari ambang kayu bertirai kotak-kotak warna kuning cerah yang memisahkan ruang tamu dengan ruang di baliknya.

"Waalaikumsalaam ... ya?" balas pria muda itu. Wajahnya terlihat ramah, tapi penuh selidik.

Aku berdeham meredakan gugup yang masih mengiringiku. "Maaf, apakah benar ini rumah Binar Ramadania?" tanyaku sopan. Gemuruh di dadaku tak mau pergi. Aku merasakan telapak tanganku berkeringat.

Sial!

Aku merasakan adrenalinku mengalir deras.

"Iya, benar." Wajah pria muda itu masih penuh dengan tanya. Aku dan pria muda itu berdiri berhadapan di ambang pintu. Kulitnya putih seperti Binar, tingginya hampir sama denganku, tapi perawakannya lebih kurus.

"Saya Keivaro. Teman Binar dari Tokyo. Binar ada, Mas?" Aku berkata sambil mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman.

"Binar tidak ada!"

Aku terkejut ketika wajah pria muda itu seketika berubah sengit. Matanya menyala. Uluran tanganku tidak disambutnya. Tangannya seketika mengepal. Belum sempat aku sadar akan apa yang terjadi, rasa panas menjalar di pipi kiriku. Badanku terhuyung ke belakang. Pandanganku gelap, telingaku berdenging. Tentengan yang aku bawa sontak jatuh terburai. Reflek aku menahan tinju yang sukses menempel di wajah dengan tangan kiriku lalu berusaha sekuat tenaga agar tidak terjengkang. Tangan kananku otomatis terkepal mencoba menangkis serangan yang lain. Aku mengerjapkan mata. Adrenalin membanjir sampai ke ubun-ubun.

Akal sehatku menahan dengan keras agar aku tidak membalas serangan tiba-tiba dari pria muda itu. Aku segera mencengkeram erat pergelangan tangan kanannya, memuntirnya keras, lalu mengunci ke belakang punggungnya. Pria itu meronta kuat. Badan kami serentak ambruk menabrak daun pintu sehingga menimbulkan suara benturan keras antara kayu beradu dengan tembok.

Brak!

Suara ribut-ribut di ruang tamu mengundang penghuni rumah yang lain tergopoh-gopoh muncul dari balik tirai. Dua pasang wajah tua menatap kami dengan penuh kengerian.

"Gusti Allah!!"

"Astaghfirullah! Hentikan!!"

"Astaghfirullah! Hentikan!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note:

(1) Menikmati angkringan; angkringan adalah alat dan tempat jualan makanan dengan menggunakan pikulan berbentuk melengkung ke atas (gerobak makanan dan minuman keliling).
(2) Ingin makan apa, Mas?
(3) Mau minum apa?
(4) Permisi
________________________
Ouch!

Salam upper cut di pagi hari,
A
04.05.2019
_________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang