Hanami di Sumida -25. Kilas Kenangan

1K 126 16
                                    

Apakah kehilangan yang begitu besar membuat seseorang harus bergegas mencari penggantinya?

(Keivaro Arkatama)

~•~

Aku menatap Papa dengan sengit. Tak kusangka, belum genap dua tahun Mama meninggal Papa sudah berencana untuk mencari pengganti Mama. Bukan hanya mencari! Papa bahkan sudah berniat menikahinya bulan depan.

"Kei nggak setuju Papa menikah lagi!"

"Tante Wirda itu wanita baik-baik, Kei. Kamu akan menemukan sosok Mama di dalam dirinya. Dia bukan ibu tiri seperti yang ada di dalam bayanganmu," jelas Papa. Nada bicaranya tetap tegas, tapi masih terdengar sabar. Aku tahu, Papa sedang dalam misi untuk mengambil hatiku. Beliau pasti sedang berusaha keras agar tidak naik darah, demi memenangkan pertarungan.

"Dia teman Papa saat kuliah. Janda tanpa anak. Kami baru saja dekat baru-baru ini. Bukan jauh sejak Mama masih ada jika itu yang kamu sangkakan."

Aku tidak kaget jika Papa bisa menebak jalan pikiranku. Selama ini aku memang tiruan dirinya. Itu sebabnya Mama dulu sering kerepotan menghadapi dua orang di rumah yang mempunyai sifat dan karakter sama.

"Kei tidak menyangka Papa tega mengganti posisi Mama dengan orang lain," tegasku. Seumur hidup, baru kali ini aku merasa dikhianati.

"Papa tidak pernah berniat mengganti Mama, Kei." Suara Papa terdengar seakan meminta pengertianku. "Papa hanya ingin kembali menjalani hidup yang tersisa ini dengan tenang. Selama ditinggal Mama, Papa merasa kesepian. Tidak ada lagi tempat untuk berbagi. Kamu juga tidak punya seseorang untuk tempat bermanja. Papa merasa kita berdua akan kembali bahagia dengan kehadiran Tante Wirda di tengah keluarga kita."

"KEI NGGAK MANJA!"

"Oke, Kei nggak manja. Maafkan Papa." Papa segera meralat ucapannya. Aku merasa seperti anak berumur sepuluh tahun yang sedang merajuk.

"Sejak Mama meninggal, kamu juga tidak punya tempat untuk berbagi. Tidak seperti saat Mama masih hadir di tengah kita. Kamu juga jarang pulang ke rumah, tidak pernah lagi mengobrol lama dengan Papa. Papa merasa semakin jauh dengan kamu, Kei. Papa kesepian." Papa menarik napas panjang. Raut mukanya terlihat sedih.

Aku tak tahu jika rasa kehilangan yang begitu besar bisa membuat orang bergegas mencari penggantinya. Aku pikir Papa akan selamanya menyimpan nama Mama di hatinya. Dan tidak akan pernah mengijinkan yang lain masuk ke sana.

"Lalu Papa bertemu dengan Tante Wirda setelah belasan tahun kami tidak pernah saling tahu kabar masing-masing. Tante Wirda sudah lama bercerai dengan suaminya karena beliau tidak bisa memberikan keturunan. Kami menjadi cocok dan dekat. Beberapa kali Papa ingin mengenalkan kamu, tapi sepertinya kamu selalu sibuk dengan kuliah dan kegiatanmu di Jogja. Mumpung sekarang kamu ada di rumah, nanti sore Papa akan mengajak ke rumah Tante Wirda."

Aku terpekur menatap langit-langit ruang duduk. Lampu kristal kesayangan Mama masih tergantung dengan angkuh di sana. Ruang ini, bahkan seluruh perabot di sudut rumah ini tidak ada satu pun yang berubah. Masih tetap seperti terakhir kali Mama ada di sini. Hanya Mbak Harti dan Pak Dudung, suaminya yang selalu setia membersihkan dan merawat rumah ini, sampai sekarang.

"Tak kenal maka tak sayang, Kei," bujuk Papa. "Percayalah. Kamu akan mencintai Tante Wirda seperti kamu mencintai Mama," pungkas Papa meyakinkanku. Final.

Tak ada yang bisa kuperbuat. Toh, untuk menikahi Tante Wirda, Papa tidak perlu restuku. Berita yang disampaikan Papa hanya bersifat pengumuman, bukan permintaan persetujuan. Hal itu membuat hatiku yang sudah berlubang sejak ditinggal Mama, makin menganga lebar. Menambah luas ruang kosong di sana. Bahkan sampai aku mengenal Shirin tak lama setelah itu, dan menjalin hubungan dengannya sampai bertahun-tahun kemudian. Hatiku tetap terasa hambar, tak sedikit pun kembali seperti semula.

Suara khas wanita yang mengumumkan pemberhentian selanjutnya di stasiun Asakusa membuyarkan kilasan kenangan di pikiranku. Aku menepak pelan lengan Binar yang berdiri kaku di sebelahku, mengajaknya bersiap turun dari kereta yang membawa kami dari stasiun Akihabara.

Sejak meninggalkan toko servis tadi Binar sudah diam membisu. Matanya berkabut, wajahnya menegang, dan bibir favoritku itu kini terkatup rapat. Kaku seperti papan setrikaan. Ia juga lebih banyak menundukkan kepala, tak peduli pada sekitarnya. Beberapa kali Binar menarik napas panjang. Aku juga sengaja tak mengajaknya berbincang. Takut jika salah bicara, ia akan menumpahkan emosinya seketika, lalu menangis sepanjang jalan. Aku tak biasa menghadapi gadis emosional seperti sekarang. Jadi kubiarkan saja ia tenggelam dalam pikirannya. Aku akan mengalihkan perhatiannya nanti, saat kesedihannya sedikit mereda.

"Turun, ya?" ucapanku terdengar lebih sebagai sebuah perintah, bukan pertanyaan.

Binar tak menjawab. Namun aku melihat kedua alisnya terangkat dan ujung bibirnya terangkat tipis. Ia mengekor dengan patuh, memegang erat ranselku sambil berjalan keluar dari gerbong kereta yang penuh sesak.

Meski ramai, tak nampak satu pun penumpang saling mendorong keluar stasiun. Semua serba tertib dan teratur. Aku masih merasakan Binar memegang ranselku, dan baru dilepas ketika kami berada di luar stasiun. Masih dalam diam kami berjalan bersisian menuju Azumabashi Bridge di dekat Sumida Park. Aku melirik Tokyo Skytree yang menjulang dengan gagah.

Dari kejauhan tampak berada dalam satu bidang dengan gedung Asahi berarsitektur unik seperti tanduk emas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari kejauhan tampak berada dalam satu bidang dengan gedung Asahi berarsitektur unik seperti tanduk emas. Menjadi latar belakang Sumida Park jika dilihat dari posisiku saat ini. Taman sepanjang Sumida River saat musim dingin berhiaskan barisan pohon sakura berwarna abu-abu gelap yang sedang meranggas. Bagaikan memahami suasana hati gadis yang masih belum juga mengeluarkan suara itu.

Langkah Binar terhenti ketika aku berjalan menuju tangga turun yang agak tersembunyi ke sebuah basemen berpagar besi yang terbuka.

"Mau ngapain, Mas?" spontan Binar bertanya dengan nada curiga.

____________________________Dibalik wajah tengil itu ternyata kamu menyimpan banyak perih, Kei

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________________________
Dibalik wajah tengil itu ternyata kamu menyimpan banyak perih, Kei.

Lalu, Binar mau dibawa kemana? Jadi penasaran ... wait next chap yak?! Arigatou!

Salam Sumida River,
A
06.04.2019
____________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang