Hanami di Sumida - 35. Letting Go

1K 139 27
                                    

Selamat hari senin all,

Semoga semua hal lwarbyasah terlimpah buat sobats Arundra ... aamiin

Jangan lupa vote dan comment nya yaa, supaya terus semangat untuk update KeiNar setiap hari.

Thank you all

Bunch of ❤
A

~•~•~•~•~•~•~•~•~

Aku tersenyum melihatnya masih serius menyimak. "Minggu lalu saat beliau bercerita tentang Mama kepadamu, tentang masa kecilku, aku memperhatikan Papa bercerita dengan semangat. Seperti kenangan itu sangat berharga untuknya. Aku jadi sadar jika Papa tidak akan pernah melupakan Mama. Beliau juga tetap perhatian kepadaku meski ada Bunda Wirda yang menemani kesehariannya. Bahkan Papa masih menyempatkan diri untuk menengokku di sini, meski sebenarnya beliau punya urusan yang lebih penting di Osaka. Padahal bisa saja beliau langsung ke Osaka, bukan? Lebih praktis. Tak perlu membuang waktu mampir ke Tokyo."

Aku meringis memandang Binar. "Tak ada yang berubah, Nar. Papa tetap menyayangiku. Aku merasa tidak adil bagi Papa jika aku terus menerus menjauh."

"Hmmm ...." Binar berkata dengan hati-hati, "Memang tidak baik menyimpan amarah di dalam hati terlalu lama. Bisa jadi penyakit. Lebih baik merelakan, lalu melupakan. Memang susah. Tapi harus dicoba," kata Binar sambil tersenyum. "Tunggu saja, Mas. Saat Mas Varo sudah bisa membuang rasa marah itu, Mas akan dapat reward yang tak terduga."

"Maksudnya?"

Binar tak menjawab. Ia malah bangkit dari duduk. "Mau aku buatin cokelat panas?" tanya Binar mengubah topik.

Aku bersyukur karena Binar merasa nyaman berada di sini. Ia tampaknya sudah menganggap apartemen ini seperti rumahnya sendiri. Padahal sebagai tuan rumah seharusnya aku yang melayaninya. Ini terbalik, ia malah dengan sukarela melayaniku. Dari memasak sampai bersih-bersih rumah--meski diam-diam, ia ikut turun tangan tanpa diminta.

Tak urung aku mengangguk menerima tawarannya. "Boleh."

Binar mengambil mug di rak piring. Ia menyiapkan dua buah cokelat panas dengan cekatan. Sama cekatannya seperti saat memasak untuk makan siang kami tadi. Seolah-olah bekas kesundut di tangan kirinya tidak berarti apa-apa.

"Mungkin konteksnya beda, tapi sepertinya intinya sama. Letting go." Binar mengangsurkan mug di tangan kanannya. Dia kembali duduk bersila di meja seberangku kemudian menyesap cokelatnya pelan-pelan.

Gantian aku yang menyimak Binar dengan saksama.

"Aku memang tidak pernah punya masalah seberat Mas Varo. Hidupku juga datar-datar saja. Yang menjengkelkanku juga standar saja, bukan sesuatu yang pelik. Paling banter aku hanya marah pada kakak-kakakku." Raut muka Binar menjadi berseri saat ia menyinggung tentang saudaranya.

"Sejak kecil aku selalu diajarkan oleh Ibu agar memaafkan kakak-kakakku saat mereka berbuat nakal kepadaku. Rasanya memang menjengkelkan. Kesal, marah, dendam, ingin aku simpan dalam hati. Ibu terus meyakinkanku, jika aku mau melepaskan rasa marah itu, aku akan mendapat "hadiah". Hidupku akan indah. Saat itu aku tak paham maksud Ibu." Binar tersenyum melirikku.

Uap panas dari dalam mug membuat kacamatanya berembun. Binar lalu melepas kacamatanya dan mengusap dengan selembar tisu dari kotak di depannya.

"Jadi meski mereka sering menggangguku, tapi Ibu selalu menyuruhku tetap bermain bersama mereka. Aku menurut. Kami kembali bermain bersama, lalu tak lama berantem lagi. Adalah hal yang lumrah di rumah jika aku pulang dari bermain sambil menangis. Berulang seperti itu. Semakin beranjak besar hubungan kami berubah menjadi lebih akrab. Mereka yang dulunya sering menggangguku ternyata menjadi pelindungku nomor satu. Menjagaku dari anak-anak nakal yang ingin menggangguku di sekolah."

"Memangnya dulu kamu sering diganggu di sekolah?" Aku tersenyum membayangkan Binar semasa kanak-kanak. Anak kecil berparas ayu dan berbadan gemuk. Muka chubby-nya pasti terlihat lucu dan menggemaskan.

Binar mengangguk. "Mas bisa bayangkan, badanku paling besar diantara anak perempuan lainnya. Jelas aku jadi sasaran empuk anak-anak yang ingin menggangguku. Dan ternyata kakak-kakakku menjadi barisan terdepan yang melindungiku dari para pem-bully. Coba jika hubunganku tidak dekat dengan mereka?" Binar meringis, cuping hidung mancungnya berkerut. "Mungkin mereka tidak akan mau membelaku. Dan hubungan kami sampai sekarang tidak akan sedekat ini."

Binar tertawa kecil. "Aku akhirnya mengerti maksud Ibu. Hadiah terbesar bagiku saat memaafkan kenakalan mereka adalah hubungan persaudaraan yang kuat."

Binar tersenyum lebar mengenang masa kecilnya. Aku senang melihatnya begitu akrab dengan saudara kandungnya. Membuatku sedikit iri pada kedekatan mereka. Baru sekarang aku menyadari jika ternyata menjadi anak tunggal itu terasa sepi. Aku jadi ingat perkataan Nagata bertahun-tahun yang lalu di panti asuhan Kasih Ibu. Seharusnya aku bersyukur masih punya Papa, karena banyak adik-adik di panti itu yang tidak seberuntung aku. Aku merasa bersalah sudah menyia-nyiakan kesempatan yang masih diberikan kepadaku.

"Kata Mas, Bunda Wirda tidak punya putra?" celutuk Binar.

Aku mengangguk. "Iya. Menurut Papa, Bunda Wirda tak bisa punya keturunan. Karena itulah beliau bercerai dengan suaminya terdahulu."

Wajah Binar kembali berubah sendu. Aku perhatikan, jika ceritaku terdengar menyedihkan, wajah Binar akan berubah sedih. Dia seperti ikut merasakan perih yang aku rasakan. Namun jika aku bercerita tentang pekerjaanku--misalnya--seperti saat bersepeda melewati kantorku waktu itu, wajahnya akan berubah menjadi antusias. Seperti ikut merasakan kegembiraanku.

Hatiku menghangat menyadari jika gadis belia ini ternyata bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan. Tidak sedikitpun mencela atau pun menggurui.

Ternyata Papa benar. Saat aku sudah menaruh kepercayaan kepada seseorang, tanpa sadar aku bercerita banyak hal, dan mencurahkan semua ganjalan. Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun yang lalu, aku merasa sangat lega.

Luar biasa.

____________________________I am happy if you're happy, Kei

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____________________________
I am happy if you're happy, Kei....
Namun jangan lupa, life is never flat.
Waktu yang paling perlu diwaspadai adalah saat segala sesuatu berjalan seperti yang kamu inginkan.

Salam lega,
A
15.04.2019
____________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang