Sontak kedua bola matanya langsung terbeliak. Tangannya terlepas dari lengan kursi lalu buru-buru meraih headset di pangkuannya.
"Sorry, bercanda." Aku tersenyum lebar dan segera mengulurkan tangan. "Namaku Varo. Kamu?"
"Eh," wajahnya bersemu, tapi kemudian menjawab sambil membalas uluran tanganku, "Binar."
Tangannya terasa dingin.
"Kalau takut terbang kenapa traveling?"
Binar tak menjawab, ia sibuk membenarkan posisi headset di kepalanya. "Masih kedengeran, ya?" ujarnya spontan.
"Iya, masih. Volumenya nggak disetel kenceng."
Tampilan layar sudah berganti. Pesawat mulai bersiap di runway. Aku melepas headset-ku lalu memperhatikan wajahnya yang masih terlihat tegang. Binar tampak jengah lalu menunduk. Namun, matanya sudah tidak dipejamkan lagi. Bagus.
"Terpaksa. Aku dapat beasiswa kuliah di Tokyo," Binar menjawab pertanyaan yang sudah kulupakan. "Pertukaran pelajar setahun."
"Kuliah dimana?"
"Jogja." Ia melepas headset-nya.
"Usaha Gedung Manten?" tebakku. Joke anak Jogja dalam memberikan istilah pada kampus biru.
Binar tertawa. Lesung pipinya terlihat. "Kok tahu?"
"Almamater."
"Oh, yaaaa?" suaranya berubah menjadi antusias. Ketegangan mulai berkurang dari wajahnya. "Njupuk(1) jurusan opo, Mas?"
Jiah, keluar deh Jawanya. Aku tertawa. "Mesin."
"Wah, anak teknik ya. Keren!" puji Binar. "Lulus tahun berapa?"
"Udah lama. Sekitar tujuh tahun yang lalu."
Matanya terbelalak, "Wiiih, wis suwi(2)."
Aku mengangguk, lampu kabin mulai diredupkan tanda pesawat sudah siap lepas landas. Badan Binar menegang. Tangannya kembali mencengkeram lengan kursi.
"Coba lihat keluar." Aku menunjuk ke arah jendela di sampingnya.
"Wegah(3)!" Binar menjawab dengan cepat. Kepalanya menggeleng kuat. Meski begitu matanya tidak terpejam erat seperti sebelumnya.
"Bagus, Nar. Kamu akan lihat bahwa naik pesawat itu tidak semenakutkan yang kamu kira. Apalagi saat take off malam hari. Pemandangannya breathtaking. Cantik."
Begitu pilot mengumumkan aba-aba mulai take off, Binar serta-merta meraih lenganku sebagai pegangannya.
"Bernapas lewat hidung," kataku menenangkannya. "Keluarkan lewat mulut."
Gadis itu menurut. Hidung mbangir-nya mengembang kempis bergantian dengan embusan napas dari bibirnya yang sedikit terbuka.
"Lalu lihatlah keluar. Lupakan pesawatnya. Fokus pada jejak yang ditinggalkan. Jika kamu melihat ada keindahan di sana, pasti perjalananmu akan menyenangkan."
Binar menurutiku dengan patuh. Kepalanya menoleh ke kanan tapi tangannya masih erat mencengkeram lenganku bahkan makin erat saat perlahan-lahan burung besi menaikkan kecepatannya dan mulai lepas landas.
"Lihat lampu-lampu itu. Berbinar seperti namamu."
Entah apa yang terjadi, tapi aku merasa bahwa cengkeraman di lenganku mulai berkurang. Lampu-lampu kota yang menyala, kerlip lampu mobil yang berjalan, lampu-lampu di gedung-gedung tinggi perlahan menjauh, membentuk lukisan indah pemandangan Jakarta dari ketinggian.
"Masya Allah!" bisik Binar. "Indah sekali."
Aku mengangguk. "Itu sebabnya aku lebih suka terbang pada malam hari. Pemandangan yang ditinggalkan tiada duanya. It's beauty is only seen when we went away."
"Dari yang aku baca disebutkan bahwa saat kritis suatu pesawat adalah tiga menit saat lepas landas dan delapan menit saat landing karena delapan puluh persen kecelakaan pesawat terjadi dalam rentang waktu sebelas menit tersebut," terang Binar.
"Critical eleven."
Binar mengangguk.
"Itu yang bikin kamu takut naik pesawat?" tanyaku. Kepalanya kembali bergerak naik turun. "Setiap kamu naik pesawat ingat saja pesanku. Juga nanti saat mulai landing. Fokus pada apa yang akan kamu tuju, bukan pada pesawatnya. Jika kamu melihat ada harapan di sana, berarti perjalananmu pasti menyenangkan. "
"Begitu, ya?" Binar termangu. Matanya masih tidak lepas dari jendela pesawat.
Aku tersentak dan segera memejamkan mata ketika tiba-tiba setangkup rasa haru menyeruak masuk tanpa permisi ke dalam dada. Sebuah memori berkelebat menampilkan kenangan seorang ibu berwajah teduh sedang menenangkan anak laki-laki berumur lima tahun yang ketakutan naik pesawat terbang untuk pertama kalinya. Ibu itu membiarkan anak laki-laki kesayangannya mencengkeram lengannya sebagai penawar rasa takut, membisikkan kata-kata ajaib mengenai jejak dan harapan, persis seperti yang tadi kusampaikan pada Binar.
Ganti aku yang termangu menatap Binar yang masih terpesona dengan pemandangan di luar jendela pesawat. Dearest Mama di surga, ternyata aku berhasil menularkan petuahmu pada satu orang asing yang takut naik pesawat terbang, seperti aku dua puluh tiga tahun yang lalu.
Note:
(1) Ambil
(2) Sudah lama
(3) Tidak mau____________________________________
Enjoy the story!
A
18.03.2019
____________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...