Saat kalimat terakhirnya selesai terucap, Binar langsung berbalik tanpa menoleh lagi. Aku hanya tertegun penuh penyesalan. Menatap kepergiannya dengan lunglai. Bodoh! Lihat akibatnya jika sok-sok jadi sahabat. Kini kalimat itu malah berbalik menusukku. Badanku lemas, seperti tercabut semua tulang-tulang dalam tubuhku.
Dengan langkah gontai aku kembali ke apartemen berharap bisa bercerita kepada Nagata. Namun, hanya untuk menemukan apartemen yang kosong. Aku ingin menelepon Nagata, tapi segera kuurungkan. Lebih baik aku menyelesaikan masalahku sendiri sebelum meminta bantuan Nagata.
"Ramadania."
"Binar."
"Binar."
"Nar."
Hanya tanda centang satu dari semua pesan yang kukirim. Aku kemudian mencoba menelpon. Senyap. Tak ada nada sambung. Aku bergegas meninggalkan apartemen untuk menyusul Binar.
-*-
"Sebentar lagi program beasiswaku selesai, Mas." Sore itu kami sedang menyantap sashimi di Asakusa. Sejak aku bujuk untuk mencoba di kedai sashimi Pasar Tsukiji waktu itu, Binar mulai jadi my sashimi mate seperti Nagata. Walaupun masih terbatas, karena ia hanya menyukai daging ikan salmon saja. Menurut Binar hanya daging berwarna oranye cerah itu yang paling enak di antara semua daging ikan yang biasa dinikmati sebagai sashimi. Manis sekaligus lembut, tidak amis sama sekali.
Aku tersentak. Tak menyangka bakal berpisah dengan Binar tak lama lagi. Tatapan tak relaku segera mengarah pada gadis dengan kepala tertunduk di depanku. "Kapan?"
"Sekitar pertengahan musim panas." Binar menjawab pelan. Ia hanya membolak-balik daging yang disumpitnya. Tak juga dicocolkan ke dalam saus, apalagi disuapkan ke mulut. "Berarti akhir bulan depan."
"Pulang ke Indo-nya kapan?" Level suaraku sedikit meninggi, mencoba mengalahkan suara hujan deras yang terdengar masuk ke dalam resto saat ada orang membuka pintu. Intensitas hujan mulai sering terjadi beberapa hari belakangan ini. Saat memasuki musim panas, semua wilayah di Jepang termasuk Tokyo juga mengalami tyusu (1). Biasanya dimulai pada awal Juni sampai dengan akhir Juli.
Binar menunggu pintu resto di dekat kami duduk tertutup, lalu menjawab, "Aku belum tahu kapan pastinya. Tiketnya sedang diurus oleh koordinator beasiswa."
Aku menghela napas panjang. Selera makanku seketika menguap. Tumpukan daging ikan segar yang biasanya mampu membuatku melupakan sekitar tampak tak menarik lagi. Resto yang diramaikan oleh suara pengunjung di tengah suara derai hujan mendadak terdengar hening di telingaku. Aku benci suasana seperti ini. Seperti kembali pada saat Binar belum masuk ke kehidupanku. Feeling lonely in crowd.
Kepala Binar terangkat. Matanya menerawang jauh. "I'm gonna miss this city so much," bisiknya lirih.
Aku terdiam. Menatap wajahnya dalam-dalam. "And I will miss you more than you know." Kalimat itu tertelan begitu saja di tenggorokanku. Batal terucap.
-*-
Matahari sudah kembali ke peraduannya sejak satu jam yang lalu. Aku ingin menendang sesuatu, tapi tak ada satu pun benda yang ada di depanku bisa dijadikan sasaran kekesalan. Bersih. Bahkan kerikil pun tak terlihat berserakan seakan takut menjadi obyek penderita. Yang ada hanya tiang lampu taman yang berdiri kaku di dekat tempatku duduk. Lagipula tak mungkin aku menendang tiang. Bisa-bisa aku malah masuk rumah sakit karena retak tulang kaki.
Sudah dua jam lamanya aku menunggu Binar seperti orang bego. Berharap keberuntungan berpihak kepadaku dan menemukan sosoknya di sana. Pesanku tetap tak terkirim. Sepi. Semilir angin pun tak berani lewat. Aku menyerah. Tubuhku mulai terasa letih setelah emosiku terkuras habis sore tadi. Taman kecil yang terlihat terang benderang dengan lampu hias di setiap sudutnya tak mampu menerangi gelap di dalam hatiku. Dadaku sesak ingin berteriak, tapi tak mampu. Berjuta kalimat seandainya berkecamuk di benakku. Seandainya aku tidak memenuhi keinginan Shirin untuk bertemu, seandainya aku tidak mengusulkan pertemuan di Ueno Park, seandainya Shirin tidak menggila, seandainya Binar mau mendengarkan penjelasanku, dan seandainya yang lain yang bisa mencegah Binar mendiamkanku seperti sekarang.
Sejak tadi aku tergoda ingin masuk ke dalam dorm, tapi mau ke mana? Aku tak tahu di mana letak kamar Binar. Tidak mungkin kuketok satu demi satu setiap pintu kamar yang ada di dalam bangunan berlantai lima yang kuperkirakan terdapat dua puluh sampai tiga puluhan kamar per lantainya. Mau tanya juga ke siapa? Aku tak mengenal satu pun teman Binar.
Double crap!
"Binar." Aku berusaha sekali lagi mengirimkan pesan. "Aku masih ada di depan dorm. Please, we need to talk." Tak peduli jika aku harus meratap, memohon, merayu, apa pun asal Binar mau bertemu denganku. Namun semua sia-sia. Binar tetap membisu.
-*-
Suara dering alarm dari ponsel membangunkan tidurku tepat jam dua pagi. Perasaan baru saja aku terlelap, tapi alarm sudah berbunyi. Meski terasa berat tapi aku memaksa bangun sebelum subuh datang. Waktu subuh di musim panas datang lebih cepat, sekitar pukul tiga pagi. Sedangkan Magrib datang lebih lambat sekitar pukul tujuh malam. Hal itu disebabkan karena di musim panas matahari bersinar lebih lama, sekitar enam belas jam sehari.
Sudah dua minggu Binar tidak terdengar kabar beritanya. Bagaikan lenyap ditelan Kanagawa-oki nami ura(2). Setiap malam aku selalu mencoba menghubunginya, tapi nihil. Pesan-pesanku tak terkirim. Media sosialnya juga sunyi. Tak sekali pun ia terlihat daring sejak Drama Sabtu Sore di Ueno Park. Saat di kantor aku tidak terlalu memikirkannya. Banyak teralihkan oleh tumpukan pekerjaan yang bejibun. Namun saat aku sendirian di kamar, rasa kehilangan itu langsung terasa. Seperti akar tanaman yang tertancap kuat di dalam tanah, tiba-tiba tercerabut dengan paksa. Meninggalkan bekas cukup dalam pada bagian tanah yang ditinggalkan.
Aku teringat saat mencoba menelepon Khawla, sehari setelah kejadian Binar memergokiku dengan Shirin. Kukira Khawla bisa sedikit membantuku untuk meluluhkan hati Binar.
"La-"
Belum sempat aku bicara, Khawla sudah memotong. "Gue benci lo, Bang Kei! Benci banget!"
Lalu sambungan telepon ditutup kasar.
Note:
(1) Musim hujan
(2) Great Wave off Kanagawa, atau Ombak Besar di Kanagawa. Sejatinya adalah sebuah karya seniman Jepang, Katsushika . Karya tersebut adalah karya paling terkenal buatan Hokusai, dan salah satu karya paling terkenal dalam seni rupa Jepang di dunia.
________________________
Udah mulai tersiksa, Kei? Masih kurang ga?
Jangan lupa vote dan comment-nya ditunggu, sobats.
Biar makin semangat nyiksa Kei-nya. Hehehe...Salam kesel ama Kei,
A
28.04.2019
________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...