Aku kemudian bercerita secara singkat pertemananku dengan Binar, hubungannya dengan Khawla, dan Nagata teman seapartemenku di Tokyo. Aku hanya sedikit menyinggung kedekatanku dengan Binar selama di Tokyo tanpa merinci lebih jauh. Para penguji di hadapanku masih terdiam, belum sedikitpun memberikan komentar. Ketika aku mulai bercerita tentang keluargaku, Ibu Binar mulai tertarik.
"Oh, Nak Varo ini dulu dari Jakarta lalu kuliah di sini?" sela beliau.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Betul, Bu. Saya dari lahir sampai SMA di Jakarta."
Aku memberi jeda.
"Lalu saya kuliah di sini selama hampir empat tahun." Sambil memberikan penekanan pada singkatnya waktu kuliahku. Menurutku pasti suatu kebanggaan kalau punya calon mantu berotak lumayan encer. Ini yang dinamakan Kei's strategy, memberikan umpan manis di sekitar menu utama.
Aku sedikit terhibur karena wajah Bapak Binar mulai tertarik saat aku mulai menyinggung latar belakang pendidikanku.
"Saya satu almamater dengan Binar, beda fakultas dan angkatan saja, Pak. Saya ambil jurusan teknik mesin, delapan tahun sebelum Binar. Sebelum wisuda saya sudah ditarik oleh perusahaan tempat saya bekerja sekarang ini," jelasku sambil memandang Bapak Binar, berharap semoga beliau ikut memakan umpanku.
Benar saja, Bapak Binar makin tertarik. Alisnya naik. "Oh, ya? Waktu itu IPK-nya berapa?" spontan Bapak Binar bertanya. Aku merasa mendapat angin segar.
"Alhamdulillah, bisa dibilang lumayan karena saya lulus dengan predikat cum laude, Pak," jawabku merendah. Sebagai tenaga pendidik, aku yakin beliau pasti tertarik jika melihat seseorang punya prestasi dalam bidang pendidikan.
Ucapanku sontak membuat beliau mengangguk-angguk. Aku kembali melirik Dipa yang menyengir masam. Aku yakin apa pun pikiran melenceng yang sebelumnya sempat mereka tujukan padaku, perlahan-lahan mulai berubah. Aku makin bersemangat meneruskan. Secara gamblang aku lalu menceritakan pekerjaanku, dan alasan mengapa aku bisa tinggal di Tokyo.
Sampai ketika aku bercerita tentang Mama, wajah mereka bertiga berubah menjadi penuh empati. Ibu Binar kemudian memandang wajah suaminya, lalu bertanya padaku dengan hati-hati, "Umur berapa Mama Nak Varo meninggal?"
"Baru empat puluh tiga tahun, Bu. Terkena serangan jantung. Padahal Mama sebelumnya tidak diketahui menderita sakit jantung." Aku membalas pandangan simpati Ibu Binar.
Aku lalu melanjutkan ketika ruang tamu ini terasa hening. "Saat itu saya baru berumur delapan belas tahun. Baru menginjak semester dua kuliah di sini. Kepergian beliau terus terang membuat saya limbung, tapi di satu sisi membuat saya bertekad untuk bisa membahagiakan beliau di sana. Salah satunya mencoba lulus dengan nilai yang membanggakan. Karena beliau salah satu pendukung terbesar selama hidup saya, meski dengan jurusan kuliah yang sedikit berbeda dengan keinginan Papa saya." Aku berdeham untuk menghilangkan haru yang tiba-tiba memenuhi dadaku.
"Ketika kemudian saya bekerja pun, saya mencoba memberikan yang terbaik. Saya tidak mau setengah-setengah, Pak, Bu, dan Mas Dipa," jelasku mantap. "Saya selalu berusaha mendapatkan yang terbaik."
Bapak Binar masih mendengarkanku dengan saksama. Tatapannya tajam, tapi entah mengapa aku merasa jika beliau mulai memahami maksud kedatanganku.
"Ketika berteman dengan Binar, semakin hari saya semakin merasakan kebahagiaan batin yang belum pernah saya rasakan sebelumnya."
Aku mengalihkan pandangan ke arah Bu Wulaning. Beliau masih menatapku dengan haru sejak tahu jika ibu kandungku sudah tutup usia. "Saya tidak bisa memilih ke mana hati saya berlabuh, Bu."
Ibu Binar tampak tanggap, tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku mulai yakin jika beliau juga menangkap maksudku.
Tenggorokanku makin terasa kering karena banyak bicara. Dadaku masih terasa sesak karena masih ada ganjalan yang belum terlepas. Ketika tidak ada sedikit pun kalimat yang keluar dari ketiga orang di depanku, aku kemudian melanjutkan.
"Saya tahu Bapak melarang Binar berpacaran sebelum lulus kuliah. Itu sebabnya saya sampai saat ini saya hanya berteman dengan Binar. Tak ada niat sedikitpun untuk melanggar pesan Bapak, meski semakin hari, hati saya tidak bisa berbohong." Bukannya menatap Bapak Binar, aku malah menatap Ibu Binar seakan meminta dukungannya.
Ya Tuhan, sepertinya lidahku mulai terasa kelu. Titik-titik keringat kembali hadir ketika sebelumnya sempat menguap pergi. Ada terbesit rasa takut jika maksud kedatanganku tidak mendapatkan balasan seperti yang kuharapkan. Namun, Papa sudah mewanti-wanti agar aku siap dengan segala risiko atas pilihan yang akan kuambil.
Let's shoot it, Kei. Now or never.
Aku menghela napas. "Saya tahu Binar masih muda, masih kuliah. Namun bagi saya itu bukan halangan besar selama Bapak dan Ibu memberikan restu. Tidak untuk berpacaran, Pak," tegasku. "Saya membutuhkan putri Bapak untuk melengkapi hidup saya."
Aku meneguhkan hati, memandang Bapak dengan berani. Meskipun dalam hati gedoran jantungku sepertinya sanggup merobohkan daun pintu di rumah Binar.
"Hanya dengan Binar saya bisa kembali merasakan kebahagiaan yang sempat hilang sejak Mama saya meninggal. Saya merasa Binar adalah gadis yang tepat untuk menjadi teman hidup saya, dalam suka maupun duka." Aku kembali menarik napas panjang, lalu melepaskannya pelan-pelan.
"Untuk itu saya sengaja menemui Bapak dan Ibu, dan kebetulan juga ada Mas Dipa ... selain untuk bersilaturahmi agar mengenal lebih jauh keluarga Binar, saya juga berniat baik dan tulus dari lubuk hati saya yang terdalam, untuk meminang Binar sebagai istri saya."
________________________
Ah yayayaaaa.... gitu dong, Kei!
Eh, kira-kira jawabannya apa yaa? Diterima ga yaa....
Tungguin besox, sobats!Buat yang udah sabar dan setia selama ini baca kelanjutan kisah Kei dan Binar, "Luv you 3000!"
Salam setia,
A
07.05.2019
________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...