Aku tak menyangka jika Shirin ternyata masih suka berkata terus terang dan bersikap seenaknya sendiri.
"Eh." Aku menimpali dengan sopan. "Terima kasih?"
Shirin terkikik manja. "Kekeiii...! kamu lucu banget kalau tersipu begitu."
Tersipu? Bah!
Tangan Shirin serta merta meraih lagi tanganku, dan menggenggamnya erat. "Aku jadi kangen kamu, Ke. Banget!" ujar Shirin masih dengan semangat. "Aku masih ingat waktu kita sering main ke Ancol. Nemenin kamu sampai pagi di pinggir pantai."
Aku seketika meringis. Kalimatnya membuatku lupa ingin menepis genggaman tangannya. Ingat jaman jahiliyah dulu, berpacaran tanpa kenal waktu. Nonton film midnight di bioskop, atau nemenin Shirin nge-mal sampai jam operasi pusat perbelanjaan berakhir, lalu menghabiskan malam dengan berbincang di dalam mobil yang kuparkir di pinggir pantai sampai pagi. Bukan berbincang, tapi mendengarkan Shirin bercerita lebih tepatnya. Karena aku lebih banyak diam, dan menimpalinya sesekali. Sering seperti itu, terutama jika Papi dan Mami Shirin sedang tidak ada di Jakarta.
"Oh ya?" Keningku berkerut. "Sudah lama banget, ya. Aku sudah agak-agak lupa."
Aku akui berbohong bukanlah kebiasaanku. Tidak mungkin jika aku langsung mengaku pada Shirin kalau masih mengingat masa kelam itu. Hormon anak muda yang membanjir dan suasana hati yang sedang gundah sedikit membuatku lupa diri. Untungnya saat itu aku tidak terhanyut dan melupakan kuliah. Jadi masih bisa stay on track dan lulus sesuai dengan target yang kubuat.
"Iiih, Kekei jahat, deh! Masak lupa, sih?" Shirin merengut manja. Sejujurnya, menggemaskan. Sumpah, kalau Shirin masih berstatus pacarku, mungkin bibir itu sekarang sudah kupagut dengan bibirku.
Aku tiba-tiba teringat bibir tebal Binar yang segar alami. Sontak aku melepas genggaman tangan Shirin dan berdiri untuk menghindari pesonanya sejauh mungkin.
Pandanganku beredar ke sekeliling tempatku berdiri. Ueno Park sore ini ramai dengan hilir mudik orang lewat. Cuaca terik musim panas tak menyurutkan wisatawan untuk berkunjung ke taman yang tak kalah indah seperti Sumida Park saat musim semi. Air mancur di kolam besar di depan Tokyo National Museum menyemburkan air ke atas, menari-nari dengan irama yang teratur. Mendinginkan mata di tengah udara panas. Pohon sakura bertebaran di taman ini jumlahnya lebih banyak daripada di Sumida Park. Kali ini barisan pohon sakura itu tak lagi menampilkan bunganya yang indah mekar, hanya rimbunan daun berwarna hijau yang tumbuh menutupi batang-batang berwarna gelap.
Ueno Park saat musim semi sangat ramai karena merupakan destinasi utama warga Tokyo yang ingin merayakan mekarnya bunga sakura. Itu sebabnya aku lebih memilih Sumida Park untuk merayakan hanami bersama Binar beberapa bulan lalu. Lebih sepi dibandingkan dengan taman Ueno.
Hatiku menghangat teringat saat perayaan hanami bersama Binar di Sumida Park. Pandangan Binar terpaku ke arahku setelah mengetahui isi kotak yang kuberikan padanya. Sebuah laptop keluaran terbaru untuk menggantikan miliknya yang rusak.
"Mas, sepertinya aku tidak bisa menerima ini." Binar berkata dengan lirih. Meski mulutnya berucap seperti itu, tapi dari gesturnya aku tahu gadis itu merasa berat untuk menolak pemberianku.
Aku tersenyum. Pandanganku teduh menatap Binar yang jengah dan buru-buru mengalihkan pandangan.
"Kalau kamu menolak, aku tidak akan tenang selama dua minggu berada di Tochigi, Nar. Kamu juga tidak mungkin merepotkan Nagata. Dia lebih sering keluar kota," bujukku. "Daripada kamu harus mengantri untuk bisa memakai komputer, bukankah lebih baik menggunakan laptop yang sudah resmi jadi milikmu?"
Binar menarik napas panjang. "Ini mahal banget, Mas. Aku ..."
Anything for you, Ramadania. Lagi-lagi kalimat itu tak juga terucap dari bibirku. Aku malah berucap memotong kalimatnya, "Sahabat Khawla berarti sahabatku juga, ingat kan?"
Bodoh! Bagaimana jika Binar benar-benar menganggapku sebagai sahabat saja? Apakah aku rela? Dia memandangku dengan sorot mata yang tak bisa aku artikan. Namun, ucapanku barusan tampaknya membuat Binar tak bisa lagi menolak.
"Terima kasih banyak, Mas Varo." Suara Binar tercekat. "Semoga rejeki Mas Varo semakin lancar," tambahnya sambil tersenyum manis. "Aku tidak akan bisa membalas, tapi Inshaa Allah Mas Varo akan selalu ada dalam doa-doa yang kupanjatkan."
Sungguh, aku terharu mendengar kalimat pamungkas Binar. Membuatku ingin membawanya ke dalam pelukan. Walau kenyataannya aku hanya bisa balas memandangnya dengan tatapan sayang.
Hari-hariku kemudian berjalan seperti biasa. Tenang dan penuh dengan gelak tawa bersama Binar. Sampai seminggu yang lalu Shirin menghubungi dan mengabarkan ingin bertemu.
"Kekei?" Suara lembut Shirin membangunkanku dari lamunan.
Aku terhenyak lalu ganti menatap wajah cantik di belakangku. Seharusnya aku tidak menuruti ajakan Shirin untuk bertemu. Pasti otakku akan kacau seperti sekarang.
"Kita mau jalan kemana, Ke?"
Aku memandang Shirin yang balas menatapku. Berbeda dengan Binar, Shirin tidak takut untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Jika aku memandangnya, dia akan balas memandangku. Jika aku tak menggenggam tangannya, dia yang akan menggenggam tanganku. Jika aku tak menciumnya, dia yang akan menciumku. Seperti itu.
"Tidak kemana-mana," tegasku. "Aku sedang tidak ingin jalan. Lebih baik kita berbincang di sini saja."
"Baiklah."
Aku tak peduli meski Shirin tampak kecewa. Toh, bukan aku yang menginginkan pertemuan yang unfaedah ini.
"Ada yang kamu ingin sampaikan, Shirin? Karena aku harus segera kembali. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan." Aku kembali lagi duduk di samping Shirin, kali ini sedikit mengambil jarak. Menjaga agar pikiranku tetap jernih.
"Di Sabtu sore begini, Ke?" Shirin menatapku tak percaya. "Memang pekerjaan kamu sebegitu pentingnya dibandingkan bertemu denganku?"
Aku balas menatapnya tak percaya. "Tentu!"
Aku sedikit heran saat Shirin tersenyum lebar. "Kamu sudah bergabung dengan Om Ghani sejak kapan, Ke? Kok nggak kasih kabar aku, sih? Tahu gitu aku bakal sering-sering main ke kantor kamu. Kantor pusatnya masih di Kebayoran, kan?"
Aku tak menjawab. Mataku tertuju pada air mancur yang masih menari-nari di depanku. Beberapa orang terlihat duduk-duduk di beton konkrit yang mengelilingi kolam. Matahari masih setia bersinar. Baru pukul tujuh malam nanti akan kembali ke peraduannya. Udara lembab makin membuat badanku berpeluh.
"Aku kangen kamu, Ke. Aku ingin kita menjalin hubungan kembali. Aku ..."
Dadaku berdesir. Dahiku berkerut. "Kamu yakin?"
Shirin terdiam.
"Saat ini jelas aku tidak sedang mencari pacar. Aku perlu seorang istri," jelasku singkat. "Sudah cukup waktuku untuk bermain-main. Saatnya aku memikirkan masa depan dan membangun sebuah keluarga."
"Aku bisa menjadi istri kamu. Aku masih cinta kamu, Kei. Saat kita tidak bersama aku sadar kalau aku masih mencintaimu. Dan akan terus mencintaimu."
________________________
Keknya gercep terus nih, Shirin....Salam gercep,
A
24.04.2019
_________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)
RomanceHighest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan untuknya. Tak lagi mempertanyakan mengapa segala sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya...