Hanami di Sumida - 58. Let's Talk

1K 152 38
                                    

Gadis yang kurindukan itu sedang tekun menatap ponsel di tangan. Wajahnya terlihat lebih tirus dibandingkan saat terakhir kali aku bersamanya. Hijab abstrak warna gelap membingkai wajah, tampak kontras dengan kulit bersihnya. Bibir favoritku itu terkatup rapat. Masih tampak penuh, tidak ikut menyusut seperti berat badannya. Rautnya serius tidak mempedulikan suasana sekitar. Tiga orang pegawai terlihat melayani pembeli di toko Ibu Binar yang sedang tidak ramai. Binar duduk di atas kursi kayu tinggi di belakang lemari display kaca setinggi perut orang dewasa berisi barang-barang yang dijual.

Hatiku menghangat mengingat akhirnya bisa bertemu dengan Binar. Hanya Tuhan yang tahu betapa aku merindukan gadis yang terus menghindar dariku ini. Yang selalu meramaikan hari-hariku belakangan ini hingga tak terasa jika aku telah kecanduan oleh kehadirannya. Hampir dua bulan aku tidak mendengar suaranya, melirik lesung pipinya, memandang diam-diam bibir favoritku, bahkan menyesap samar wangi bayi baru mandi yang menguar dari tubuhnya. Membuatku ingin membawanya ke pelukan, seandainya tidak ada penjaganya di belakangku. Aku sedikit menyesal karena telah meminta Dipa mengantarku ke toko ibunya.

"Marlboro ice blast wonten (1), Mbak?" Iseng aku bertanya untuk mengusik Binar. Betapapun besarnya keinginanku untuk memeluk, tapi aku harus menahan diri karena ada Dipa yang siap menyalak jika aku tampak lepas kendali.

"Ngapunten, mboten sadean (2) rokok, Mas," jawab Binar cepat sambil mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Matanya seketika terbelalak kaget. Tak menyangka jika aku berdiri di depannya dengan menyungging senyum tipis.

"Mas Varo?"

Detik berikutnya merupakan saat di mana aku bisa melihat dengan jelas betapa gadis ini juga merindukanku. Seperti yang Khawla bilang saat aku mengorek keterangan darinya, Binar sebenarnya juga merasakan hal yang sama sepertiku. Hanya saja ia masih terlalu angkuh untuk terus terang mengakui. Tampaknya Binar perlu merasakan manisnya ciumanku agar mau mengakui kalau menyimpan rasa yang sama sepertiku. Mungkin perlu dicoba nanti, jika kami sudah sendirian atau jika Dipa sudah berhasil kusingkirkan.

Aku mengulurkan tangan ketika Binar masih saja tertegun di kursinya tanpa bisa berkata.

"Hai?"

Binar tak menjawab. Namun ia pelan-pelan mengangkat tangannya membalas ajakanku untuk bersalaman. "Hai?" balas Binar gugup.

"Aku janji tidak akan mengisap lagi Marlboro ice blast lagi jika kamu mau ikut denganku sekarang. Aku juga lapar, belum sarapan karena pagi-pagi harus bergegas mencari rumahmu. Ternyata kamu sudah kabur meski Khawla sudah menyampaikan pesanku jika hari ini aku akan mendatangimu. Entah apa yang sudah kamu ceritakan pada kakakmu hingga dia langsung mengirimkan bogem mentah ke pipiku begitu aku mengajaknya berkenalan." Aku mulai mencerocos, persis seperti Nagata. Mataku melirik ke arah Dipa yang kini berdiri di sampingku sambil menyengir kurang ajar.

"Ada yang harus aku luruskan. Ada juga yang harus kamu ketahui. Lalu aku tidak mungkin membicarakannya di sini. Jadi, Binar Usa Ramadania. Maukah kamu ..." aku berhenti sambil menatap tajam mata yang tampak berkilat di balik lensa bingkai hitam itu, "ikut denganku?"

Bukannya menjawab, Binar malah memandang kakaknya segera. "Mas Dipa nonjok Mas Varo?"

Yang ditanya hanya meringis. "Aku kesal karena kusangka selama ini dia mempermainkanmu. Rasanya seperti nemu pelampiasan saat pacarmu itu tiba-tiba muncul di depanku. Tak tahunya dia ..."

Aku segera berdeham sambil menatap Dipa cepat, memberinya isyarat untuk segera menutup mulut. Dipa sontak terdiam.

"Mas Varo bukan pacarku!" elak Binar tak setuju.

Aku meringis, lalu segera menyela, "Ayo, Nar. Nanti keburu siang. Shall we?"

Dipa lalu ikut mendorong Binar untuk menuruti ajakanku. "Udah sana, Dik! Mungkin kamu perlu memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Setelah itu kamu boleh memutuskan."

Aku tersenyum senang mendengar ujaran Dipa. Setelah pembicaraan panjang tadi, kakak Binar yang berumur lima tahun lebih muda dariku itu tampaknya mulai menjadi sekutu bagiku.

"Semua anak-anak kami memang saya larang keras untuk berpacaran, Nak Varo." Aku teringat Bapak Binar menjelaskan saat berbincang denganku tadi.

"Karena saya melihat banyaknya anak muda sekarang yang kerap melanggar norma agama, sampai kebablasan. Itu sebabnya kemarin waktu Binar ketahuan menginap selama di apartemen Nak Varo saya sangat marah--"

Ibu Binar langsung menyela, "Kalau saya tidak adem-ademin mungkin Binar langsung disuruh pulang ke Jogja saat itu juga, Nak Varo." Beliau berkata sambil menatap suaminya. Tatapan yang semua orang sadar jika Bapak Binar benar-benar pria beruntung ditemani oleh istri yang penuh pengertian. Aku merasa iri melihat interaksi orang tua Binar. Tampak jelas jika mereka saling mengisi satu sama lain.

Bapak Binar tersenyum, membalas tatapan penuh arti istrinya. "Meski begitu, sebagai seorang muslim dan seorang bapak, saya tidak boleh menolak jika Binar ternyata menemukan jodohnya lebih cepat. Toh, Binar sudah dewasa, sudah bukan anak-anak lagi. Kami sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan saja. Semua keputusan biar Binar yang menjawabnya."

Note:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note:

(1) Ada
(2) Maaf tidak jualan
________________________
Pasti pada protes neh, dipotong lagi, wkwkwkw....
Buat yang protes, luv you 4000 deh!

Salam sabar,
A
08.04.2019
_________________________

Hanami di Sumida [ COMPLETED ] - Seri: Love Will Find a Way (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang