Pulang kerja, Jungkook langsung menuju kamar. Dia tidak bersuara sama sekali, bahkan menyahuti pertanyaan ibunya pun tidak. Hal itu membuat kedua orangtuanya khawatir.
"Sampai kapan dia mau kayak gitu?" si ibu bergumam sedih memandang punggung Jungkook yang hilang dibalik pintu kamar.
"Dia lagi nggak bisa diajak ngomong, bu. Udah ada kabar dari bu Yuri? Eunha gimana?" si bapak menyahut.
"Eunha belum mau pulang ke rumahnya. Ponsel Eunha juga belum aktif. Pak Jonathan hampir nyusul Eunha ke rumah temennya buat jelasin kejadian kemarin," jawab si ibu lalu menghela napas berat. Selain merasa prihatin dengan keadaan anaknya, beliau juga merasa kehilangan Eunha.
"Coba kamu sama bu Yuri yang samperin Eunha. Ngomong baik-baik. Bu Yuri tau tempat temennya, kan?" bapak Jungkook memberi saran.
"Iya.., nanti aku ngomong sama bu Yuri. Coba bapak bujuk Dimas makan. Aku belum liat dia makan dari kemarin-kemarin. Si bapak mengangguk, mengetuk pintu kamar Jungkook dan memanggil-manggil nama pemuda itu sementara isterinya menghubungi besan mereka.
Sayang sekali, Jungkook tidak mendengar panggilan bapaknya. Bukan pura-pura tidak mendengar. Pemuda itu benar-benar tidak mendengar apa yang terjadi diluar. Dia sibuk dengan dunianya sendiri.
Jungkook memeriksa ponsel sambil rebahan diatas kasur. Jarinya mengotak-atik aplikasi yang ada disana hanya demi melihat wajah Eunha. Instagram dan sosmed lain tidak ada pembaharuan postingan. Sama seperti keberadaan gadis itu dikehidupannya, Eunha juga menghilang dari dunia maya.
Postingan instagram terakhir adalah tiga hari yang lalu. Sebuah foto bersama teman-teman diunggah Eunha dengan caption ucapan terimakasih. Kolom komentar pun dibanjiri ucapan selamat karena Eunha adalah mahasiswa pertama yang lulus ujian KTI dengan nilai yang bagus.
Ada sekelumit perasaan lega dihati Jungkook mengetahui hal itu. Pemuda itu tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Eunha kalau dihari naas itu sang isteri juga tidak lulus ujian.
Jungkook menelan ludah kelu. Perasaan bersalah kembali memenuhi rongga dadanya. Dia ingin meminta maaf, tapi bagaimana caranya? Haruskah dengan cara-cara ruwet penuh properti? Haruskah dengan acara drama kacang? Atau kata 'maaf' saja sudah cukup?
"Kamu selalu diem!"
Ucapan Eunha kembali terngiang dikepalanya. Diam adalah specialis Jungkook. Pemuda itu bisa tidak berbicara untuk waktu yang sangat lama. Berbanding terbalik dengan Eunha yang bisa menyerocos selama tiga menit tanpa jeda.
Bagaimana mungkin bicara sangat mudah untuk gadis itu? Pikir Jungkook heran. Bagaimana mungkin Eunha bisa memancingnya untuk ikut bicara, balas meledek, bahkan menghibur gadis itu dengan kata-kata? Padahal, bagi Jungkook, menanyakan kabar orang lain saja rasanya sangat susah.
Ngomong-ngomong soal kabar, bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia baik-baik saja?--tentu saja tidak, bodoh! Bagaimana mungkin Eunha bisa baik-baik saja setelah kamu pukul?
Jungkook menghela napas. Dia berhenti berpikir sejenak, tidak mau pikiran buruk kembali mendominasi otaknya. Tiba-tiba pemuda itu bangkit terduduk. Matanya terbelalak mengingat ada satu masalah yang dia lupakan. Masalah talaknya terhadap Eunha.
Jungkook bangkit. Dia harus mencari bapaknya untuk menanyakan masalah ini. Hati pemuda itu tidak tenang memikirkan kalau dia harus benar-benar menceraikan Eunha.
"Dia nggak nyahut--" ucapan si bapak terpotong ketika Jungkook tiba-tiba berdiri antara dirinya dan sang isteri.
"Kenapa, mas?" tanya si ibu cemas.
"Dimas mau tanya sesuatu sama bapak," jawabnya, memandang si bapak dengan penuh harap.
"Tanya apa?" balas si bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Ojol (Fin)
Fanfiction"Mbak?" "Ya?" gadis itu menoleh bingung. "Namanya siapa? Nikah sama saya, mau?" Heya Eunha merinding, geli, dan merasa takut ketika seorang laki-laki asing tiba-tiba melamarnya di tengah keriuhan pasar Ungaran dipagi hari. Gadis yang baru menginjak...