Dokter Sita dan Dokter Agus memisahkan diri begitu makan mereka selesai. Eunha lebih dulu mengajak Mina ke ATM sebelum membonceng Jungkook untuk pulang.
"Min, nitip ini buat Yuna, dong?" Eunha keluar dari ATM, lalu mengulurkan dua lembar uang merah ke arah temannya.
"Buat apaan, nih?" tanya Min, mengerutkan kening. Eunha cengengesan, agak terkikik sedikit tapi tidak mau menjawab dengan jelas.
"Ntar Yuna juga ngerti. Lu nggak apa-apa pulang sendiri?"
Mina berpikir sejenak, agak heran dengan kelakuan Eunha. Meski begitu, Mina tetap mengangguk kemudian memasukkan titipan Eunha ke saku jaketnya.
"Hati-hati di jalan, Min!"
Mina melambai, terlihat agak terburu-buru karena ingat punya janji dengan Lisa dan Chacha. Begitu temannya sudah hilang diujung jalan, Eunha menerima helm pemberian Jungkook kemudian naik ke jok belakang.
"Kamu belum bilang, kenapa jemput segala?" Eunha bertanya waktu Jungkook menstater motor.
"Ibu mau ketemu," jawab pemuda itu singkat.
Eunha langsung meringis. Mendadak dia takut bertemu mertuanya. Bagaimana tidak kalau belakangan ini Eunha tidak pulang ke rumah? Eunha juga bersikap kekanak-kanakkan serta kasar. Dia mau diomelin, ya?
"Ibu sama bapak marah, ya, mas?" Eunha berbisik didekat telinga Jungkook. Pemuda itu melirik ke belakang bahunya sebentar lalu mengangguk santai.
Wajah Eunha langsung mengerut bingung, sedih dan pasrah menjadi satu. Jungkook mulai tertawa. Ekspresi memelas Eunha yang tampak dari kaca spion entah mengapa membuatnya kasihan sekaligus geli.
"Kenapa ketawa?" Eunha bertanya, alisnya terangkat tinggi-tinggi karena heran. Jungkook menggeleng pelan, menutup mulutnya rapat-rapat agar Eunha tidak sadar kalau sedang dia kerjai.
Begitu suaminya fokus ke jalan, Eunha memikirkan ucapan dokter Sita beberapa saat yang lalu. Apa tawa tanpa sebab Jungkook barusan juga masuk ke ciri-ciri orang depresi? Mh--Apa itu berarti Jungkook gila? Apa yang akan Eunha lakukan kalau itu benar terjadi?
Tapi, rasanya Jungkook normal-normal saja. Bisa jadi, tawa pemuda itu barusan karena alasan yang tidak Eunha lihat, kan? Dan Jungkook tidak mau membagi lelucon itu.
Eunha bukan psikolog. Pun, di mata kuliahnya tidak ada psikologi. Tiba-tiba di hadapkan dengan hal semacam ini membuat gadis itu merasa bodoh. Dia mesti cari info dari buku, dan internet. Atau hubungi dokter Sita saja? Masih ada dua minggu sebelum PKMD berakhir...
Tidak apa-apa kah kalau Eunha melakukan hal ini secara diam-diam? Atau Eunha harus jujur pada Jungkook? Eunha khawatir Jungkook akan membantah lalu melarangnya membantu penyembuhan pemuda itu. Tapi peringatan sang suami kemarin malam masih teringat jelas diingatan Eunha.
Tanpa terasa, mereka sudah sampai di rumah keluarga Jungkook. Eunha yang larut dalam pikirannya sendiri selama perjalanan, sampai harus ditegur oleh suaminya.
"Mas, ibu kalau marah serem, nggak?" Eunha berbisik, menatap pintu rumah Jungkook takut-takut.
"Serem banget. Sampai banting kursi." Jungkook menjawab sambil lalu. Pemuda itu pura-pura mengecek ban motor belakangnya untuk menyembunyikan seringaian.
Eunha langsung bergerak-gerak gelisah. Dia menunggu Jungkook untuk masuk bersama. Eunha tau dia pantas dimarahi. Tapi tetap saja dia takut!
"Udah, ayo masuk. Nanti aku ikut bujuk ibu biar nggak sampai banting-banting barang. Kalau dia banting kamu, aku lepas tangan." Eunha menatap Jungkook dengan mata membulat horor.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Ojol (Fin)
Fanfiction"Mbak?" "Ya?" gadis itu menoleh bingung. "Namanya siapa? Nikah sama saya, mau?" Heya Eunha merinding, geli, dan merasa takut ketika seorang laki-laki asing tiba-tiba melamarnya di tengah keriuhan pasar Ungaran dipagi hari. Gadis yang baru menginjak...