48. Pengertian

3.9K 742 76
                                    

Mereka tidak jadi langsung pulang seperti yang Eunha perkirakan. Selama satu jam terakhir, Jungkook membawa Eunha duduk-duduk dipelataran kecil dekat benteng Willem II—bangunan peninggalan jaman Belanda yang sempat gadis itu lupa namanya. Kesunyian masih terasa menegangkan, Eunha menutup rapat bibirnya sementara memandangi kendaraan di jalan raya Solo-Semarang.

Jungkook juga sama diamnya, memilih memandangi seorang polisi yang sedang melakukan ritual dibawah pohon beringin besar. Meski satu tangannya merangkul pundak Eunha, tapi mereka saling mengacuhkan. Jungkook tau dia seharusnya minta maaf, tapi dia harus memastikan emosinya sudah benar-benar terkendali lebih dulu.

Benteng Willem II sendiri sepi pengunjung karena memang tertutup untuk umum. Hanya sesekali saja bangunan itu dibuka untuk keperluan khusus. Sekitar mereka juga tidak banyak orang berlalu lalang walau siang cukup terik.

"Ngapain sih disini? Pulang aja. Aku mau siap-siap balik ke kost." Eunha membuka suara, masih tidak mau menoleh ke arah suaminya.

"Bentar. Sebentar lagi," sahut Jungkook, juga tidak mengalihkan perhatiannya dari polisi yang sedang melakukan ritual.

"Ya ngapain disini? Kayak orang nggak punya kerjaan aja!" decak Eunha kesal.

Jungkook menghembuskan napas kasar, akhirnya bergerak dari posisinya menjadi lebih tegak. "Aku mau minta maaf soal kata-kataku tadi. Itu keterlaluan—"

"Itu kejam!" kecam Eunha, melotot ke arah Jungkook. Pemuda itu memasang wajah muram tapi mengangguk setuju.

"Cuma, aku juga minta pengertian kamu, Na. Aku nggak suka kamu bahas masalah itu. Aku baik-baik aja. Buktinya aku bisa bertahan sampai sekarang, kan?" Suara Jungkook berubah kasar karena gelisah. Mungkin terdengar agak marah bagi telinga Eunha.

"Kenapa nggak mau bahas?" tanya Eunha bingung.

"Itu bukan topik menyenangkan buat dibicarain," jawab Jungkook kecut. "Aku nggak gila. Aku waras! Jadi, kamu nggak perlu repot-repot atau ngerepotin orang buat masalah itu. Jangan ikut campur, oke?"

"Tapi kamu ngelukain dirimu sendiri. Liat tanganmu!" tukas Eunha.

"Itu baru sekali ini kejadian. Nggak akan ada yang kedua. Janji!" sahut Jungkook mencoba meyakinkan.

"Kalau kamu ngomong kasar kayak tadi lagi?"

"Nggak akan, kalau kamu nggak bahas masalah ini lagi." Jungkook menghembuskan napas dalam. "Kalau kamu mau bantu aku, ada cara lain. Pura-pura nggak tau, bersikap biasa aja atau lebih baik lagi kalau kamu kayak kamu waktu kita di Jepang. Itu bikin aku merasa... lebih tenang."

"Emangnya aku waktu di Indonesia sama aku waktu di Jepang beda?" Eunha mengerutkan kening dalam. Jungkook tersenyum sedikit.

"Kamu kayak anak kecil pas di Jepang. Di Indonesia jadi agak serius," sahutnya.

"Namanya juga lagi liburan. Masa harus mikirin masalah? Apa bedanya kalau gitu?" balas Eunha, mengangkat bahu cuek.

"Tapi aku lebih suka kamu lagi nggak mikirin masalah. Emang cukup nyebelin kalau lagi manja. Cuma, lebih baik daripada kamu serius begini. Bikin aku was-was," ucap Jungkook mengakui.

"Was-was kenapa?"

Eunha bisa melihat tangan Jungkook gemetar lagi ketika pemuda itu diam memikirkan jawabannya. Eunha jadi penasaran, apa sebenarnya yang Jungkook sembunyikan?

"Kamu mungkin akan jijik sama aku. Malah, mungkin bakal ninggalin aku." Eunha terkejut, tidak menyangka kalau jawaban Jungkook akan seperti itu. Maksudnya, apa masalahnya kalau Eunha pergi? Apa itu akan mempengaruhi hidup Jungkook? Kalau posisinya dibalik, Eunha sudah tau jawabannya sendiri. Ya, itu akan mempengaruhi hidupnya. Karena selama ini Eunha sudah mulai bergantung dengan keberadaan Jungkook di sisinya. Eunha tidak bisa membayangkan, mengapa laki-laki dewasa yang matang, mapan dan wow seperti Jungkook akan merasa kehilangan dia. Memangnya Eunha punya daya tarik apa?

My Dearest Ojol (Fin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang