[03] : |Tawa(nya)|

1.3K 29 0
                                    


Ulangan mendadak berlangsung dari Paman. Eh, maksudku Pak Samhudi. Guru matematika terkiller yang dipunyai SMA 1 Pancasila. Tak ada yang berani berkutik jika sudah Paman Sam yang memberi ulangan.

"Mir. Amir. Nengok woy."

Aku tak menengok. Sudah hafal itu suara siapa. Prisma. Dia duduk di bangku belakangku.

"Mir. Jangan budek ya lo. Gue doain beneran nanti."

Aku sangat geram mendengarnya. Aku berbalik sekilas dan mengomelnya.

"Lo ngajak ribut? Gue juga belum bisa sama sekali ini. Gue semalem nggak belaj-"

“Mira! Prisma!” Sontak aku dan Prisma langsung melotot ketakutan mendengar suara itu.

“Kalian keluar dan kerjakan soal itu di lapangan!”

“Pak, kit-”

“Nggak usah banyak alasan. Keluar atau tidak ada nilai sama sekali?!”

“Iya Pak.” Jawab aku dan Prisma.

Setelah keluar dari kelas aku mengomel pada Prisma. Seharusnya tadi aku tak meladeni ucapan Prisma sehingga tak akan dihukum seperti ini.

“Gue di sana. Lo di sana.” Tunjukku. Aku memilih berjauhan dengan Prisma. Aku mulai mengingat-ingat rumus yang beberapa hari kemaren diajarkan dan mulai berkutat dengan soal.

"ADUH!"

Bola basket melambung dan mengenai kepalaku.

"Sorry Bu Bos! Nggak sengaja!" teriak Prisma di bawah ring basket.

"Lo udah selesai?"

"Belum."

"Terus kenapa main basket?"

Bukannya menjawab. Ia justru mendekat ke arahku. Ia segera merebut bola di tanganku dan berbisik.

"Karena hidup itu pilihan. Dan gue memilih main basket supaya kepala lo kena bola."

Setelah berbisik, Prisma berlari menjauh dan tertawa terbahak-bahak. Aku sangat kesal dengannya. Namun meski begitu, ada yang kukagumi dari seorang Prisma.

Menutupi segala lukanya dengan tertawa. Dan ia kuat menjalaninya.

✴✴✴✴✴✴✴✴✴✴

Rumus bahagia. Melihat Prisma tertawa dengan segala kesedihannya.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang