[36] : |Klarifikasi|

517 19 0
                                    

"Ra!"

Aku berbalik saat ada yang memanggilku di pusat perbelanjaan kota ini. Heven. Ia segera mendekat ke arahku dan Kak Ivan.

Heven menyalami Kak Ivan ala lelaki pada umumnya. Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan dari Heven.

"Sendirian aja, Hev?" tanya Kak Ivan.

"Iya. Mau beli kado buat Mama. Bentar lagi beliau ulang tahun."

Kak Ivan hanya manggut-manggut dan kemudian meninggalkanku dengan Heven. Ia ingin menunggu di lantai bawah katanya sambil pijat.

Sekarang di sini tinggal aku dan Heven. Memang aku sudah putus dengan cara yang wajar dengannya. Tapi rasanya aneh jika tak saling menyapa.

"Mir,"

"Hev,"

Kita menyapa secara bersamaan.

"Lo dulu aja," ucapku.

"Lo aja,"

"Nggak. Lo aja." Desakku.

"Emm... gimana kabar lo?"

Mataku ingin melompat keluar saking terkejutnya. Menanyakan kabar? Padahal sudah nampak sekali aku sehat wal afiat. Kedua kaki dan tanganku juga masih utuh.

"Ba-baik." Jawabku gugup.

"Aneh ya, Ra. Kita dipertemukan terus sejak kita putus baik-baik. Padahal hati ini bener-bener mau ngilangin semuanya tapi malah sering ketemu."

"Hev? Ngilangin perasaan itu gak semudah nulis quote di feed instagram. Tapi kayak matahin besi pake tangan. Susah." Ujarku.

"Kog lo curhat sih, Ra?" sindir Heven kemudian tertawa terbahak-bahak. Aku mengerucutkan bibir. Lagi-lagi Heven membodohiku.

"Ra, gue kadang bingung sama perasaan gue sendiri. Gue emang sama Clara tapi separuh hati gue masih berada di hati lo. Gue pengen mencintai Clara pelan-pelan, tapi hasilnya tetep sama. Lo dan Clara beda. Lo sa-"

"Hev, lo pikir perasaan itu mainan? Dulu lo milih Clara dan ninggalin gue. Sekarang lo mau nyakitin Clara seperti cara lo nyakitin gue? Hev, jujur. Gue juga bingung sama perasaan gue. Gue bener-bener sayang itu emang sama lo buat pertama kalinya. Tapi lo ninggalin gue disaat gue pengen banget bertahan sama lo. Setelah gue mutusin lo, gue suka sama ketua OSIS gue yang baik. Ah, bukan suka lebih tepatnya kagum. Gue merasa tenang saat dia kasih perhatian lebih ke gue, karena saat itu gue bener-bener butuh seseorang yang ngertiin perasaan gue. Sampai akhirnya hati sama pikiran nggak bisa sinkron. Dengan mudahnya gue bilang suka ke dia di tengah kerumunan orang. Lo tau apa yang terjadi?" cercahku sambil menahan air mata yang siap meluncur. Heven menggeleng pelan.

"Gue ditolak di depan semua orang! Seketika hati gue kecewa banget untuk kedua kalinya! Dan di saat itu pula Lolli sama Prisma menjauh dari gue! Gue belum tahu apa salah gue di mata Prisma yang sekarang ia benci banget sama gue. Selama Prisma belum kayak dulu lagi, selamanya hidup gue nggak akan tenang. Karena cuma Prisma yang ngertiin perasaan gue. Dia yang selalu ada di saat gue rapuh ataupun bahagia."

Aku langsung menggigit bibir bawahku dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air mata yang aku tampung di kedua kelopak mata sudah tak kuat untuk menahannya. Aku menangis. Heven langsung memelukku untuk menenangkanku. Aku benar-benar tak ada pilihan lain selain berada di dada bidang milik Heven. Karena hanya ia sekarang yang bisa aku percayai untuk mendengar keluh kesahku.

"Maafin gue, Ra. Gue udah buat lo suka dan kecewa buat pertama kalinya. Gue janji nggak akan nyakitin Clara seperti gue nyakitin lo. Gue bakalan jaga Clara sepenuh hati gue. Gue janji untuk selalu mencintai Clara dengan belajar mencintai dia pelan-pelan. Maaf. Gue udah jadi laki-laki toxic di hati lo." Heven berbisik di telingaku dengan lembut.

Aku membalas pelukan Heven. Aku tak peduli dengan ratusan pasang mata yang melihat tindakanku dengan Heven. Aku memang kecewa dengannya tapi aku berbangga pernah ada di hatinya.

**********

Perempuan itu ingin dipahami tanpa harus menjelaskan sepanjang kereta api.

-JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang