[54] : |Sapaan Hangat|

382 15 5
                                    


"Mira baru bangun?" tanya Mama pada Prisma yang berjalan menuruni anak tangga.

"Iya, Tante. Susah banguninnya." Jawabnya santai sesekali melirik ke arahku yang masih di ambang pintu kamar karena mengikat rambutku. Ngomong-ngomong, aku sudah selesai mandi dan berdandan rapi.

"Enak aja susah bangun!" seruku kemudian ketika berhasil menyusul Prisma yang sudah duduk bersama Mama menonton televisi.

"Lah iya. Tadi lo kan emang susah dibangunin."

"Bodo!"

"Siapa?"

"Lo, lah!!"

"Nggak."

"Iya!"

"Nggak."

"Iy-"

"Mira. Prisma juga. Kalian itu baru aja ketemu beberapa menit yang lalu. Tapi berantem terus kalo udah saling ketemu. Mama yang lihat aja jadi pusing. Udah deh, mending kalian keluar kemana gitu. Daripada di sini cuman bikin rusuh dan ngeganggu sinetron Mama." Potong Mama pada teriakanku.

Aku dan Prisma saling melirik. Masih dengan rasa kesal tentunya.

"Tuh, kan! Mama nggak tahu tadi si pelakor ini bicara apa ke pesuruhnya. Aduh! Mas Rino pasti nggak tahu kalau sebenenrnya Ajeng ini mau ngerusak rumah tangganya. Kasian banget Mbak Sarah yang baik itu."

Aku dan Prisma memutar bola malas. Sifat Mama kambuh. Kemudian Prisma mengajakku untuk ke rumahnya. Saat berpamitan pun Mama hanya bilang 'iya' namun sangat serius menonton sinetron. Seakan-akan Mamalah yang tersakiti dan jadi korban di dalam sinetron.

Sampai di rumah besar Tante Azma, aku mendapat sapaan hangat yang membuatku terkejut.

"Mira? Ini yang namanya Mira, ya?"

"I-iya, Nek." Jawabku gugup sambil menyalami tangan Nenek yang hampir keriput. Dengan usia 58 tahun tapi paras cantiknya yang tak pernah luntur membuat Mayumi—Nenek Prisma—lebih pantas disapa Tante sebenarnya.

"Cantik sekali.... Kenapa kamu nggak bilang kalau calon kamu secantik ini? Tau gitu Nenek dari dulu pilih aja tinggal di sini biar bisa ketemu terus sama calon mantu Nenek." Omel Nenek pada Prisma. Aku hanya tersenyum lebar.

"Syukur deh kalau Nenek suka." Ucap Prisma sambil merangkul pundakku. Aku kalang kabut sendiri. Kenapa ia merangkulku di depan Nenek? Mau membuatku malu, huh??!

"Maafin Nenek, ya? Udah jadi penghalang di antara kalian. Nenek nggak tahu kalau ternyata rasa sayang Prisma ke kamu lebih besar dari apa yang Nenek pikir. Dua bulan bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu juga Prisma selalu berusaha memaksa Nenek untuk tinggal di Bandung dan meninggalkan Palembang." Nenek mengelus pundakku yang sudah dilepas Prisma sedari tadi. Aku jadi tak enak hati mendengar penuturan Nenek.

"Nek, duduk dulu lah. Kasihan Miranya dari tadi berdiri." Ucapan Prisma diangguki Nenek dan ia mengajakku untuk duduk di sofa. Entah kenapa suasanya berubah menjadi canggung.

"Mira minta maaf ya, Nek? Gara-gara keegoisan Mira, Nenek jadi terpaksa pindah ke sini dan ninggalin Palembang." Cercahku pelan sambil menggenggam kedua tangan Nenek yang duduk di sampingku.

"Gapapa, Sayang. Nenek yang harusnya minta maaf. Nenek yang egois. Nenek cuma pengen dapat teman selain pembantu di rumah. Anak-anak Nenek jauh dari Nenek. Suami Nenek udah tiada satu bulan setelah Prisma lahir. Yang papanya Prisma udah dijemput sama Tuhan. Yang Azma malah menetap di Bandung. Siapa yang nggak kesepian? Nenek kurang mengerti apa yang seharusnya Nenek ambil. Dengan mengajak Prisma ke Palembang belum tentu Prisma senang di sana. Karena rasa bahagia Nenek adalah bahagia dari Prisma. Kemarin Prisma menurut karena ia terikat janji sama Nenek."

"Janji? Janji apa, Nek?" tanyaku di sela ucapan Nenek.

"Nenek tidak akan menyakiti Azma kalau ia mau pindah ikut Nenek. Nenek tahu, Nenek salah. Azma juga putri satu-satunya Nenek yang seharusnya Nenek sayangi. Tapi entah kenapa rasanya memiliki Prisma jauh lebih bahagia. Nenek sekarang sadar. Kekuatan dan kesabaran Azma selama ini lebih mendominasi di dalam penyesalan Nenek. Dan Prisma yang begitu mencintai kamu. Nenek minta maaf."

Air mataku meluncur sempurna. Nenek segera memelukku dan aku membalasnya. Ada rasa bersalah yang bersarang di dada. Namun ada rasa bahagia yang sungguh tak terkira.

Dengan kembalinya Prisma serta putusan Nenek menetap di sini, itu artinya Prisma tak akan lagi jauh dariku. Ia selalu di sini, di dekatku.

Apakah Prisma begitu mencintaiku? Apa benar? Bukan tentang apa, karena aku takut jika kehilangan.

**********

Mengikhlaskan dan menyesalkan beda tipis. Sama-sama menahan tangis karena hati sedang teriris.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang