[44] : |Ungkapan|

444 15 1
                                    

Kabut pagi menyelimuti seluruh wilayah di Bandung. Matahari masih malu-malu menunjukkan wajahnya di hari Sabtu ini. Langkah kaki puluhan manusia terdengar bersusulan memenuhi taman komplek. Aku, Lolli, Ganis, dan Prisma juga melaksanakan jogging di sini.

"Gue dah lelah hoii..." suara Lolli menghentikan langkah kami berempat.

"Lolli kamu kenapa? Kaki kamu sakit?"

Rentetan pertanyaan diajukan oleh Ganis yang memapah Lolli agar duduk di kursi tepi jalan.

"Iya, Sayang. Lima putaran itu capek loh." Jawab Lolli dengan nada manjanya yang setiap aku mendengarnya ingin muntah.

Prisma menggelengkan pelan melihat aksi mereka. Aku ikut duduk di bawah pohon tak jauh dari mereka berada. Kemudian Prisma mengikutiku.

"Capek juga?"

"Lumayan." Jawabku sambil meluruskan kaki.

"Haus?"

Aku mengangguk. Kemudian Prisma berdiri dan entah kemana. Beberapa menit setelahnya, ia kembali dengan dua botol minuman. Aku segera menyahut botol itu ketika baru saja dilayangkan padaku.

Cukup lama aku dan Prisma terdiam melihat tingkah laku Lolli dan Ganis. Ganis semakin ke sini cukup manis perlakuannya ke Lolli. Dan Lolli sudah tidak seposesif dahulu. Itu kabar yang baik menurutku. Dengan saling mengalah dan menahan ego masing-masing, semoga saja hubungan mereka bertahan lama atau bahkan sampai akhir hayat mereka. Semoga saja.

"Mir,"

"Iya?"

"Gue boleh tanya sesuatu sama lo? Tapi sebelumnya lo jangan ngambek apalagi marah. Janji, ya?"

Aku tersenyum tipis dan mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingking milik Prisma.

"Iya. Janji."

"Jadi gini..."

Prisma kembali tak bersuara dan malah menatapku lekat-lekat. Cukup, Pris! Dalam hitungan jari jantungku bentar lagi copot. Satu... dua... ti-

"Kan beberapa hari yang lalu gue bilang ke lo kalo gue minta bantuan..."

Ya. Aku sudah paham arah pembicaraannya. Aku menunduk.

"Eh jangan marah dong!"

"Nggak. Siapa yang marah? Gapapa lanjut aja omongnya. Gue nggak apa-apa. Tadi kan udah janji."

"Gue sebenarnya itu ngetik asal-asalan." Ucap Prisma hati-hati.

"Asal-asalan? Masalah perasaan lo bilang asal-asalan? Lo gila, ya? Kalau Rima sam-"

Pembicaraanku yang belum selesai sudah diberhentikan oleh Prisma dengan halus.

"Mira Sayang... siapa juga yang tega asal-asalan masalah perasaan? Gue emang nggak suka sama Rima. Gue cuma nganggep Rima sebagai adik kelas gue. Udah itu aja." Ucap Prisma sambil memegang kedua bahuku.

Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Tadi Prisma panggil aku dengan sebutan 'sayang'? Ya ampun! Pengen teriak!

"E... iya."

"Dan satu hal lagi yang lo harus tau. Gue deket sama Rima bukan karena gue cinta dia. Tapi gara-gara gue dia kambuh dari sakitnya. Makanya gue selalu ada setiap saat di samping dia buat nebus kesalahan gue."

"I-iya."

"O ya satu lagi. Gue dari dulu nggak bermaksud buat nembak Rima atau apalah sejenisnya. Karena gue cuma sayang sama l-"

Ucapan Prisma yang ditahan membuatku ikut menganga mengikuti ucapannya. Lalu Prisma tertawa garing dan melepas cekalan dari bahuku.

"Gue sayang sama Lolli, Ganis, lo juga. Oh ya Debby, Tante Azma, semuanya deh. Gue sayang semuanya."

Aku tertawa pelan. Prisma aneh! Untung sayang. Eh.

"Kog ketawa?"

"Habisan lo aneh. Gak ada yang lucu lo malah ketawa." Ucapku kemudian kembali tertawa.

"Lo juga aneh, Ra."

Aku berhenti tertawa. Ra? Dia tidak memanggilku dengan Mir?

"Aneh kenapa?"

"Nggak ada yang lucu juga, tapi lo ketawa."

Beberapa setelahnya tawa kami meledak bersama hingga Lolli melambungkan botol minumannya ke arah Prisma karena terlalu berisik.

"Kalian ketawa sekenceng itu pasti lagi ngomongin gue sama Ganis, kan? Ngaku, kalian!" Ganis hanya memejamkan mata mendengar ocehan Lolli yang begitu keras.

"Ge er lo, Lol. Gue tadi bicarain anak ayam peliharaan Debby yang warna pink. Ayamnya gembul kaya pipi lo. Pendek kaya lo juga. Suka ngoceh gak jelas juga kayak lo. Semuanya kaya lo deh. Iya kan, Ra?"

Aku kembali terkejut. Lalu mengiyakan dan kemudian ocehan Lolli menyerangku dengan Prisma. Tiba-tiba Prisma menggeret lenganku pergi menjauh dan kembali ke rumah masing-masing.

"Hati-hati, Pris!" teriakku ketika Prisma baru saja mengantarku pulang.

"Iya. Kamu cepet mandi biar wangi. Aku pulang dulu, ya?"

Prisma mengusap puncak kepalaku dan berlalu pergi. Ya Tuhan! Ini hari apa ya kenapa banyak kejutan pagi ini. Bahkan sekarang Prisma menyapa dengan sebutan aku-kamu. Aku segera berlari masuk ke kamar dan berteriak sekencang mungkin di balik bantal.

**********

Ini bukan mimpi. Bukan. Ini adalah sebuah ilusi yang sedang terjadi.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang