[25] : |Kenyataannya|

507 15 2
                                    

Drtttt.... drttttt....

Sudah tujuh kali aku menelpon Lolli dan hanya mendengar suara itu. Entah kenapa akhir-akhir ini Lolli tak mengirim pesan atau hal lainnya yang biasa ia lakukan.

Aku mencoba menelpon Ganis untuk menanyakan Lolli.

[Ada apa?]

"Lolli sama lo?"

[Boro-boro sama gue. Dia masih marah sama gue.]

"Lolli sama sekali nggak telpon atau main ke rumah gue kayak biasanya. Apa jangan-jangan dia marah ya sama gue?"

[Mungkin.]

"Tapi gue ngerasa nggak punya salah sama dia."

[Gitu bilangnya masalah ini mau lo selesain. Hoax!]

"Hih! Lo malah bikin gue kesel!"

Aku segera memutus percakapan tersebut secara sepihak. Sudah bingung dengan Lolli malah dikatakan oleh Ganis seperti itu.

Aku memilih mengirim pesan pada Lolli untuk mengajaknya bertemu. Aku segera mengambil slingbag dan menuju cafe depan komplek untuk menunggu Lolli.

Bahkan ketika aku sudah habis dua gelas jus avokad juga belum ada tanda-tanda datangnya Lolli. Pesanku juga belum dibaca.

Aku kesal dan memilih menikmati suasana perubahan konsep pada cafe ini. Lebih klasik dan menyatu dengan jiwa. Aku suka.

Klinting!

Suara bel dari pintu membuatku menghadap sumber suara. Namun apa yang kulihat nyatanya menyakitkan untukku. Untung saja aku mencari bangku di pojok. Aku membuka buku menu untuk menutupi wajahku.

"Makin manis lo." Ucap Reddy ketika sudah duduk di bangku bersama Clara. Untung jaraknya jauh dariku. Sehingga ia tak mungkin melihatku.

"Dy, gue bingung."

"Apa yang lo bingungin, Clara?"

"Lo makin ganteng."

Reddy terkekeh sangat manis menanggapi pembicaraan Clara.

"Iyalah. Heven? Kalah kalau sama gue." Bangganya.

Aku masih bersembunyi di balik buku menu. Aku sangat benci dengan Clara. Tidak hanya Heven dan Ganis saja ternyata yang ia embat. Reddy-ku pun diembat juga. Dasar!

Aku sangat tidak suka jika ada yang menganut pepatah 'sebelum janur kuning melengkung masih bisa ditikung'. Menjadi orang ketiga di sebuah hubungan adalah hal yang menjijikkan. Kalau mau nikung di tikungan jalan saja. Lebih menantang.

"Iya. Lo itu gantengnya tujuh turunan delapan tanjakan sembilan tikungan." Clara juga terkekeh.

Ah, rasa tidak sukaku dengan Clara semakin berlipat-lipat.

"Nah gitu dong. Kan makin sayang." Kekeh Reddy sambil mencubit pipi chubby milik Clara.

Reddy juga pernah mengucapkan kalimat yang sama denganku. Tak sadar mengintip mereka dari tadi, air mataku terkumpul di kelopak mata. Mataku memanas.

Lolli juga belum datang. Anak itu semakin aneh menurutku. Aku menutup buku menu dan berjalan keluar dari cafe. Mereka tak melihatku. Biarkan seperti itu. Biarkan. Sekalipun Reddy melihatku ia tak akan berlari ke arahku. Mungkin ini memang takdir untukku. Harus berusaha lebih kuat agar cinta tak selalu mencampakkan hati yang sedang luka.

**********

Butuh waktu untuk menyembuhkan hati. Karena banyak diantaranya tak dilakukan secara hati-hati.

—JAM

KEJORA |Completed| ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang