Pagi-pagi aku sudah berada di kelas. Bisa dikatakan ini rekor terbaruku. Berangkat paling pagi di antara teman-teman sekelas. Jam masih menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit.Huft...
Aku mengedarkan pandangan. Masih belum ada tanda-tanda para kehidupan akan datang. Pak Satpam saja terheran-heran melihat murid SMA 1 Pancasila datang sepagi ini. Aku memang berangkat pagi untuk menghindari rasa maluku. Ah, mengingatnya saja ingin sekali aku terjun ke laut yang paling dalam guna menyembunyikan rasa malu itu.
Suara langkah kaki terdengar di telingaku. Aku mencari sumber suara dan menemukan Prisma di ambang pintu. Aku dan Prisma sama-sama membisu. Ingin sekali menyapa, namun rasanya lidah ini kelu untuk mengutarakan.
Ia mendekat dan menempatkan tasnya di bangku belakangku. Aku ingin sekali menyapa 'Prisma.....' seperti biasanya. Namun rasanya saraf motorikku tak ingin melakukannya.
Lima belas menit sudah berlalu. Teman-teman mulai berdatangan. Kulihat ke belakang sebentar. Prism tertidur pulas dengan kepala di atas meja.
Klunting!
Saat aku berdiri ingin ke toilet, suara notifikasi itu membuatku melihat pada layar persegi panjang yang menyala di tangan Prisma.
Iya Kak, hati" ya. Aku baru aja bangun. Hehe...
Rima. Dia berhasil mengambil hati Prisma yang lembut ini. Baru setapak aku melangkah, suara notif kembali terdengar. Aku berbalik dan masih menemukan Prisma dengan keadaan tertidur pulas. Aku mendekat dan membaca kembali.
O ya, gimana keadaan Kak Mira? Dia udh masuk?
Alisku bertaut. Untuk apa Rima menanyakan aku pada Prisma? Dan sejak kapan Rima tahu aku tidak masuk sekolah?
"Lo lihat apa?"
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara Prisma. Prisma menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Ia seperti sangat membenciku. Sangat. Aku tak berkedip sejak tadi karena memikirkan apa yang Rima lakukan. Aku langsung berbalik dan berjalan keluar. Bukankah itu jalan yang terbaik?
Sampai di koridor jauh dari depan kelas, aku berbalik. Prisma tak mengejarku. Ha? Aku berharap Prisma mengejarku? Itu mustahil!
Aku terduduk di bangku koridor kelas IPA 5. Setidaknya itu yang dapat aku lakukan sekarang tanpa teman.
Sekelebat bayangan melewatiku tanpa sapaan. Aku mendongak dan menemukan punggung Reddy. Ah, mengingatnya ingin sekali aku menampar wajahnya yang telah memberi harapan kepadaku. Tanpa terasa, air mata itu kembali menetes.
Aku memang salah. Semua memang salahku. Seharusnya aku menurut apa yang diucapkan Lolli dan Prisma kepadaku kala itu. Menyukai Reddy adalah sakit. Prisma pernah bilang bahwa Reddy memang anak yang baik kelihatannya, tetapi deretan cewek yang hanya diberi harapan tersebar di mana-mana.
Klunting
Ponselku memunculkan notif yang kurindukan. Lolli.
Jgn di situ. Balik ke kls.
Segaris senyuman muncul perlahan. Aku segera bangkit dan kembali ke kelas. Setelahnya, banyak siswa yang berdatangan karena jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi.
Aku baru sadar jika aku tengah menjadi topik perbincangan semua orang. Dan Lolli menyelamatkanku. Terima kasih, Lolli. Kamu memang marah terhadapku. Tapi aku yakin, bahwa kamu masih peduli kepadaku.
**********
Ketika disalahkan, manusia ingin tahu kesalahannya. Namun mereka tak pernah memberitahunya dan berkata baik-baik saja. Lantas harus bagaimana? Menyalahkan diri dalam hati atau berpura-pura tak pernah menyadari?
—JAM
KAMU SEDANG MEMBACA
KEJORA |Completed| ✔️
Teen Fiction[KEJORA] : |KEtika JOdoh bermuaRA| Ini bukanlah kisah duniaku. Tapi sepenggal cerita tentang hidupku. Ini cerita tentang aku yang tak mau terus-terusan berurusan dengan permainan hati yang terkunci. Aku ingin mencoba membuka hati itu dengan kunci ya...